ABSTRAK
Sangat idealis bilamana kita mendengar ungkapan “Sejengkal tanah tidak boleh terlantar di bumi pertiwi ini”. Proposisi itu memberi kita semangat untuk memanfaatkan tanah kosong yang masih menjadi pemandangan tidak elok karena menyuguhkan pemandangan yang seram dan menakutkan.
Semak belukar dan tumbuh-tumbuhan, di samping tidak prodktif juga tidak estetik. Jauh dari hasil yang dapat dimanfaatkan secara ekonomi oleh pemiliknya maupun warga sekitarnya. Bahkan menjadi penghalang untuk melintas pengguna jalan pintas karena tertutup dan banyak binatang- yang menakutkan. Seperti ular atau sarang tawon dan binatang buas lainnya.
Bahkan bisa saja lokasi tersebut hanya dijadikan tempat maksiat dan kejahatan atau keriminal lainnya. Pemandangan tersebut di atas sudah menjadi pemandangan umum di negeri ini. Bisa saja hal tersebut terlantar karena merupakan akumulasi penelantaran tanah yang terjadi pada masa lalu yang tidak terselesaikan.
Kesibukan atau mungkin saja karena luasnya tanah yang ditangani pemiliknya. Atau karena kehilangan sumberdaya penggerak. Atau mungkin karena ketidak pastian hak milik yang berkaitan dengan ahli waris. Atau menunggu harga dan nilai tanah tersebut meninggi. Untuk dijual kembali dengan harga yang cukup menggairahkan.
Kata kunci: Tanah Terlantar, Pemanafaatan, Kesejahteaan dan Payung Hukum
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peneliti sering mendengar di tengah masyarakat, adanya beberapa ungkapan tentang tanah. Seperti ada yang disebut tanah kosong, tanah terlantar, tanah tidak berproduksi dan Tanah tak bertuan.
Tanah terlantar di Indonesia bukan merupakan hal baru dalam perjalanan tatanan hukum agraria di Negara ini. Sejak diterbitkannya UUPA sebagai dasar peraturan pertanahan di Indonesia, telah dinyatakan bahwa salah satu penyebab hapusnya hak kepemilikan atas tanah karena “diterlantarkan”, hal tersebut terdapat dalam Pasal 27 huruf a angka 3 UUPA tentang Hak Milik, Pasal 34 huruf e UUPA tentang Tanah Hak Guna Usaha, dan Pasal 40 huruf e UUPA tentang Tanah Hak Guna Bangunan. Jelas bahwa dalam UUPA tidak membenarkan pemegang hak atas tanah tidak memanfaatkan tanah yang dimiliki sebagaimana dasar pengajuan hak atas tanah.
Banyak alasan yang mendasari pemegang hak atas tanah tidak memanfaatkan tanah yang dimilikinya, salah satunya ialah pengalihan bentuk aset kekayaan atau investasi. Pemilihan tanah sebagai bentuk pengalihan aset atau investasi karena nilai/harga tanah cenderung meningkat.
Banyaknya pihak yang membutuhkan tanah untuk mendirikan tempat tinggal atau tempat usaha tidak sebanding dengan ketersediaan tanah yang semakin berkurang luasnya, hal inilah yang menjadikan alasan pemilik tanah menjadikan tanah sebagai salah satu bentuk investasi.
Pengalihan bentuk investasi pada tanah tidak dapat dipersalahkan, karena menjual kembali tanah yang dimiliki kepada pihak manapun merupakan hak dari si pemegang hak atas tanah. Akan tetapi dalam berjalannya waktu dirasa sangat disayangkan karena pihak-pihak yang memilih investasi ini melupakan atau mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai pemegang hak. Dalam Pasal 10 UUPA Ayat (1) menyebutkan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemasaran.”
Pengabaian yang dilakukan pemegang hak mengakibatkan tanah yang dimiliki menjadi berkurang nilai manfaatnya, terutama bagi masyarakat yang berada di lokasi dimana tanah terlantar berada. Berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 1998, pada Pasal 1 Ayat (5) menyatakan : “Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan dan pokok yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.”
Pengertian Tanah Terlantar Menurut Undang-Undang
Pengertian tanah secara Undang-Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang tidak produktif, tidak dikuasai atau tidak dimanfaatkan oleh siapapun, dan tidak tercatat dalam sistem pendaftaran tanah.
