Swara Pendidikan (Jepara) — Kesiapan mental menjadi faktor penentu dalam mewujudkan keluarga yang harmonis dan berdaya tahan. Hal itu disampaikan Kepala seksi (Kasie) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Jepara, Samsul Arifin, menanggapi masih maraknya praktik pernikahan usia dini di masyarakat.
“Pernikahan bukan sekadar legalitas untuk hidup bersama, tapi bertujuan membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Sayangnya, banyak pernikahan usia dini gagal mencapai itu karena belum siap secara mental,” ujar Samsul Arifin saat ditemui jurnalis Swara Pendidikan di ruang kerjanya, Jumat (17/10/2025).
Menurutnya, banyak pasangan muda yang belum memiliki kematangan berpikir, kemandirian ekonomi, serta kemampuan mengelola konflik emosional.
“Keluarga maslahah tidak cukup dengan niat baik, tetapi memerlukan kematangan berpikir dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan,” imbuhnya.
Samsul menjelaskan, perbedaan pola asuh antar generasi turut memengaruhi standar kesiapan menikah. Jika dahulu usia baligh dianggap cukup dewasa untuk menikah, kini banyak anak usia 21 tahun masih bergantung pada orang tua, baik secara finansial maupun emosional.
“Usia biologis tidak bisa lagi dijadikan patokan kesiapan menikah. Yang lebih penting adalah kesiapan mental dan emosional untuk menghadapi dinamika rumah tangga,” tegasnya.
Langkah Kemenag Jepara Tekan Pernikahan Dini
Sebagai langkah pencegahan, Kemenag Jepara melalui Seksi Bimas Islam telah melaksanakan sejumlah program edukatif, di antaranya:
- BRUS (Bimbingan Remaja Usia Sekolah): untuk siswa SMA/MA sederajat.
- BRUN (Bimbingan Remaja Usia Nikah): bagi pemuda-pemudi usia siap menikah.
- BIMWIN (Bimbingan Perkawinan): diperuntukkan bagi calon pengantin yang telah mendaftar di KUA.
Program tersebut dilakukan melalui metode tatap muka, daring, dan mandiri dengan materi meliputi komunikasi pasangan, pengelolaan konflik, kesehatan reproduksi, hingga pengelolaan keuangan keluarga.
Selain itu, seluruh calon pengantin yang menikah di KUA wajib menjalani pemeriksaan kesehatan di Puskesmas, termasuk tes kehamilan (PP Test).
“Jika hasilnya positif, kami pastikan pernikahan dilakukan dengan pria yang bertanggung jawab, bukan orang lain. Untuk kasus pernikahan dini non-kehamilan, kami undang orang tua untuk berdialog mengenai alasan mereka menikahkan anaknya,” terang Samsul Arifin.
Data Pengadilan Agama: Angka Dispensasi Kawin Masih Tinggi
Kekhawatiran Kemenag Jepara semakin kuat setelah melihat data dari Pengadilan Agama Kabupaten Jepara. Hingga 17 Oktober 2025, tercatat:
- 1.413 perkara Cerai Gugat
- 350 perkara Cerai Talak
- 301 permohonan Dispensasi Kawin
Angka tersebut mencerminkan masih tingginya persoalan rumah tangga akibat pernikahan tanpa kesiapan matang. Sebagian besar pengajuan dispensasi kawin disebabkan oleh kehamilan di luar nikah.
Samsul menegaskan bahwa persoalan ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada Kemenag atau KUA.
“Pendidikan karakter dan pemahaman nilai-nilai keluarga harus dimulai dari rumah dan sekolah. Orang tua, guru, dan tokoh agama harus bersinergi dalam membentuk kesadaran tentang pentingnya kematangan sebelum menikah,” ujarnya.
Dengan langkah kolaboratif antara Kemenag, Pengadilan Agama, dan lembaga pendidikan, diharapkan masyarakat semakin memahami bahwa pernikahan bukanlah tujuan akhir kedewasaan, melainkan awal dari tanggung jawab dan pembelajaran hidup bersama.**
“Tujuan kami bukan untuk melarang pernikahan, tapi memastikan bahwa yang menikah betul-betul siap secara mental, emosional, fisik, dan spiritual. Kalau belum siap, lebih baik dibina dulu,” tandasnya.
Ia juga mengajak semua pihak untuk terus menyuarakan pentingnya pendidikan keluarga sejak usia dini. Dengan begitu, generasi muda Indonesia tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga bijak dalam mengambil keputusan besar dalam hidup—termasuk dalam hal pernikahan.**