JANJI MASA DEPAN

by Redaksi
1 Komentar 1015 Pembaca

 

Oleh : Jubaidah, S.S

 

Kriiiiingg ……………

Suara bel Sekolah begitu nyaring berbunyi, seakan menyadarkan mereka siswa-siswi yang sedang berdesak-desakan mengantri bakso Bang Badri di kantin sekolah pagi itu. Suasana kantin masih sedikit riuh dipadati siswa-siswi yang masih jajan walau hanya sekedar mengantri membeli “es cekek” mpo Topeh seharga seribu rupiah. Beberapa siswa lainnya langsung berlari-lari kecil menuju kelasnya masing-masing sembari menunggu bapak ibu guru yang mengajar di jam selanjutnya. Di sisi lain, beberapa siswa laki-laki masih tetap asyik menendang bola di lapangan walau terik menerpa seakan tak menghiraukan pengumuman tentang jam istirahat yang telah usai.

Satu dua siswa terdengar bergumam dengan nada protes karena merasa belum puas dengan durasi jam istirahat yang cuma 30 menit.

“Yaelahh baru juga jajan, udah masuk ajah” gumam Eby yang baru saja keluar kelas untuk istirahat jam pertama.

Hari itu dia terlambat keluar kelas karena di jam terakhir sebelum istirahat kelasnya dipakai oleh kakak-kakak mahasiswa dari sebuah kampus swasta untuk promosi masuk perguruan tinggi.

Syahal adalah satu dari siswa kelas XII yang sebentar lagi akan lulus. Maka wajarlah kakak-kakak mahasiswa dari berbagai kampus swasta di sekitaran Depok maupun Bogor datang silih berganti memberikan motivasi dan semangat anak-anak remaja usia sekolah ini untuk lanjut ke perguruan tinggi sekaligus melanjutkan studinya di kampus mereka dengan iming-iming beasiswa maupun tawaran lainnya.

Beberapa siswa tampak antusias dengan dunia kampus dan membaca informasi pada selebaran yang dibagikan kakak mahasiswa diikuti dengan ucapan “saya nanti mau kuliah sambil kerja saja kak” celetuk Kamel pada kaka mahasiswa yang berdiri depan kelasnya. dan terdapat satu dua siswa yang benar-benar tertarik dan ingin fokus kuliah saja sehingga kaka-kaka Mahasiswa tampak semakin semangat mempromosikan berbagai program di Kampus mereka.

Namun sayang, semangat kaka mahasiswa tidak disambut antusias oleh sebagian anak-anak yang sebentar lagi akan meninggalkan bangku SMK ini, termasuk salah satunya adalah Dwi Putra. Selain tidak berminat karena membayangkan tumpukan tugas “ala anak mahasiswa” juga karena masalah keterbatasan ekonomi menjadi salah satu faktor utamanya.

“Bagaimana mau kuliah, nerusin sekolah aja setengah mampus saking nggak punya biaya” batin Uta (panggilan untuk anak yang satu ini).

Benarlah saja tunggakan di sekolah ikut menjadi beban pikirannya hingga tak jarang mematikan semangat dan menumbuhkan rasa putus asa yang begitu rimbun dalam dirinya. Seringkali muncul pikiran untuk putus sekolah saja karena nggak enak dan merasa kasihan sama orang tua yang pontang panting cari pinjaman tiap menjelang ujiang tiba. Tapi apalah daya, balas dendam masa lalu sedikit menempis keraguannya dan mau sedikit berdamai dan optimis walau dengan kemungkinan terkecil sekalipun.

Kalimat gurunya seolah masih terngiang dalam benaknya kala ia pernah berucap “lanjutkan pendidikanmu, Karena Dunia Kapitalis yang kejam ini tidak mau berkompromi dengan mereka yang mudah putus asa”

ungkapan itu masih ia simpan rapih dalam memori pikirannya. Menerka perlahan, mencoba memahami walau jiwa labil anak seusianya tetap saja hadir dan mempengaruhi sikapnya. Namun ia surutkan niatnya untuk putus sekolah “minimal sampai Lulus SMK” ucap dan janjinya pada semesta.