Tanah terlantar dapat digunakan dalam program redistribusi tanah atau program penggunaan tanah lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemberian hak atas tanah kepada individu atau badan hukum dalam UUPA membatasi kewenangan negara yang berasal dari Hak menguasai negara. Namun, jika pemegang hak atas tanah tidak memenuhi kewajibannya atau melanggar larangan yang ditetapkan, tanah tersebut dapat dinyatakan terlantar dan hak atas tanahnya akan dicabut, sehingga tanah tersebut menjadi milik negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 menyebutkan Tanah Telantar adalah tanah hak,tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan Dasar Penguasaan Atas Tanah, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara.
Tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya; apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya; Tanah tersebut tidak dipelihara dengan baik.Tanah terlantar pada umumnya adalah tanah yang tidak diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan dengan baik sesuai dengan peruntukan.
Dalam Perpres Nomor; 20 Tahun 2021 Pasal 1 angka 2 disebutkan Tanah Terlantar adalah tanah hak, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan Penguasaan Atas Tanah, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara.” Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar juga menyebutkan pengertian tanah terlantar yang serupa dengan Perpres Nomor, 20 Tahun 2021 Pasal 1angka 2.
Jadi dapat disimpulkan bahawa Pengertian dan Pemahaman Tanah Terlantar Menurut Undang-Undang, Tanah Terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.[1]
Obejek Penelitian
Sebagaimana Penjelasan sebelumnya yang ada di pendahuluan bahwa tanah terlantar meliputi tanah yang sudah dIberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, hak Guna Bangunan, haka Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar pengauasaan atas tanah yang tidak diusahan, tidak dioergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan Tujuan pemberian haka tau dasar penguasaannya. Keterangan tersebut di atas dapat di dalami dalam Bab II Pasal 2 PP Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah karena ada pengecualian yang berbunyi: Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 adalah:
- Tanah hak Milik atau hak Guna bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, dan Tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya. Yang menjadi objek penelitian ini adalah tanah HGU dan hak Milik.
- Tanah HGU atau hak Guna usaha saat ini menjadi obyek utama penertiban tanah terlantar yang dilaksanakan oleh badan Pertanahan nasional. Tanah HGU dipilih karena yang dimiliki bidangnya sangat luas. Selain itu untuk melakukan investasi data kepemilikan cenderung dimudahkan dari pada pengecekan tanah berstaus hak milik. Sedangkan pada pada tanah hak Milik Peneliti menemukan adanya tanah terindikasi terlantar yang dimanfaatkan oleh warga untuk kegiatan Bertani, empang, kebun dan lain sebagainya. Dan hasil,panen dikonsumsi sendiri dan tau dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dari realita lapangan yang ada, terhampar luas tanah di daratan bumi Indonesia, namun kadang bahkan sering ditemukan tanah-tanah tersebut terlantar. Potensi yang seharusnya dinikmati oleh warga negara Indonesia sendiri terutama warga yang ada di sekitar tanah terlantar tesebut, namun realitanya nihil hasil dan manfaat.
Melihat itulah maka peneliti menjadikan dasar realita yang ada untuk dianalisa dan apa saja hambatan dan penyebab utama dari pada terjadinya penelantaran tanah tersebut. Dan bagaimana seharusnya peraturan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar meberikan perlindungan kepada warga terdekat terutama yang memiliki semangat dan juang untuk bertani, berkebun maupun membuka empang dan sebagainya. Agar kehidupan mereka bertambah sejahtera dengan tidak melanggar ketertiban dan peraturan, maupun nilai-nilai agraris yang tumbuh dan hidup di wilayah masing-masing.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat Yuridis Normatif dan Empirik. Yang merupakan penelitian tehadap bahan hukum primer yang didasarkan kaedah hukum yang bersifat mengikat beberapa peraturan perundang- undangan. Dan juga dikombinasikan data-data dan realita social agraris dilapagan, untuk dianalisa apa sebenarnya yang terjadi di lapangan atau di daeran tertentu.
Jadi ada tiga bahan hukum yang harus didalami yakni:
1. Sumber hukum primer, terdapat di dalamnya bahan-bahan yang isinya bersifat mengikat
Sumber data primer antara lain terdiri atas:
- Informasi dari masyarakat dasar padurenan Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Yang bertempat tinggal dekat di lokasi tanah yang terindikasi terlantar;
- Observasi atau pengamatan langsung di lokasi tanah yang terindikasi terlantar
- Keterangan dari informasi Kepala Desa, Bidang Pertanahan/agrarian Desa Padurenan Kecamatan Gung Sindur Kabupaten Bogor.
