Kebijakan Gubernur Jawa Barat yang memperbolehkan hingga 50 siswa per kelas di sekolah negeri tentu dilandasi niat baik: menyelamatkan generasi muda dari ancaman putus sekolah.
Sebagai penyelenggara pendidikan swasta, saya menghormati keputusan tersebut. Kami percaya bahwa akses pendidikan memang harus dibuka seluas-luasnya, terutama bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain—dan sungguh berat bagi kami.
Sejak kebijakan ini diberlakukan, sekolah-sekolah swasta di berbagai daerah mengalami penurunan jumlah siswa yang sangat signifikan. Banyak dari kami yang kehilangan peserta didik secara drastis, hingga ruang-ruang kelas yang dulu dipenuhi semangat kini menjadi sunyi. Guru-guru yang telah puluhan tahun mengabdi kini dihantui kekhawatiran kehilangan pekerjaan. Dampaknya bukan hanya pada institusi, tapi juga pada keluarga para tenaga pendidik.
Kami tidak menyalahkan siapa pun. Tapi kami merasa kehilangan ruang untuk ikut berkontribusi. Padahal sejak sebelum Indonesia merdeka, sekolah swasta telah menjadi penopang sistem pendidikan nasional, hadir ketika sekolah negeri belum mampu menjangkau semua anak bangsa.
Ironisnya, kebijakan ini juga bertentangan dengan regulasi nasional. Permendikbudristek Nomor 47 Tahun 2023, Pasal 5 ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa maksimal jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar jenjang SMA/SMK adalah 36 siswa. Dengan menetapkan 50 siswa per kelas, kebijakan ini bukan hanya melanggar aturan, tetapi juga berisiko besar menurunkan mutu pembelajaran. Bagaimana mungkin seorang guru bisa optimal mendampingi 50 siswa dalam satu kelas?
Kami tidak sedang menolak. Kami paham, pemerintah sedang berupaya mengatasi masalah serius: banyaknya anak usia sekolah yang tidak tertampung karena kendala ekonomi dan keterbatasan daya tampung sekolah negeri.
Tapi kami juga percaya, solusi terbaik adalah yang mempertimbangkan semua pihak. Sekolah swasta selama ini telah menjadi bagian penting dalam mendidik generasi bangsa. Kami bukan pesaing sekolah negeri, kami adalah mitra yang bersedia bekerja sama demi kemajuan pendidikan.
Kami tidak ingin menjadi korban dari perubahan sistem. Kami ingin menjadi bagian dari perubahan itu.
Kami mengajak pemerintah membuka ruang dialog, membangun skema kolaboratif, dan mempertimbangkan afirmasi bagi siswa yang bersekolah di lembaga swasta. Berikan kesempatan yang adil. Kami siap bersaing secara sehat, dengan tetap menjunjung mutu dan dedikasi.
Kelas-kelas kami mungkin kosong, tapi semangat kami belum padam. Kami tidak minta diperlakukan istimewa, hanya ingin keberadaan kami diakui, dan diberi peluang untuk terus mengabdi.
Karena sekolah swasta bukan pelengkap. Kami adalah mitra negara dalam membangun masa depan.
Jika negeri menampung kuantitas, izinkan kami mengembangkan kualitas. Kami mungkin terpuruk, Tapi kami tidak akan tumbang.***