Bukan ia tidak prihatin pada keadaan ekonomi keluarga. Apalagi kalau mengingat tentang bapaknya yang di PHK tepat ketika dia menginjak kelas XII SMK dan menjadi pengangguran sembari menunggu kebaikan hati orang-orang di sekitar yang mengajaknya bekerja menjadi kuli bangunan. Dan ibunya? Ia hanya buruh cuci panggilan. Keadaan ekonomi yang tak menentu benar-benar membuat ia dan adik-adiknya harus mengubur segala impian masa kecilnya rapat-rapat. Putus sekolah menjadi bayang-bayang yang menghantuai setiap waktu untuk dirinya. Bukan cuman dia, bahkan adiknya tak sempat menginjak bangku SMP lagi-lagi karen alasan mengalah pada keadaan, Kemiskinan dan ketidakberpunya membelenggu keluarga.

 

Lanjutkan pendidikanmu, Karena Dunia Kapitalis yang kejam ini tidak mau berkompromi dengan mereka yang mudah putus asa.

Jubaidah, S.S

 

 

 

***

Kamis itu terasa menyesakkan sekaligus memusing. Tumpukan tugas dan Ujian ala anak kelas XII menjelang kelulusan seolah tak memberi ampun. Dan waktu Istirahat belum sampai 15 menit, guru bahasa inggris itu sudah tampak berjalan di koridor sekolah dengan buku dan absen di bahunya bersiap untuk mengajar. Suara sepatunya seolah menjadi ciri khas karena paling berisik sendiri macam suara sepatu kuda,. Hehehe. Dan tepat, langkah kakinya terhenti dan masuk di ruang kelas XII OTKP 3 dimana Uta dan kawan-kawan kelasnya disana.

Belum benar-benar mendaratkan buku di meja guru, Miss lia sudah begitu antusias memberi instruksi agar anak-anak bersiap untuk belajar.

“Silahkan siapkan Kelasnya” pinta Miss lia pada siswa-siswi di Kelas XII OTKP 3 pagi itu. Angka jarum jam menunjukan pukul 10.09 WIB, beberapa siswa tampak setengah terburu-buru menghabiskan sisa bekal dan jajanan yang diburu pada waktu istirahat yang singkat saat istirahat pertama tadi.

Miss Lia yang waktu itu sudah duduk di depan kelas sembari menyiapkan absen sedikit protes karena kelas masih belum rapih dan anak-anak masih belum siap dengan mata pelajarannya padahal waktu istirahat serta makan dan minum sudah berlalu sembilan menit.

“Kelas kita baru istirahat Miss, tadi dipake oleh kaka mahasiswa untuk promosi kampus.” Jelas Nadiya.

“Owh yahh, kalau begitu saya beri waktu 2 menit untuk kalian siap-siap.”

Anak-anak tampak mengangguk patuh walau sedikit keberatan sembari menyeruput paksa es teh yang masih di tangan. Walau tidak benar-benar habis dan masih tersisa, waktu 2 menit seolah hitungan mundur yang mematikan kalau guru Bahasa inggris itu sudah memberi somasi, “Tidak ada negosiasi” menghabiskan atau dibuang saja di tong sampah sisanya.

Suasana kelas yang masih grasak grusuk tetap tak menyurutkan Miss lia untuk memulai pelajaran. Sebelum benar-benar masuk ke materi, ia memulai komunikasi pembuka dengan anak-anak sembari melempar pertanyaan sudah memutuskan untuk ambil jurusan apa kedepannya karena barusan berpapasan dengan anak-anak Muda beralmet biru di lorong kelas.

“Nggak Kuliah miss” jawab Uta yang sedari tadi duduk santai di pojokan dengan es cekek di tangannya.

“Why” penggalan pertanyaan Miss lia seakan memaksanya mengubah posisi duduk dan menunduk malu. Seolah mencari cara yang tepat untuk menjelaskan setiap jawaban dan persoalan hidup yang membuatnya gelisah akhir-akhir ini.

Hampir semua pasang mata siswa siswi OTKP 3 tertuju padanya. Beberapa menyungging senyum seolah mengisyaratkan “nah loh kamu terjebak, jawablah” ledek Ridho yang seolah menertawakan keisengannya karena menyahut pertanyaan miss Lia. dan beberapa siswa lainnya cukup paham jika miss lia sudah bertanya, maka bisa dipastikan akan sulit untuk berujung.

