“Haikal”

by Redaksi
0 Komentar 469 Pembaca

Penulis : Ratna Dairaturrahmah (UPTD SDN Utan Jaya, Depok)

 

iNI KISAHKU,saat aku baru saja lulus dari S1 disalah satu Universitas Negeri yang ada di daerah Ciputat, Tangerang Selatan. Sejak kecil, aku sangat ingin bercita-cita menjadi guru. Sebenarnya sih, aku ingin sekali mengajar di kampung halaman ayahku, di Papua. Namun, aku tidak di izinkan ke sana. Akhirnya aku mencari lowongan pekerjaan di sekitar Jakarta saja.

Aku langsung meng-apply banyak sekolah saat itu. Walaupun pada dasarnya aku bukan lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, namun aku banyak memasukkan CV-ku ke Sekolah Dasar.

Hingga suatu saat, ada panggilan interview dan micro teaching di salah satu Sekolah Islam yang ada di daerah Jakarta Selatan. Akhirnya aku datang ke sekolah tersebut. Sembari mengedarkan pandangan untuk melihat sekolah, aku terpana dengan bangunannya. Karena menurutku, bangunan sekolah itu cukup bagus dan bersih. Singkat cerita, akhinya aku di terima di Sekolah Islam tersebut.

Aku ditugaskan menjadi wali kelas untuk jenjang kelas 4. Awal masuk ke sekolah itu, aku termasuk yang paling muda di sana. Karena memang aku baru saja lulus.

Akhirnya, aku memasuki kelas di mana aku akan mengajar. Perasaanku saat itu campur aduk, aku sangat excited tapi juga merasa sedikit was-was. Karena aku baru pertama kali mengajar di sebuah institusi. Saat pertama kali aku masuk ke dalam kelas itu, seluruh siswa melihat ke arahku. Aku pun berjalan ke dalam kelas, tak lupa senyum mengembang di wajahku. Namun, saat aku akan memperkenalkan diri, tiba-tiba ada siswa yang menangis histeris. Aku pun bingung kenapa siswa itu menangis, kuhampiri siswa itu. Siswa berperawakan gemuk, dengan kulit putih, serta rambut ikal. Anak  itu bernama Haikal.

Haikal menangis dan segera memukul temannya yang lain. Di sana aku tersentak kaget melihatnya, lantas aku segera memeluk Haikal, sambil menghitung 1 sampai 5. Entah kenapa saat itu, hanya itu yang terbesit di kepalaku. Dan betapa kagetnya aku, Haikal menjadi tenang ketika hitunganku sudah sampai di angka 5. Segera aku bawa ia ke luar kelas, karena jika aku menanyakan di dalam kelas, takut situasi tidak mendukung.

Sesampainya di luar kelas, aku tanyakan mengapa ia menangis. Dan tahukah kalian kenapa Haikal menangis? Hal itu karena ia dibilang “autis” oleh temannya. Betapa terkejutnya aku saat itu, dan setelah aku perhatikan, ketika berbicara memang mata Haikal tidak fokus menatap mataku. Hal ini membuatku ingin mencari lebih jauh mengapa Haikal seperti itu.

Segera aku mencari data tentang Haikal. Dan dari hasil pencarianku, memang ia adalah termasuk anak ADHD. ADHD atau attention deficit hyperactivity disorder. Semacam gangguan mental yang menyebabkan seorang anak sulit memusatkan perhatian, serta memiliki perilaku impulsif dan hiperaktif, sehingga dapat berdampak pada prestasi anak di sekolah. Ia juga bisa menjadi pribadi yang ‘sentimen’.

Berjalannya waktu, aku dapat melihat perbedaan Haikal, khususnya di bidang akademik. Ia harus mengerjakan soal yang berbeda dengan temannya yang lain. Memang ia agak kurang di bidang berhitung dan bahasa, namun ia sangat terampil di bidang olahraga. Ia merupakan perenang yang sangat handal. Bahkan Haikal sampai menang di tingkat kecamatan saat itu.

Satu hal yang aku dapat pelajari dari Haikal, bahwa setiap anak dilahirkan dengan kehebatannya masing-masing. Memang ia terlahir dengan keterbatasan, namun banyak kelebihan yang dimilikinya. Ia juga mengajarkanku untuk lebih bersabar lagi. Ia juga anak yang memiliki semangat yang tinggi. Tidak pernah mengeluh saat harus melakukan tambahan jam belajarnya setiap pulang sekolah denganku.

Aku memberikan tambahan pelajaran dengannya tiap jam pulang sekolah. Orang tuanya pun sangat kooperatif denganku, sehingga saat di rumah, ia pun di-push dengan mengulang materi-materi yang tadi sudah dipelajarinya di sekolah. Saat kenaikan kelas, ia pun memperoleh nilai yang lebih baik dari yang sebelumnya. Aku pun turut terharu dengan hasil yang diraihnya. Bukan nilai, namun proses yang dilaluinya. Itu lah yang membuatku sangat bangga terhadap sosoknya.

Itu lah kisahku pertama kali mengajar di sekolah. ***

Baca juga

Tinggalkan Komentar