Swara Pendidikan (Jepara) – Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an (PPTQ) Al-Husna Mayong, Dr. KH. Ahmad Mudhoffar, M.Pd., menyerukan pentingnya merevisi sistem dan tenaga pendidik di Indonesia, dengan menekankan bahwa orientasi utama pendidikan harus kembali pada adab (akhlak) dan berlandaskan pada konsep Rasulullah SAW.
Dalam sebuah kesempatan pada Rabu (18/11/2025), Kiai Mudhoffar menegaskan bahwa kedekatan dan keharmonisan antara pihak pondok/sekolah dengan wali santri adalah kunci untuk menciptakan suasana pendidikan yang ideal.
“Dengan Wali Santri itu tidak ada jarak. Kalau kurang harmonis, sedikit gesekan antara guru dan anak bisa timbul masalah. Wali Santri harus diajak berembuk, diajak musyawarah, harus didekati,” ujarnya.
Kh. Mudhoffar menyatakan bahwa pondasi dari adab dan akhlak adalah shalat. Ia mengibaratkan, jika salat seorang anak tertata, maka akhlak dan adabnya akan ikut tertata.
“Yang sudah masyhur itu adab lebih tinggi daripada ilmu. Pemilihan RT, pemilihan takmir, semua lebih dipilih yang punya adab. Jadi, pendidikan itu orientasinya harus ke adab,” tegasnya.
Beliau juga mengingatkan para wali santri untuk tidak bersikap “pasrah bongkoan” (pasrah total) dalam mendidik anak. Orang tua tetap harus terlibat langsung, terutama ketika anak bermasalah, seperti malas belajar atau berani meninggalkan salat di usia 10 tahun.
Merujuk pada hadis tentang fitrah manusia yang dilahirkan dalam kondisi kebaikan (kertas putih), Kiai Mudhoffar berpendapat bahwa pendidikan bertugas mengembang-tumbuhkan fitrah tersebut. Jika hasil pendidikan ternyata gagal—menghasilkan korupsi, misalnya—maka yang salah adalah sistem dan pendidiknya (mesinnya).
“Guru adalah cetakan. Kalau cetakannya roti ini segitiga, maka akan segitiga. Jika sistem dan guru masih korupsi dan orientasi guru hanya pekerjaan, bukan tanggung jawab moral, kita pada fase yang memprihatinkan,” jelas beliau.
Di Ponpes Al-Husna, Kiai Mudhoffar menerapkan sistem musyawarah sebagai keputusan tertinggi, bukan instruksi. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dan sunnah Rasulullah, yang diyakini akan mendatangkan pertolongan dan keberkahan.
Menyoroti kondisi pendidikan nasional, Kh. Mudhoffar menyatakan bahwa kondisi negara saat ini adalah cerminan dari hasil pendidikan 30-40 tahun yang lalu. Sementara hasil pendidikan yang sedang berjalan saat ini baru akan dirasakan 20-25 tahun ke depan.
Ia mengkritisi kondisi tenaga pendidik yang saat ini “dihadang tembok” oleh isu-isu seperti Perlindungan HAM dan berurusan dengan polisi, sementara media sosial (medsos) berjalan tanpa batasan.
“Didikan guru justru lebih melekat didikan medsos, benteng terakhir pendidikan Indonesia itu justru di pesantren. Tapi saat ini pesantren pada di-bully, pada diserang,” pungkasnya.
Untuk menjaga kualitas santri, Ponpes Al-Husna menerapkan sistem mandiri di mana santri tidak diizinkan keluar dan tidak bergaul dengan anak kampung (pihak luar) di lingkungan pondok, untuk menghindari pengaruh negatif atau “virus” yang dibawa dari luar.