“Ayok Uta, Jawab” titah miss lia yang tampak sederhana namun membuyarkan sekaligus menghadirkan penyesalan dalam diri anak remaja itu.

kenapa tidak diam saja dari tadi seperti teman sebangkunya Kutuy. Haishh mau diam saja tapi sorot mata Miss Lia sudah menatapnya sembari mengangkat kedua alisnya menunggu jawaban.

“Nggak ada biaya Miss, Bapak Saya penggangguran dan Ibu saya Buruh cuci.” Jawabnya sambil menunduk. Seakan Ia malu pada seluruh semesta atas keadaan ekonomi keluarganya. Miss lia tercekat sekaligus prihatin. Anak-anak pintar dan hebat ini harus terbebani pada apa yang seharusnya tidak menjadi beban pikirannya selain belajar dan belajar.

Namun apalah daya, tuntutan kehidupan dan abainya pemangku jabatan akan kepastian nasib anak negeri seolah menjadi dilema anak bangsa. Tak ada yang dibisa dijadikan tumpuan saat uang menjadi penguasa pada setiap fasilitas kenikmatan dunia, tak terkecuali kewajiban untuk mencerdaskan anak bangsa. Pendidikan seolah dilelang habis-habisan atas nama keuntungan pribadi. Dan nasib anak negeri kian terombang ambing akibat ketidakberdayaan dan keterbatasan akses bagi kaum papa. Dan wakil rakyat seolah menjadi pengkhianat konstitusi, buta dan bisu atas amanat undang-undang yang mewajibkan memenuhi hak pendidikan bagi setiap individu rakyat.

Bermimpin di negeri yang kaya akan SDA ini seolah menjadi hal yang sangat tabu dan terlarang bagi anak yang tak ber(Cuan). Keadaan memaksa untuk membatasi setiap impian dan perbaikan masa depan. “Cukup menjadi kuli panggul” menjadi corong cuan bagi kaum kapitalis atau menjadi pekerja dengan upah minim demi agar para kapitalis mendapat untung sebanyak-banyaknya.

***

Segan rasanya untuk mengulik topik alasan “kenapa tidak kuliah?” Pada anak-anak yang terbelenggu keadaan ini. Ingin memaksa untuk kuat dan optimis tapi lagi-lagi keadaan melemahkannya. Miss lia sesegera mungkin mengalihkan topik itu dan memasuki materi pembelajaran.

“Well everyone,. Today we will discuss the topic about PLAN”

Seolah sengaja, Miss lia membahas Topik pembelajaran tentang Future Tense pada anak-anak yang sebentar lagi harus berjuang untuk menggapai mimpi dan impian mereka. Walau tentu masih saja ada siswa yang tampak bingung mau kemana karena mengarahkan masa depan seolah masih sangat samar bagi mereka.

“Baiklah anak-anakku, kita mulai pelajarannya and now you need to write what job would you like to have five years from now?” Instruksi Miss lia.

“Bingung miss mau nulis apa” celetuk Dyco yang seolah mewakili beberapa siswa yang sibuk tanya kiri kanan.

“Kenapa bingung? Harusnya sudah sedari lama kalian menentukan dan memikirkan kalian mau apa kedepannya. Harusnya sudah lama kalian merancang mimpi-mimpi kalian dan jalan untuk menuju impian itu, bukan malah bingung.” Nada Miss lia mulai terdengar tegas hingga membuat anak-anak seolah mematung merasa bersalah dan tak berani overacting bertanya kiri kanan.

“Hari ini terlalu sangat terlambat untuk kalian ajak kepala kalian berdiskusi. Tidakkah kalian pikir betapa kuatnya persaingan dan kompetisi kehidupan kedepan, kehidupan dan lingkungan tidak butuh orang yang acuh dan ngoyo, yang menganggap remeh dan sepele hari esoknya. Kalian takut apa? Takut bermimpi?”

Lagi-lagi suasana kelas yang tadinya riuh seolah mematung. Tak ada yang berani bersuara melainkan hanya menunduk menyesal. Seperti sedang mendengar seminar yang berisi ocehan atas labil dan tak terarahnya pikiran dan impian siswa-siswinya.

Ini bukan hanya soal mengajar dan menunggu jam pelajaran selesai lalu kemudian merapihkan perangkat ajar dan keluar kelas, SELESAI. pendidikan tidak sesederhana itu. Ada tugas dan kewajiban untuk mendidik anak-anak hingga terbuka pikirannya, siap mentalnya untuk menghadapi pergolakan dunia. Dan yang terpenting MEREKA TIDAK MENJADI PECUNDANG di masa depan apalagi menjadi sampah masyarakat, TIDAK.