- Keterangan dari informasi BPN Kabupaten Bogor.
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikaan Penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu
- Dokumen-dokumen yang ada di Kantor badan Pertanahan nasional yang berkaitan dengan tanah terlantar.
- Kepustakaan yang berkaitan dengan Hukum Agraria;
- Kepustakaan yang berkaitan dengan tanah Terindikasi Terlantar.
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui perpustakaan Umumnya data ini telah ada dalam keadaan siap (read-made). Bentuk dari data sekunder biasanya telah ada berdasarkan peneliti-peneliti dahulu dan dokumen resmi. Adapun data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
3. Bahan hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun Penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu Kamus Hukum.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka peneliti berusaha untuk meneliti permasalahan sebagai berikut:
- Sejauhmana peraturan Penertiban dan pendayagunaan tanah Terlantar hadir untuk memberikan payung hukum terhadap masyarakat petani penggarap.
- Hambatan apa saja yang menghalangi usaha penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani penggarap.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Realitas Data Data Kasus Tanah Terlantar di Daerah
Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan saat ini ada 12.000.000 (duabelas juta) hektar lahan terlantar di Indonesia. Untuk itu pemerintah melarang pelepasan izin baru untuk konversi hutan alam primer dan gambut menjadi hutan produksi.[2] Namun yang baru teridentiikasi hanya sekitar 7,2 juta hektar. Sementara informasi lain lain dalam rencana pembangunan, terdapat sekitar 120 ribu hektar tanah terlantar di Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat, menyederhanakan mekanisme penguasaan lahan, dan memanfaatkan lahan terlantar untuk kepentingan umum seperti pembuatan Taman RPTRA. Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar juga penting untuk menegakkan hukum dan mencegah ketidakadilan pemilikan tanah di Indonesia.
Kasus Tanah terlantar ternyata sering terjadi di wilayah Indonesia, Menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Badan Pertanahan Nasional terdapat 120 Ribu Hektare Tanah Terlantar yang berada di kawasan Indonesia dengan faktor permasalahan yang beragam. Salah satunya kasus tanah terlantar di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat yang diklaim oleh banyak pihak mengakibatkan ketidakjelasan status kepemilikan dan membuat lahan tersebut terlantar.
Kasus lainnya adalah kawasan di sekitar pembangunan Bandara Kertajati, Jawa Barat yang menjadi tanah terlantar dikarenakan keterlambatan infrastruktur, Banyaknya faktor yang menyebabkan tanah terlantar menjadi salah satu masalah besar di Indonesia dikarenakan tanah terlantar menghilangkan kegunaan fungsi tanah tersebut.
Solusi dari adanya permasalahan tanah terlantar ini adalah dengan dilaksanakannya penertiban serta pendayagunaan, sesuai dengan PP Nomor 20 Tahun 2021. Mekanisme penertiban tanah terlantar dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu evaluasi kawasan dan tanah terlantar, peringatan kawasan dan tanah terlantar, dan penetapan kawasan dan tanah terlantar.
Tanah terlantar juga harus didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, yang akan membuat tanah yang tadinya terlantar dapat ditata kembali penguasaan serta penggunaan tanahnya sehingga tercapai kepastian hukum yang jelas.
Salah satu contoh Kasus yang terselesaikan mengenai konflik pertanahan di kawasan pariwisata Lombok, khususnya di Gili Trawangan, melibatkan tanah terlantar. Berbagai upaya dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, termasuk perundingan antara pihak pemilik tanah, pengembang pariwisata, dan pemerintah setempat.
Penyelesaian konflik melibatkan pemulihan hak pemilik tanah, pembaruan peraturan, pembayaran ganti rugi, dan pembangunan infrastruktur. Kolaborasi aktif antara semua pihak terkait diperlukan untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan dalam rangka memajukan sektor pariwisata di Gili Trawangan, Lombok.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa di Indonesia terdapat sekitar 1,2 juta hektare lahan yang terlantarkan. Mayoritas dari lahan tersebut adalah Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas mencapai 1,19 juta hektar, terdiri dari 1.172 bidang.
