Saat Kepergianmu
Oleh: Oshin Aritonang, S.Pd
Assalamualaikum Ayah …, hari ini tepat 3 bulan sejak kepergianmu untuk selamanya. Masih belum hilang sedikit pun dari ingatan bagaimana pedihnya perasaanku waktu pertama kali mendengar kabar kepergianmu.
Waktu itu hari Senin, dimana aku benar-benar tidak bersemangat untuk beraktivitas, sampai jam 7.30 pun aku belum juga bersiap-siap untuk berangkat kerja padahal hari itu aku ada janji di jam 08.00 untuk mengikuti pelatihan. Hari itu benar-benar tidak seperti hari-hari biasanya Ayah, aku benar-benar berat untuk melangkah seperti ada yang aku tunggu tapi tidak tahu itu apa.
Jam hampir menunjukkan pukul 08.00 dan aku masih rebahan sampai suami pun heran mengapa aku tidak bersiap-siap untuk berangkat kerja,sampai akhirnya setelah dipaksakan akhirnya aku berangkat kerja.
Semua tergerak sesuai rencana Allah. Sesampainya di kantor ternyata pimpinan sudah menunggu untuk mengajak ku ke tempat pelatihan, tapi anehnya aku tidak langsung merespon ajakan tersebut. Justru aku sibuk mengoreksi administrasi UKK (Uji Kompetensi Keahlian) kemudian aku menyampaikan beberapa pesan kepada rekan kerja yang sudah ku percaya.
Semua pesan amanah pekerjaan yang ku delegasikan sudah tersampaikan dengan dengan begitu cepat dan Alhamdulillah berjalan lancar. Kemudian aku kembali ke kantor dan pimpinan kembali mengingatkan aku tentang pelatihan hari ini. Kemudian aku pun bersiap-siap untuk menghadiri event pelatihan dan memasukkan bebarapa perlengkapan dan berkas yang dibutuhkan.
Belum selesai untuk siap-siap, gawai ku pun berbunyi dan ternyata dari salah satu keluarga yang berada di Medan yaitu adik sepupuku yang bernama Ima Manurung. Karena sedang buru-buru aku mengabaikan panggilannya.
Gawai ku pun kembali berbunyi dengan panggilan dari orang yg sama. Mula-mula sekali ada kabar dari kampung halaman mungkin penting, gumamku dalam hati.
Dengan nada yg sedikit berbeda, dia bilang “Kak, telpon dulu ke rumah! Sudah tahu kabar, Kak?” Perasaanku sudah mulai tidak enak. Aku mencoba untuk tenang, “kenapa? Ada apa?” sampai ku ucapkan itu berkali-kali dan dia tidak mau menjawab. Karena aku merasa sesak dan panik, aku pun membentaknya. Karena aku mau mendengar kabar semua baik-baik saja.
Dan pada akhirnya dia menjawab, “Tulang (ayah), Kak”, langsung aku membentaknya kembali, “Kenapa ayahku??”. Dia pun menjawab, “Tulang, Kak, tulang (ayah) meninggal”.
Duarrrrr, aku langsung menjerit dan menangis meraung-raung karena benar-benar sesakit itu. Dunia terasa runtuh dan sekitar ku seketika terlihat gelap. Gawai ku jatuh ke lantai dan lututku terasa lemas, aku pun hampir terjatuh, beruntung ada rekan kerja yang langsung menangkap tubuhku yang limbung.
Ya Allah perasaanku tidak karuan. “Ayah kenapa kau pergi secepat ini?”, aku pun langsung di bopong ke UKS dan pihak sekolah menelpon suamiku Alvaro Rio untuk menjemputku. Ternyata suami pun sudah mendapat kabar dari salah satu anggota keluarga.
Suami dan kakak ipar datang untuk menjemputku. Karena melihat kondisi yang tidak memungkinkan kami pun naik transportasi online. Alhamdulillah punya keluarga dari suami yang sangat baik.
Kakak ipar menjemput, adik ipar langsung memesan tiket pesawat. Istri adik ipar sudah menunggu di rumah untuk memberi support dan menyediakan minuman untukku karna kondisi badanku memang benar-benar lemas. Alhamdulillah pihak sekolah juga sangat baik dan mengerti kondisiku.
Sampai di bandara aku di paksa makan supaya bertenaga. Aku pun makan walau hanya sedikit karna menghargai. Sambil makan suami dan adik ipar sibuk mencari travel yg bisa langsung berangkat sampai di bandara Medan Kualanamu, tetapi Allah berkata lain, semua tidak berjalan sesuai harapan kami Ayah, semua benar-benar di luar prediksi.Ingin rasanya marah ke pihak travel karna tidak sesuai janji tapi tenaga sudah tidak ada dan kami hanya bisa pasrah.
Sepanjang jalan aku terus menangis sampai suami tidak berani mengajak bicara, mungkin dia tau apa yang kurasa saat itu. Kemudian suami menelpon keluargaku. Suamiku bilang ayah akan di makamkan sore ini juga.
Rasanya hatiku hancur Ayah karna aku tidak bisa melihatmu untuk terakhir kalinya. Namun aku tidak boleh egois karna aku yakin kau sudah tak sabar untuk bertemu Sang Penciptamu walaupun kami sangat menyayangimu.
Aku tetap pulang ke Medan karna aku ingin mendokanmu secara langsung walaupun hanya melihat pusaramu,dan aku pun ingin melihat ibu, istri yang kau tinggalkan Ayah.
Alhamdulillah, rasa sakit sedikit terobati ketika aku melihat Ayah untuk terakhir kalinya melalui Video Call, engkau kelihatan seperti orang tidur.
Ayah, Alhamdulillah pihak sekolah mengizinkan ku untuk mendampingi Ibu selama 2 minggu. Aku tidak tega meninggalkan Ibu yang masih dalam keadaan lemah karna Ibu hanya bisa menangis dan menangis saat itu. Rasanya selama 2 minggu aku benar-benar tidak mau jauh darinya. Setiap Ibu bercerita pasti selalu tentangmu Ayah.
Terimakasih Ayah, selalu menjaga Ibu sampai maut memisahkan. Semoga Allah berikan kesehatan dan kebahagian buat Ibu, Aamiin Dan semoga Allah ampuni dosa-dosa Ayah dan di terima amalnya serta dikumpulkan bersama orang orang sholeh. Aamiin …
Jujur Ayah selama ini aku masih belajar menata hati untuk ikhlas melepas kepergian orang-orang yang aku sayangi, menyiapkan hati jika sewaktu-waktu hal ini terjadi,tapi aku belum siap untuk menata hati dan ternyata Ayah sudah pergi. Tapi aku yakin rencana Allah itu selalu indah dan terbaik. AamiinAllhummaAamiin **
Penulis: Oshin Aritonang, S.Pd. (Guru SDIT Bahrul Fikri)
4 Komentar
Bagus dan terharu bacanya
Bikin mewek
Barokallaah bu oshin aritonang.Horas
sungguh trenyuh jg membaca kisahnya.