Senin, 14 Juli 2025, menjadi hari yang dinanti oleh ribuan siswa dan orang tua di Kota Depok. Wajah-wajah ceria tampak menghiasi gerbang-gerbang sekolah, dipenuhi semangat baru dan pelukan hangat dari keluarga. Tas baru di punggung, seragam rapi, dan langkah kecil penuh harapan mengiringi momen penting: hari pertama masuk sekolah.
Namun, di balik keriuhan dan kebahagiaan itu, ada pertanyaan sunyi yang mengusik nurani: adakah anak-anak yang masih tertinggal di rumah, belum mendapat kepastian sekolah?
Pertanyaan ini bukan tanpa dasar. Refleksi dari tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)—yang kini dikenal sebagai Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB)—masih menyisakan luka dan tanya. Tidak semua anak beruntung bisa langsung diterima di sekolah negeri. Meskipun telah melalui jalur zonasi, afirmasi, prestasi, atau perpindahan orang tua, sebagian harus menelan kekecewaan karena tidak lolos seleksi.
Yang lebih menyakitkan, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya tergoda mencoba “jalan pintas”—mengandalkan pihak tertentu, menitipkan nama, atau bahkan terlibat dalam isu “jual beli kursi”. Fenomena “titip menitip siswa” kembali menghantui publik, seperti duri yang tak kunjung bisa dicabut dari tubuh sistem pendidikan kita.
Tahun ini, aroma praktik tidak sehat itu kembali tercium. Ditemukan adanya siswa yang semula terdaftar di sekolah swasta, lalu mencabut berkas untuk berpindah ke sekolah negeri di tengah jalan. Fenomena ini menimbulkan kecurigaan akan celah yang masih dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Sistem yang seharusnya menjunjung prinsip transparansi dan keadilan, justru tampak rentan terhadap manipulasi.
Publik juga masih mengingat pernyataan berani dari Wakil Wali Kota Depok saat kampanye Pilkada lalu: siap mundur jika terbukti ada praktik jual beli bangku. Hari ini, pernyataan itu kembali disorot masyarakat. Bukan semata untuk menjatuhkan, tapi sebagai bentuk desakan atas integritas janji politik—yang seharusnya seiring sejalan dengan integritas pendidikan.
Isu ini bukan sekadar persoalan teknis penerimaan siswa. Ini menyentuh jantung moral dunia pendidikan. Bagaimana mungkin kita berharap lahir generasi yang jujur dan berkarakter, jika proses masuk ke sekolah pun sudah dibayang-bayangi oleh ketidakjujuran?
Sekolah seharusnya menjadi ruang yang bersih dari praktik manipulatif. Ia adalah tempat terbaik untuk menanamkan nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Maka sangat ironis jika justru sekolah—lewat proses penerimaannya—melanggengkan ketimpangan dan diskriminasi terselubung.
Kita tentu tidak ingin anak-anak kehilangan semangat hanya karena sistem tidak berpihak pada mereka. Kita ingin semua anak—tanpa kecuali—merasakan suka cita hari pertama sekolah. Kita ingin melihat mereka tumbuh dengan semangat yang sama, bukan dengan rasa kecewa karena kalah oleh “jalur tak resmi”.
Untuk itu, mari kita kawal bersama proses pendidikan di negeri ini. Tak cukup hanya mengandalkan kebijakan pemerintah. Orang tua, guru, masyarakat, dan media harus menjadi penjaga moralitas sistem pendidikan. Kita harus berani mengkritik, mengawasi, dan menyuarakan kebenaran.
Agar ke depan, tak ada lagi anak yang tertinggal di rumah, menanti dalam sunyi, hanya karena sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada keadilan. **