Selain itu, ada juga lahan terlantar dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) seluas 67.605 hektar atau sekitar 3.113 bidang. Sedangkan lahan dengan status Hak Pakai (HP) memiliki luas terlantar sebesar 6.043 hektar dengan 18 bidang. Namun, hanya sekitar 89.869 hektare lahan yang secara resmi telah ditetapkan sebagai lahan terlantar. Sebagian besar dari lahan tersebut, sekitar 226 ribu hektare, telah dimanfaatkan dan tidak lagi masuk dalam basis data lahan terlantar.
Kondisi keadaan tanah terlantar dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan berpotensi pada menurunnya daya guna lahan, maka diperlukan solusi yang tepat, yakni melalui kelembagaan Reforma Agraria. Reforma agraria adalah penataan kembali (atau penataan ulang) susunan kepemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber agraria (terutama tanah), untuk kepentingan rakyat kecil (petani, buruh tani, dan lain-lainnya), secara menyeluruh dan komprehensif (lengkap).
Contoh kasusnya adalah tanah terlantar dan terindikasi terlantar di Provinsi Jawa Barat yang mana mencapai 19.654,2694 ha, dengan luasan yang terbesar berada di Kabupaten Sukabumi dan di Kabupaten Tasikmalaya. Pelaksanaan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar atau terindikasi terlantar di Kabupaten Sukabumi, lebih rumit daripada di Kabupaten Tasikmalaya. [3]Disebabkan banyaknya jumlah bidang tanah dan sekaligus luasnya lahan yang menjadi tanah yang terlantar atau terindikasi terlantar, baik tanah yang berstatus hak guna usaha maupun hak guna bangunan. Telah ditetapkan oleh PP No. 11 Tahun 2010 untuk mengidentifikasi dan meneliti tanah yang diindikasikan terlantar, diikuti baik oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Tasikmalaya maupun Kabupaten Sukabumi. Di Kabupaten Sukabumi, tahapan penetapan tanah terlantar mengacu secara tegas pada langkah-langkah Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 jo Peraturan Kepala BPN No. 9 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, yaitu:
- Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar;
- Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;
- Peringatan terhadap pemegang hak; dan
- Penetapan tanah terlantar.
Salah satu contoh Kasus yang terselesaikan mengenai konflik pertanahan di kawasan pariwisata Lombok, khususnya di Gili Trawangan, melibatkan tanah terlantar. Berbagai upaya dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, termasuk perundingan antara pihak pemilik tanah, pengembang pariwisata, dan pemerintah setempat.
Penyelesaian konflik melibatkan pemulihan hak pemilik tanah, pembaruperaturan, pembayaran ganti rugi, dan pembangunan infrastruktur. Kolaborasi aktif antara semua pihak terkait diperlukan untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan dalam rangka memajukan sekto pariwisata di Gili Trawangan, Lombok.
Seperti yang terjadi di kabupaten Lombok, dimana pemerintah Kabupaten Lombok Barat, segera mengevaluasi investor yang menelantarkan tanah atau investor yang menguasai lahan namun tidak dimanfaatkan untuk aktivitas usaha. Versi BPN NTB, lahan investasi yang ditelantarkan pengusaha di wilayah NTB lebih dari 25 ribu hektare. [4] Sejak 2002, tercatat sebanyak 146 perusahaan atau lembaga berbadan hukum menelantarkan 187 bidang tanah yang luasnya mencapai 25.022 hektar lebih. Keberadaan tanah terlantar yang cukup luas dan menyebar di berbagai kabupaten/kota itu, turut memberi andil terjadinya konflik agraria yang berkepanjangan. Dan oleh Karena itu, Pemprov NTB terus berupaya mendorong kesuksesan program Proyek Operasi Nasional Pertanahan (Prona) dan Layanan Rakyat untuk Sertifikasi (Larasati) yang dilaksanakan BPN. Hal ini dilakukan agar meminimalisir semakin banyaknya fenomena tanah terlantar tersebut.
Sebagaimana peneliti menyatakan sebelumnya bahwa Isu tanah terlantar di Indonesia sudah banyak terjadi. Menteri Kehutanan (Menhut), Zulkifli Hasan mengatakan, terdapat 12 juta hektar lahan terlantar di Indonesia. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Heru Yudi Kurniawan dengan judul penelitiannya yang mengkaji tentang tanah terlantar, disitu tertulis bahwa tanah terindikasi terlantar di Kalimantan Barat berjumlah 32. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan Fredy Kristan, tercatat bahwa masih ada tujuh tanah terlantar yang tersebar dibeberapa kecamatan.
