
Swara Pendidikan (Depok) – Salah satu program unggulan Walikota terpilih Kota Depok dalam Pilkada 2024 adalah alokasi Dana RW sebesar Rp300 juta per tahun, yang mulai dipersiapkan implementasinya melalui Panduan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) RKPD 2026. Dalam juklak dan juknis yang disusun oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Sekretariat Daerah (Sekda) Depok, dana ini mencakup mandatory spending untuk Operasional Posyandu sebesar Rp6 juta dan Wisata Keberagaman sebesar Rp25 juta.
Namun, Anggota DPRD Kota Depok dari Fraksi PKS, Ade Firmansyah yang akrab disapa Adef memberikan peringatan terkait potensi masalah yang bisa muncul jika alokasi dana ini diterapkan tanpa kajian mendalam. Ia menyarankan agar pelaksanaan program ini tidak tergesa-gesa, mengingat masih terdapat banyak aspek yang perlu diperjelas, seperti landasan hukum, ketentuan administratif, dan dampak sosial.
Dia menyoroti pentingnya dasar hukum yang kuat untuk mendukung program ini. Menurutnya, penganggaran harus merujuk pada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Dalam Negeri, hingga Peraturan Daerah. Ia juga menekankan bahwa alokasi dana ini belum melalui pembahasan dengan Badan Anggaran DPRD, yang merupakan prosedur wajib sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Di sisi administratif, belum ada kejelasan mengenai siapa yang akan menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dana RW. Apakah tanggung jawab akan berada di tangan pengurus RW, Lurah, atau Camat? Ketidakjelasan ini, menurut Ade, bisa membuka peluang terjadinya penyalahgunaan dana (fraud).
Selain itu, Adef juga menyoroti perbedaan demografi di antara RW yang dapat memicu ketimpangan. RW dengan jumlah penduduk sedikit akan menerima alokasi yang sama dengan RW padat penduduk, yang bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Potensi pemekaran RW secara besar-besaran akibat ketidakpuasan ini juga dapat menyebabkan pembengkakan anggaran di masa depan.
Intinya, lanjut Adef, tanpa kajian yang komprehensif dan penyelesaian aspek-aspek hukum serta prosedural, program ini berisiko menjadi “bom waktu” masalah di kemudian hari. Ia mendesak agar pemerintah daerah berhati-hati, melakukan kajian mendalam, dan memastikan seluruh prosedur dijalankan sesuai aturan.
“Jangan sampai alokasi dana ini, yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru menjadi sumber masalah di kemudian hari,” pungkasnya. (gus)