Miss lia membatin, merasa dirinya sama sekali belum mendidik dan membimbing. Hingga di ujung jam pelajaran selesai, ada tugas berat yang Miss lia titipkan pada anak-anak untuk dikumpulkan pada pertemuan selanjutnya.

“Sebelum ibu Tutup, ADA PR.” Kalimat yang tidak setiap siswa senang mendengarnya.

“PR nya adalah kalian menulis planning untuk masa depan kalian minimal 5, serta kapan kira-kira target waktu yang kalian tentukan untuk mencapai itu semua, serta alasan dan motivasinya apa DALAM BAHASA INGGRIS.” Instruksi Miss lia seolah tak bertitik.

“Seeedaaaaap” ujar Irgi diikuti riuh teman sekelas yang tampak setengah keberatan dengan tugas yang nggak berperikesiswaan itu.

Bagaimana tidak, Miss lia Sekalinya ngasih PR langsung nggak main-main. Dan jangan coba-coba berniat untuk tidak mengerjakannya, karena kalau tidak maka Tugasnya akan Bertambah tiga kali lipat dari Tugas pertama, itu pengalaman siswa-siswi kelas XII yang sudah-sudah.

***

Waktu berlalu seolah tanpa iba. Enggan terhenti walau jutaan insan memohon untuk istirahat sejenak untuk hanya sekedar melepas lelah atas hiruk-pikuk tuntutan dunia yang tak berkesudahan. Roda-roda waktu berputar begitu Cepat. Tidak ada kompromi. Tidak ada pilihan lain, tetap bergerak menstabilkan laju atau berhenti dan terlindas putara waktu.

Tepat 5 Tahun semenjak Janji masa lalu itu terarsip, kini seolah waktu mempersilahkan untuk menyingkapnya kembali. Membuka memori lama kelas XII OTKP 3 seolah menyelami janji yang dipaksa untuk disusun dan dipresentasikan di depan kelas di hadapan Miss Lia pagi itu. Salah seorang siswa yang diintrogasi paksa 5 tahun silam kini sedang duduk santai dengan tampilan yang perlente di pelataran Café kawasan kantoran itu. Seolah sedang bertamasya ke masya lalu.

“Miss Lia bagaimana Kabarnya ya? Sudahkah ia menikah? Atau jangan-jangan dia belum menikah karena terlalu judes pada muridnya… hahahah” tanya dan candaan itu seolah hadir begitu saja dalam benak Uta yang sedang asyik menyerup AMERICANO BLACK COFFEE di kantin kantornya menunggu jadwal meeting dengan klien dari Swiss pukul 10 pagi itu.

Kali ini bukan materi Presentasi dengan klien akan tender kerjasama yang dia fikirkan. Melainkan presentasi dan introgasi tugas bahasa inggris tentang “planning 5 Tahun” yang ia ingat. Memorinya seolah mundur jauh ke belakang, tentang janji yang Miss lia paksa di ruang kelas di depan teman-teman yang kala itu sama-sama cemas dan was-was karena takut tidak bisa menjawab.

Dan janji itu telah ia tunaikan. Dilaluinya dengan berdarah-darah dan juga linangan air mata. “Tidak mudah miss,. Tidak mudah.” Ucapnya seolah membuktikan bahwa dia berhasil menunaikan janjinya sama seperti yang dia tulis di kertas folio dan di depan Miss lia dan teman-teman yaitu menjadi pengusaha dan menjadi pemimpin di Kantornya dengan pendapatan yang berdigit telah ia gapai.

Pagi itu rencana seolah berubah seketika, ia menelepon sekretarisnya untuk mengCancel meetingnya. Begitu tiba-tiba. Namun ini jauh lebih penting dari sekedar tanda tangan kontrak dengan bule dari swiss itu.

Semua jadwal dicancel dan dikosongkan untuk tiga hari kedepan, secepat mungkin dia memerintahkan sekretarisnya untuk menyiapkan jadwal penerbangan kembali ke Jakarta.