Berdasarkan dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa kondisi tanah terlantar di Indonesia masih banyak terjadi dan tersebar di beberapa provinsi. Faktor dari penyebab terjadinya suatu tanah dapat terlantar dapat disebabkan karena faktor ekonomi, sosial, fisik dan institusi. Maka dari itu, melihat dari besarnya angka tanah terlantar tersebut, tentu ini merupakan masalah yang krusial yang harus sesegera mungkin ditangani.
Di Indonesia jumlah tanah telantar sebanyak 120.000 hektare bahkan terdapat stok tanah terlantar sebanyak 950.000 hektare yang telah tercatat dalam kementrian ATR/BPN. Dengan jumlah tanah telantar yang cukup besar, pemerintah dapat menggunakan tanah telantar sebagai bagian dari agenda untuk mensejahterakan masyarakat baik pada bidang sosial, budaya, ataupun ekonomi. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Terakhir, pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, masalah tanah terlantar menjadi salah satu permasalahan yang harus ditangani. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Nasional III Tahun 2015–2019 merupakan penjabaran dari sembilan agenda prioritas Joko Widodo dan Jusuf Kalla, terdapat beberapa agenda pembangunan yang terkait dengan tanah terlantar, Dalam agenda pembangunan “Dalam Rangka Peningkatan Kualitas Hidup Manusia dan Masyarakat Indonesia”, melalui “Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Marjinal: Pelaksanaan Program Indonesia Kerja”.
Sasaran dalam rangka distribusi hak atas tanah petani melalui bantuan tanah hak, termasuk di dalamnya tanah HGU akan habis masa berlakunya, tanah terlantar, dan tanah transmigrasi yang belum bersertifikat, yang berpotensi sebagai TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) sedikitnya sebanyak 1 juta. Upaya untuk mengatasi tanah terlantar faktor dan menjadikannya sesuai dengan sistem administrasi pertanahan di Indonesia adalah dengan melibatkan kantor pertanahan melalui kegiatan penyuluhan; pendampingan; membantu dalam mewujudkan reformasi agraria melalui kegiatan access reform dan melakukan pengukuran pengembalian batas lahan usaha II.[5]
Contoh terkait Tanah Terlantar yang terjadi di Indonesia
Terdapat sekitar 120.000 hektar tanah terlantar di Indonesia. Dari jumlah seluas itu, tanah terlantar juga dimanfaatkan untuk reforma agraria. Kondisi tanah terlantar ini terbanyak ada di luar Pulau Jawa. Tanah Negara bekas Hak Guna Usaha (HGU) di Provinsi Riau, Kabupaten Kuantan Singingi merupakan salah satu tanah terlantar dimana Perusahaan tidak memanfaatkan lahannya sesuai dengan hak yang telah diberikan yaitu berupa Hak Guna Usaha.
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau melakukan Penunjukan 26 Lokasi Tanah Terindikasi Terlantar. Dari semua Lokasi yang ditunjuk sampai dengan saat ini baru Hak Guna Usaha An. PT. Alfa Glory yang berada di Kabupaten Kuantan Singingi berhasil ditetapkan menjadi Tanah Terlantar yang sekarang menjadi TanahNegara bekas Tanah Terlantar.[6] Beberapa kasus mengenai proses Penertiban TanahTerlantar tidak berjalan dengan mulus karena untuk melepaskannya menjadi Tanah Negara tanpa kompensasi tidaklah mudah.
Untuk mengurangi adanya tanah terlantar di Indonesia, setelah membandingkan dan menelaah dengan materi dan jurnal terkait, dapat diatasi dengan adanya kolaborasi dan harmoni berupa tindakan nyata antara pemerintah, swasta, dan juga masyarakat akan berimplikasi pada kehidupan sosial-ekonomi yang stabil dan makmur. Pembangunan dan penataan sistem agraria yang tepat juga dapat membangkitkan dan memberi warna baru terhadap permasalahan tanah terlantar di Indonesia, informasi yang terkait isu Tanah Terlantar diantaranya adalah:
- Pada tahun 2021 ada 120 ribu hektar tanah yang merupakan tanah terlantar.
- Kondisi tanah terlantar tersebut didominasi pulau Jawa.
- Pada masa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terdapat beberapa agenda pembangunan yang terkait dengan tanah terlantar.
