Swara Pendidikan (Depok) – Seragam sekolah sejak lama telah menjadi simbol persatuan, kedisiplinan, dan identitas nasional di lingkungan pendidikan. Namun, pada tahun ajaran baru 2025 ini, kebijakan larangan jual-beli seragam oleh sekolah kembali menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat, terutama para orang tua siswa.
Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2022, pengaturan seragam sekolah bertujuan menumbuhkan kebersamaan antar siswa tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi. Seragam juga menjadi bagian dari upaya penanaman nilai-nilai karakter dan nasionalisme.
Jenis seragam sekolah terbagi menjadi tiga:
- Seragam Nasional dan Seragam Pramuka
- Seragam Khas Sekolah
- Pakaian Adat
Adapun ketentuan penggunaannya sudah diatur dengan cukup rinci. Seragam nasional dipakai pada hari Senin, Kamis, dan saat upacara bendera, lengkap dengan topi, dasi, dan atribut identitas. Seragam Pramuka dan seragam khas sekolah digunakan pada hari-hari tertentu sesuai kebijakan sekolah, sedangkan pakaian adat dikenakan pada momen budaya atau hari khusus.
Seragam Wajib, Tapi Sekolah Dilarang Menjual
Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022 menegaskan bahwa pengadaan dan pembiayaan seragam adalah tanggung jawab orang tua/wali murid. Sekolah dilarang mewajibkan pembelian seragam baru setiap tahun, selama seragam lama masih layak pakai. Namun pada saat yang sama, pihak sekolah juga tidak diperbolehkan menjual seragam, sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2010:
- Pasal 181 (a): Pendidik dan tenaga kependidikan dilarang menjual seragam secara perorangan maupun kolektif.
- Pasal 198 (a): Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga dilarang menjadi pelaku jual-beli seragam.
Larangan ini kembali ditegaskan melalui:
- Surat Edaran Disdik Provinsi Jawa Barat Nomor 16739/PW.03/SEKRE
- Imbauan Disdik Kota Depok Nomor 420/7703/Sekret/2025
Kedua edaran ini menegaskan bahwa tidak boleh ada praktik jual-beli seragam oleh pihak sekolah, termasuk melalui koperasi atau komite.
Ketika Regulasi Tak Sepenuhnya Menjawab Kebutuhan Lapangan
Di satu sisi, aturan ini bertujuan melindungi orang tua dari kewajiban membeli seragam yang mahal atau tidak diperlukan. Namun di sisi lain, muncul kebingungan praktis di lapangan, khususnya soal pengadaan seragam khas sekolah seperti batik sekolah, pakaian olahraga, hingga baju muslim yang tidak tersedia bebas di toko umum.
Banyak orang tua merasa bingung: jika sekolah tidak boleh menjual seragam khas, dan seragam tersebut tidak dijual di pasaran, lalu bagaimana cara mendapatkannya?
Belum adanya regulasi teknis yang mengatur mekanisme penyediaan seragam khas sekolah menjadi persoalan yang cukup serius. Sekolah pun kesulitan membantu, karena khawatir dianggap melanggar aturan jika memfasilitasi pengadaan seragam melalui pihak ketiga.
Belajar dari Daerah Lain: Seragam Gratis sebagai Solusi
Beberapa daerah menunjukkan inisiatif yang berpihak pada masyarakat. Misalnya:
- Provinsi Kalimantan Tengah memberikan seragam gratis bagi seluruh siswa baru SMA/SMK negeri dan swasta.
- Kota Makassar mengalokasikan anggaran Rp18 miliar untuk seragam gratis SD dan SMP, diproduksi oleh UMKM lokal.
- Kota Malang membagikan seragam gratis kepada 500 siswa SD dan SMP, dengan dana Rp7 miliar.
Langkah-langkah ini sekaligus mendukung industri lokal dan memastikan siswa mendapatkan seragam yang seragam secara identitas.
Mendesak: Aturan Teknis yang Jelas dan Solutif
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah perlu segera menyusun aturan teknis tentang pengadaan seragam khas sekolah. Regulasi ini penting agar sekolah dapat tetap menjaga identitasnya, orang tua tidak kebingungan, dan siswa tetap mengenakan seragam sesuai ketentuan—tanpa mengorbankan keadilan sosial maupun melanggar peraturan yang ada.
Tanpa kejelasan teknis, kebijakan larangan jual-beli seragam sekolah akan terus menjadi polemik di awal tahun ajaran. Kita tidak bisa membiarkan siswa terjebak dalam kebingungan administratif, padahal tujuan pendidikan adalah menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran dan membangun karakter.
Solusi konkret dan tegas dibutuhkan, bukan hanya larangan!!