“Iyah saya harus menemui guru itu untuk menunjukan gue bisa” gumamnya lirih di garabata bandara Surabaya sore itu. Burung besi itu perlahan bergerak, melepas landas dan perlahan menukik hingga mencapai 36.000 kaki diatas permukaan laut. Langit sore perlahan meredup diselimuti jingga khas petang. Sesekali sorot matanya mengarah keluar jendela pesawat burung garuda itu namun pikirannya entah tertuju pada drama kehidupan yang mana.

***

Sore itu Suasana magrib begitu sendu, cahaya jingga khas petang seperti begitu terburu-buru untuk pamit pulang, lalu menjemput langit malam bersama mendung dan gerimis membasahi dedaunan dan celah-celah tembok gedung-gedung tinggi khas ibukota. Satu dua titik hujan menyasar kaca jendela mobil yang melaju membelah jalanan ibukota meninggalkan percikan pada ujung aspal akibat gesekan dengan roda-roda mobil di jalanan.

Perlahan hujan menderas namun tetap saja tak mampu mengalihkan lamunannya. Akalnya seolah mengajak berimajinasi akan ekspresi guru itu tentang segala hal yang ia capai “akankah ia masih mengenalku? Akankah ia bangga atas apa yang kini kuraih?” Dialog dalam hatinya seakan tak berujung. Pertemuan tanpa agenda itu seolah sangat dinanti olehnya selama 5 tahun terakhir.

“Miss lia.. saya datang.”

Roda mobil sedan itu sedikit tersendat, suasana khas ibu kota yang tak pernah sepi dari macet sedikit menguji sabarnya. Sesekali ia mengengok jam tanga r*lex yang melingkar di tangannya untuk memastikan bahwa ia tidak terlambat dari target waktu dimana dia telah berjanji pada gurunya itu. “5 Tahun kedepan saya akan menjadi pengusaha Hebat, saya berjanji”

***

Malam itu menjadi begitu sahdu, tenang. Tinggalah gemericik hujan beradu dengan kaca depan mobil meninggalkan melodi pada semesta. Menyasar celah-celah jendela Kaca menyisahkan titik-titik air yang indah. Sejenak tarikan Nafas begitu nikmat mengisi rongga paru-paru dengan Oksigen. Matanya sejenak tertuju pada titik-titik hujan yang menempel di Jendela kaca mobil sedan itu. “Duhai Allah,. Allahumma Soyyiban Nafi’an” ucapan lirih itu tak sampai beradu dengan suara hujan. Sunggu begitu nikmat Karunia-Nya, takkan mampu terbayar oleh nominal maupun hitungan Manusia.

“Akhirnya sampai juga” gumamnya lirih pada sopir pribadinya. Dua jam lima belas menit bukan waktu yang sebentar untuk berkutat ditengah macetnya ibukota. Saat pesawat landing di Bandara Internasional Soekarno hatta sore itu, tujuan perjalanannya tiada lain adalah menuju Rumah sederhana semi permanen di pinggiran ibukota.

Mobil Pajero warna putih itu kini terparkir rapih di halaman rumah sederhana itu. Suasananya tidak jauh berbeda seperti saat terakhir mereka berkunjung satu bulan sebelum pengumuman kelulusan tiba. Hanya saja tanaman bunga pucuk merah pengganti pagar itu seperti tidak bertuan. Pertumbuhannya sangat tidak terawat seolah sudah ditinggal lama oleh empunya.

Setelah beberapa saat mengamati suasana halaman rumah itu, memori lima tahun silam seakan beriringan dengan langkah kakinya yang mengayun mendekati pintu rumah bercat putih tua itu. Dengan penuh keyakinan ia mengucap salam berharap pemilik rumah segera membuka pintu dan bersegera menyambutnya dengan suka cita. Sekali dua kali ia mencoba namun seolah tidak ada sinyal antusias dari pemilik rumah. Hingga akhirnya saat ia hampir mengetok pintu untuk yang ketiga kalinya, tiba-tiba terdengar suara kunci berputar pada lubang pintu itu. Perlahan gagang pintu itu bergerak dan pintu rumah itu berderit terbuka diiringi dengan sambutan dari seorang perempuan paru baya. Entah itu siapa atau jangan-jangan pemilik rumah ini sudah berpindah tangan? Atau justru ia salah alamat?. Perasaan kian berkecamuk, imaginasinya seolah seperti dikecewakan tersebab tidak ada antusias dari orang yang dituju. “Bukan Miss Lia.” Ujarnya pelan.