- Tanah terlantar menjadi objek reforma agraria dimana sekitar 9 juta Ha tanah yang masuk ke TORA (tanah terlantar salah satunya) akan ditujukan kepada nelayan, petani dan penduduk miskin.
- Tanah terlantar dikuasai langsung oleh negara.
- Tanah Terlantar Di Pulau Sangiang.
Informasi terkait Tanah Terlantar pada realita yang terjadi di Indonesia juga sebagaimana termaktub dalam Pasal 15 ayat (1) PP No. 11 tahun 2020 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah terlantar yang selanjutnya menjadi bekas tanah negara tersebut akan dianggap sebagai tanah cadangan umum negara dan akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara lewat pelaksanaan berbagai macam program strategis. Hal itu, selanjutnya, sejalan dengan maraknya sumber daya tanah atau lahan ‘terlantar’ di negara ini.
Faktor Faktor Terjadinya Tanah Terlantar
Mengenai faktor terjadinya tanah terlantar tim peneliti menyajikan berbagai factor yang ditemukan dilapangan seperti halnya secara umum adalah diklasifikasikan berdasarkan tiga pendekatan faktor yaitu: faktor fisik, ekonomi dan institusi. Pertama, faktor fisik seperti tidak ditemukannya lokasi tanah terutama lahan usaha, penguasaan tanah yang berlebih, tidak tersedianya fasilitas irigasi dan akses jalan. Kedua, faktor ekonomi disebabkan karena keterbatasan dana dan penguasaan tanah dengan tujuan hanya untuk investasi. Ketiga, faktor institusi yang dapat diidentifikasi diantaranya adalah tidak ada peraturan yang tegas terutama untuk pemegang hak milik dan tidak ada sanksi atas pelanggaran peraturan yang ada.
Beberapa faktor paling umum yang mungkin berperan dalam pembentukan lahan terlantar meliputi:
- Kebijakan pemerintah: Kebijakan pemerintah yang tidak efektif dalam mengolah lahan atau tidak memiliki regulasi yang tepat dapat mengakibatkan lahan terlantar.
- Sengketa kepemilikan tanah: Sengketa kepemilikan tanah dapat timbul antara berbagai pihak, termasuk ahli waris, perusahaan, dan pemerintah, yang mengakibatkan pengabaian tanah. Ketidakpastian kepemilikan dan perjuangan hukum yang panjang dapat membuat masyarakat ragu atau tidak mampu mengelola dan mengembangkan tanahnya.
- Kondisi Ekonomi: Ketidakstabilan ekonomi lokal atau kondisi ekonomi yang buruk dapat mempengaruhi kemampuan pemilik tanah untuk mengelola atau menggunakan tanah mereka secara efektif.
- Urbanisasi dan Migrasi: Perubahan pola permukiman, urbanisasi yang cepat, atau migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan dapat meninggalkan pedesaan. Negara dapat diabaikan dan diabaikan ketika orang meninggalkan negara tersebut.
- Rencana Pengembangan yang Belum Terealisasi: Properti tertentu mungkin ditinggalkan karena rencana pengembangan yang belum terealisasi atau stagnasi proyek infrastruktur.
- Masalah sosial dan demografis: Masalah sosial seperti konflik sosial, ketegangan masyarakat, dan perubahan demografis dalam suatu wilayah juga dapat menyebabkan pengabaian lahan. Tanah dapat ditinggalkan atau ditinggalkan ketika kehidupan sosial atau keamanan menjadi tidak stabil.
Ada juga dtemukan yang memang hamper mirip sama dengan faktor-faktor berikutnya seperti halnya:
- Masalah kepemilikan: Ketidakpastian kepemilikan dan sengketa hukum atas tanah dapat menyebabkan tanah terlantar, dan penggunaan dan pengembangan tanah bisa terhambat.
- Ketidakmampuan atau ketidakminatan untuk memanfaatkan: Ketidakmampuan atau ketidakminatan untuk memanfaatkan tanah secara produktif adalah faktor-faktor seperti keterbatasan keuangan, keterbatasan akses ke teknologi, dan pengetahuan tentang cara.
- Kondisi ekonomi yang buruk: Pengembangan dan investasi dalam tanah bisa terhambat jika tidak ada minat dan permintaan.
Terdapat beberapa faktor lain yang menjadi kendala dan faktor penghambat penertiban dan pemanfaatan tanah terlantara adalah sebagai berikut:
- Kekurangan modal atau belum adanya dana, sehingga para pemegang hak atau yang menguasai tanah belum mampu atau bisa memanfaatkan tanahnya.
