Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia" (PASAL 4 TAP MPR NOMOR XI/MPR/1998)
Pengantar
Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 merupakan salah satu pencapaian penting hasil dari reformasi. TAP ini menjadi landasan dalam pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang muncul akibat minimnya partisipasi masyarakat dan maraknya penyalahgunaan kekuasaan selama Orde Baru. Keberadaan TAP ini juga mencatatkan Suharto sebagai tokoh yang bertanggung jawab atas berbagai praktik tersebut, dan menjadi penanda penting dalam sejarah bangsa.
Pencabutan Nama Suharto dan Implikasinya
Pada 23 September 2024, MPR memutuskan mencabut nama Suharto dari TAP MPR XI/MPR/1998. Pencabutan ini dilakukan menyusul surat dari Fraksi Golkar dan dinyatakan oleh Ketua MPR sebagai bentuk yuridis semata, mengingat Suharto telah wafat. Namun, imbas dari pencabutan ini adalah menguatnya kembali usulan menjadikan Suharto sebagai pahlawan nasional, usulan yang setiap tahun diajukan namun selalu tertahan oleh keberadaan TAP tersebut.
Pendidikan Sejarah Orde Baru di Sekolah
Materi sejarah Orde Baru diajarkan di kelas 12 SMA, namun disampaikan secara umum tanpa menyebutkan secara eksplisit peran Suharto dalam berbagai tragedi bangsa. Sementara itu, guru sejarah cenderung mengikuti buku ajar secara ketat, dan tidak semua memiliki kebebasan atau keberanian untuk menyampaikan materi secara kritis dan mendalam. Akibatnya, siswa cenderung bosan dan tidak terhubung secara emosional maupun intelektual dengan sejarah bangsanya sendiri.
Risiko Distorsi dan Rekonstruksi Sejarah
Apabila gelar pahlawan nasional benar-benar diberikan kepada Suharto, maka ada potensi kuat terjadinya rekonstruksi sejarah yang dipaksakan secara legal. Ini bukan hanya akan menghapus kesalahan masa lalu, tapi juga menciptakan versi baru sejarah yang bertentangan dengan realitas yang dialami masyarakat. Sejarah pun tidak lagi menjadi ruang refleksi, tetapi alat legitimasi politik.
Politik di Balik Gelar Pahlawan
Sejak masa Sukarno hingga reformasi, pemberian gelar pahlawan selalu sarat muatan politik. Ini menimbulkan pertanyaan: sejauh mana gelar tersebut benar-benar merepresentasikan perjuangan tokoh-tokoh bangsa, atau hanya sebagai alat untuk meraih dukungan dan melanggengkan kekuasaan?
Meneguhkan Peran Guru Sejarah
Guru sejarah memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk kesadaran sejarah generasi muda. Mereka perlu diberdayakan untuk tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pendidik yang kritis dan berani. Karena pendidikan sejarah sejatinya bukan untuk menghafal tanggal dan nama, tetapi untuk memahami konteks, sebab-akibat, dan nilai-nilai kemanusiaan di balik setiap peristiwa.
Penutup
Sejarah bukan hanya kisah masa lalu, tetapi fondasi bagi masa depan. Jika hari ini kita membiarkan sejarah dimanipulasi demi kepentingan segelintir pihak, maka kita sedang menyiapkan kebingungan bagi generasi mendatang. Karena itu, penting untuk meninjau kembali usulan pemberian gelar pahlawan kepada Suharto dan terus menjaga agar sejarah Indonesia tetap utuh, jujur, dan berpihak pada kebenaran.**
Zulfian Haris Yudha Pramuji
Pengajar Tahsin Gema Qurani