“Waalaikumussalam… iyaa cari siapa mas?”

“Mohon maaf ibu,. Saya Uta mantan siswa ibu Lia. Sebelumnya mau tanya benar ini rumah ibu Lia?” kalimat tanya itu seolah spontan dilontarkan untuk memastikan ia tidak salah alamat.

“owhh iyaa benar,. Ini rumah Lia, silahkan masuk.”

“terimakasih ibu.” Langkah kakinya perlahan memasuki ruang tamu itu dengan setengah menunduk. Disana tampak jelas foto Miss lia dan beberapa lembar foto siswa-siswi nya menempel di tembok putih ruang tamu sederhana itu.

Jam sudah menunjukan pukul 19.20 WIB, namun sayang bingungnya seolah masih belum juga terpuaskan. Orang yang dituju tak kunjung menemui walau sekedar bertegur sapa memuliakan tamu.

Belum benar-benar tenang ia duduk, wanita paru bayah itu mulai memperkenalkan diri sembari mempersilahkan menikmati air mineral yang tersaji di meja ruang tamu itu. Ada semburat sedih yang tergaris di wajahnya. Entah apa tapi seolah sangan berat untuk diungkapkan.

“iyaa,. Mohom maaf orang yang ananda cari sudah tidak ada.”  Penggalan kalimat yang belum selesai itu seolah menghentikan segalanya.

“saya bibi dari Lia, dan sekarang saya lah yang diamanatkan untuk menjaga rumah ini” semakin wanita paruh baya itu menjelaskan semakin bingung dan tercekat tenggorokannya. Kebingungan kian menumpuk menyelimuti hati dan juga pikirannya.

“Miss Lia kemana ya bu?” kalimat itu seolah semakin berat ia lontarkan. Ada rasa takut sekaligus cemas dalam dirinya. Kalimat tanya kian terasa menyesakkan dada.

“Lia sudah meninggal 40 hari yang lalu,.” Wanita paruh baya itu perlahan mengeja setiap kalimat demi kalimat yang terucap dari mulutnya. Menjelaskan secara perlahan perihal yang dicari kini telah pergi untuk selamanya.

Belum sempat ia menanggapi, hujan tiba-tiba turun dengan begitu derasnya. Seolah mewakili air mata yang mengalir hangat di kelopak mata. Tangis itu seolah pecah bersama sahut-sahutan petir mengiringi hujan.

“iya,. Lia meninggalkan kami dan kita semua tepat 40 hari yang lalu setelah sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit selama satu minggu akibat sakit yang diderita menggerogoti tubuhnya. Kami atas nama pihak keluarga memohon maaf apabila Lia ada salah dan khilaf saat bersama kalian.”

Tangis itu kian pecah, menunduk layaknya anak kecil yang ditinggal pergi oleh ibunya. Tak percaya dan tak bisa berkata apa-apa lagi selain hanya air mata yang berekspresi, tujuan kedatangannya hari ini untuk berkunjung dan menunjukan bahwa dia berhasil membuktikan justru seperti janji masa lalu itu seolah hampa dan tiada artinya. Orang yang harusnya mendengarkan, melihat dan menyaksikan keberhasilannya seolah meninggalkannya begitu saja tanpa mau menunggu sebentar saja pembuktian itu.

“Miss Lia,.. kau enggan menunggu sebentar saja? 40 hari kau tidak kuat menunggu? Bagaimana dengan saya yang sudah berjuang 5 Tahun lamanya? Tidakkah kau memberi apresiasi walau sedikit saja dari sisa waktumu?” batinnya seperti terkoyak dan sangat hancur. Lima tahun membangun janji masa depan, dan di tahun ke lima itu pula orang yang harusnya menyaksikan hasil dari janji masa depan itu malah lebih dulu memilih menemui Rabb-nya.

“tidakkah Miss lia ini ingin menemui kami? Melihat wajah-wajah kami kembali, Sebegitu nakalnya kah kami hingga Miss lia enggan menyaksikan hasil tempaan dan didikanmu? Kami sudah berhasil ibu, janjiku padamu di Kelas XII OTKP 3 itu sudah ku tunaikan dan kini hyanya ibu Lia yang mengingkari janji untuk menemui kami.  IBU LIA,. JASAMU AKAN TERKENANG KARENA KAU ADALAH PAHLAWAN TANPA TANDA JASA.”