- Adanya Kecenderungan tanah yang dikuasai hanya dijadikan sebagai, tabungan atau investasi.
- Adanya status tanah dalam sengketa penguasaan dan adanya proses peralihan penguasaan atas tanah yang belum terselesaikan, sehingga tanah tersebut tidak dapat digunakan/dimanfaatkan sesuai dengan tujuan daripada haknya.
- Pemilik hak atas tanah tidak merasa menelantarkan tanahnya karena konsep tentang penelantaran yang dipahami oleh masyarakat tidak sesuai, yang mana dalam hal ini pemilik hak atas tanah merasa jika tanah yang sudah bersertifikat tidak dikatakan sebagai tanah terlantar. Karena menurut pemilik hak atas tanah yang dimaksud dengan tanah terlantar adalah tanah yang belum mempunyai sertifikat atau tanah tanah yang tidak memiliki sertifikat.
- Pemilik hak atas tanah merasa selama dia membayar PBB atas hak atas tanah tersebut maka tanah tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tanah terlantar.
Sulusi Penyelesaian Tanah Terlantar
Solusi untuk tanah terlantar yang ada di indonesia yaitu. Pertama, pemerintah disini harus memberikan pemahaman lebih lanjut dan lebih detail tentang tanah terlantar karena masih banyak masyarakat yang tidak paham akan hal tersebut.
Kedua, mekanisme penguasaan lahan lebih bagus lagi kalau disederhanakan, karena mekanisme yang ada terlalu berbelit-belit dan yang dapat memberikan keputusan hanyalah seorang sedangkan jumlah lahan terlantar di Indonesia tidaklah sedikit.
Ketiga, alangkah baiknya pemerintah pemanfaatan lahan terlantar untuk kepentingan umum, seperti membagun bagunan umum, taman kota dan lahan perkebunan nasional. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang tidak produktif, tidak dikuasai atau tidak dimanfaatkan oleh siapapun.
– Solusi lainnya adalah adanya tindakan hukum dan peraturan: Pemerintah dapat menerapkan peraturan dan mekanisme penegakan yang lebih ketat untuk meminta pertanggungjawaban pemilik tanah karena mengabaikan properti mereka. Ini dapat mencakup penalti, denda, atau bahkan kemungkinan pengambilalihan jika pemilik gagal memenuhi kewajiban pemeliharaan. Penting untuk dicatat bahwa solusi spesifik yang diadopsi harus disesuaikan dengan keadaan dan tantangan unik yang dihadapi oleh setiap komunitas atau wilayah yang berurusan dengan lahan terlantar.
– Upaya untuk mengatasi faktor ini dan menjadikannya sesuai dengan sistem administrasi pertanahan di Indonesia adalah dengan melibatkan kantor pertanahan melalui kegiatan penyuluhan; pendampingan; membantu dalam mewujudkan reformasi agraria melalui kegiatan access reform dan melakukan pengukuran pengembalian batas lahan usaha. Dan juga dapat melibatkan Dinas Transmigrasi untuk menyediakan fasilitas irigasi dan meningkatkan akses jalan.
Agar tidak ada kesalah fahaman dan ketidak mengertian tentang ap aitu sebenarnya tanah terlantar, maka perlu secepatnya dibentuk suatu mekanisme yang baku yaitu tentukan dulu definisi yuridis yang jelas tentang tanah terlantar, selanjutnya kelompokan tanah terlantar hasil pendataan sesuai dengan faktor penyebab terjadinya. Kemudian Kantor Pertanahan secepatnya mengambil tindakan penertiban dan tindakan prefentif/pencegahan, karena bila tidak bertindak cepat proses penelantaran tanah akan semakin tinggi dan meluas. Karena ini negara hukum maka solusi yang pali tepat digariws bawahi lagi adalah upaya kita semua sebagai warga negara Republik Indonesia dan semua yang terlibat dalam penggunaan dan pemnafaatan tanah, maka hendaknya setiap menjalankan program-program pembangunan nasional, terutama di bidang agraria memperhatikan dan meperioritaskan dasar dasar hukum yang ada. Terutama apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Pengaturan tanah terlantar dapat dilihat dari peraturan yang paling tinggi yakni Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pada Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemudian dapat dilihat dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa “Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam di dalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh negara, serta pasal 6 dari UUPA yang menyatakan “Semua hak atas tanah mempunyai Fungsi sosial.” **
Di susun:
- Dr. M. Arafah Sinjar.M. Hum (Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta)
- Ir.Yuliana yuli wahyuningsih.MM.MH (Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta)
- Satino,S.Sos,SH,MH (Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta)
- Kayus Kayowuan Lewoleba,SH,MH (Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta)
DAFTAR PUSTAKA
Agrapina & Hanafi Tanawijaaya” Penerapan Fungsi Sosial Atas Tanah Terlantar Oleh Badan Pertanahan Nasinal (Studi terhadap: Keputusan Kepala badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No: 14/PTT-HGB/BPN RI/2014).