***

Best offering to my beloved XII OTKP 3

Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang mampu menerka cerita hidup dan masa depan setiap makhluk. Ia adalah misteri yang terhalang tabir tebal nan berujung. Dimana ikhtiar takkan pernah alpa menuntut untuk ditunaikan dan doa laksana mantra suci yang meluluhkan semesta. Dan janji masa depan adalah kepastian bagi mereka yang terus melangkah. Menujunya walau tertatih dan berdarah, penuh onak berduri bahkan tak jarang air mata membasuh luka. Beradu peluh dan penat. Tapi yakinlah anak-anakku janji masa depan itu pasti. Membersamai hingga ujian lelah menguji betapa kokohnya tekad kalian atas janji semesta.

Kepada anak-anakku, kebersamaan dalam formal masa Putih Abu-abu akan segera berlalu. Atau bahkan mungkin telah usai seiring dengan semangatnya mesin fotokopi mencetak secarik lembaran kertas bertuliskan “LULUS” 3 Juni sore itu.

Satu persatu nama-nama itu tersusun rapih bersiap menemui kalian setelah melewati pergulatan dan perdebatan panjang serta jutaan pertimbangan. Namun akhirnya panggilan masa depan seolah berisyarat akan hak kalian untuk berlari menujunya, “Kalian LULUS”.

Karenanya, tentu saja sangat bahagia atas kebaikan Allah membimbing kalian melewati berbagai ujian demi ujian itu.

Namun tak dapat disembunyikan, ada pilu atas perpisahan yang seolah berdiri tegak didepan mata.

Anak-anakku, tak ada perpisahan yang benar-benar istimewa. Semua tentu menyisahkan pilu walau bersama hanya sekejap mata.

Satu tahun seolah rasa itu diaduk agar berbesar hari membersamai setiap perbedaan sikap kalian dan juga sikap kami.

Sehebat apapun kita berusaha merayu waktu agar sejenak berhenti atau menjeda, namun kita tak dapat memberhentikan lajunya.

Ia akan tetap berlalu tanpa kompromi, mengisaratkan untuk terus berjuang dan jangan sampai tertinggal.

JANGAN MUNDUR,. bisikku lirih malam itu.

Kota pelajar DJOGJA seakan penuh sesak bersama tetesan air mata yang tak mampu kubendung walau sekuat tenaga aku menahannya.

Nyanyian perpisahan begitu kuat mengalirkan lirikan tanpa iba.

Pertahanku pada akhirnya jebol juga saat mata menyorot setiap wajah-wajah kalian.

Wajah-wajah yang sungguh tak ingin kutemui, wajah-wajah yang sangat berat untuk kulepaskan.

KOTA PELAJAR dan Jalan Malioboro bukanlah simbol perpisahan,

Dan ingatkah kau tentang siluet Jingga di Bukit Cikunir pagi itu?

Dieng adalah perjuangan, walau tawaran untuk mundur tak henti menyurutkan pertahanan.

Namun apa? Penat dan peluhnya perjuangan tak pernah berkhianat.

BUKIT CIKUNIR pagi itu sangatlah menawan, bukan?. Seolah memberi reword atas perjuangan tanpa lelah kalian.

Anak-anakku, ingatkah kau akan pesona gunung kidul dan hamparan pasir putihnya?

Riakan ombak seolah garang menghantam bukit karang pantai Indrayanti,

Ribuan pasang dan ombak mungkin sudah jutaan kali menghantam pertahanannya, tapi ia tetaplah kokoh, Berkomitmen atas nama keyakinan.

Tak dapat dan tak bisa kutitipkan apa-apa selain hanya doa yang kubisikkan pada pemilik semesta, “Semoga Segala Kebaikan Masa Depan Senantiasa membersamai kalian dimanapun tapak kaki kalian berpijak” **

Djogjakarta 7 Juni 2022

 

Penulis : Jubaidah Yusuf (Guru SMK Assalamah Wali Kelas XII OTKP 3)

Baca juga

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel & foto di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi!!

1 Komentar

Anonymous 16/06/2022 - 2:14 pm

misss baguss bangett ceritanyaa, huhu sedihh bacanyaaa🥺 Miss sehat-sehat yaa, semoga tambah sukses karirnyaa makin sabar sm anak murid-murid nyaa, big love for u Mrs❤️❤️❤️❤️❤️❤️

Reply