Haerani. Husainy dan Diah Astri Ellisa. “Tinjauan Yuridis Terhadap tanah Terlantar Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 TAQHUN 2010 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Trerlantar”. Maleo Jurnal Lawa. Volume 1 Nomor 2 januari 2017.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria, Asas dan Plaksanaannya, Cetakan ke-2 (Jakarta : Universitas Trisakti, 2015).
Joyo Winoto “Reforma Agraria : mandat Politik , Konstitusi dan Hukm dalam rangka Mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan rakyat”, Makalah Kuliah Umumdi balai Senat UGM, Yogyakarta, 22 November 2007, hlm. 1. Jurnal Huku IUS QUIA IUSTUS. Volume. 21 januari 2014: 120-138 ‘perbandingan Penanaganan Terlantar di kabupaten Tasikmalaya dan kabupaten Sukabumi dalam Mewujudkan Ketahanan pangan di Provensi Jawa Barat
Poluan, Evert M. N. “Kewenangan Pemerintah daerah Dalam Penanganan Tanah Terlantar di kabupaten Minahasa”. Lex Administratus. Volume 3 Nomor 5 Juli 2015.
Sinjar. M. Arafah’Kajian Terhadap Undang-Undang Pokok agrarian (UUPA) dalam Perspektif Hukum Islam. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hdayatullah Jakarta, Thn 2010/1432.
Sinjar. M. Arafah “Hukum Agraria Indonesia: Pendekatan Filosofi Pertanahan Islam” Alauddin University Press & Kedai Aksara, makassar, Thn 2011..
Sinjar M. Arafah, ”Antisipasi Faham Liberalism dalam Pemilikan tanah” Alauddin University Press&Kedai Aksara, makassar, Thn 2011.
Soemardjono, Maria. S.W. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan ke-3. (Jakarta: Sianar Grafika, 2010).
Yuwono.”Tanah Terlantar Menyalahi Fungsi Sosial”. Jurnal Sosial Humaniora. Volume 2 Nomor 1 Juni 2009.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/notarius/article/download/39134/19625 tanah terlantar marak terjadi di Indonesia.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211214161122-92-733968/bpn-12-juta-hektare-lahan-ri-terindikasi-terlantar (diakses pada 23 Mei 2023, pukul 12.30)
Kamis (24/03/2011) dikutip dari detik online, kamis 24 Maret 2011. CNN Indonesia Rabu, 15 Desember 2021 06:57 WIB.
[1] Referensi: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
[2] Kamis (24/03/2011) dikutip dari detik online, kamis 24 Maret 2011. CNN Indonesia Rabu, 15 Desember 2021 06:57 WIB.
[3] Baca Joyo Wnoto “Reforma Agraria : mandat Politik , Konstitusi dan Hukm dalam rangka Mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan rakyat”, Makalah Kuliah Umumdi balai Senat UGM, Yogyakarta, 22 November 2007, hlm. 1. Jurnal Huku IUS QUIA IUSTUS. Volume. 21 januari 2014: 120-138 ‘perbandingan Penanaganan Terlantar di kabupaten Tasikmalaya dan kabupaten Sukabumi dalam Mewujudkan Ketahanan pangan di Provensi Jawa Barat.
[4] Pemkab Lombok Barat Evaluasi Investor Terlantarkan Tanah. Dipublish oleh Admin Weblobar pada warta media tanggai 2 Oktober 2013.
[5] Menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada tahun 2019, luas tanah terlantar di Indonesia mencapai sekitar 23 juta hektar. Tanah terlantar ini tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di perkotaan dan pedesaan.
[6] Ripository University Of Riau, Perpustakaan Universitas Riau. https//repository, unri.nc.id