Mendapat julukan Guru Bodoh, tentu hati guru mana pun akan terasa sangat sakit. Bagaimana tidak, orang yang sehari-hari dipercaya mendidik anak-anak, juga menjadi sumber belajar dan teladan bagi siswanya, bisa-bisanya sampai mendapat julukan yang sangat menyakitkan seperti itu? Memang guru bodoh itu ada?
Jika menilik kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan, saat ini seorang guru minimal harus berpendidikan S-1. Selain itu, untuk bisa lulus seleksi guru sungguh tidak mudah. Jadi logikanya, tak ada seorang guru pun yang bodoh. Tapi, mengapa sampai ada guru yang mendapat julukan seperti itu?
Bisa jadi, munculnya julukan seperti itu sebagai akibat dari buruknya kinerja guru. Siswa maupun orang tua siswa yang merasa tidak puas dan kecewa terhadap kinerjanya, kemudian sampai tega memberi julukan seperti itu.
Ketika mengajar misalnya, guru tersebut terkesan tidak memiliki persiapan yang baik. Saat mengawali proses pembelajaran, sama sekali guru tersebut tidak memberitahukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai kepada siswa. Metode yang digunakan pun hanya ceramah. Dalam menerangkan materi pembelajaran, juga terkesan ngalor-ngidul dan melompat-lompat tidak jelas.
Selain itu, guru tersebut juga sangat mendominasi kelas. Siswa hampir tidak pernah diberi kesempatan untuk bertanya. Kalau membuat soal evaluasi, selain pertanyaannya membingungkan juga tidak mengacu pada indikator ketercapaian Kompetensi Dasar (KD). Begitu seterusnya.
Di sisi lain, di saat sedang tidak mengajar, guru tersebut tidak memanfaatkan waktu dengan baik untuk meningkatkan kompetensinya. Dia justru lebih suka mengobrol atau menghabiskan waktu dengan gawainya. Karena itu, meski sudah cukup lama menjadi guru, kemampuan keguruannya seolah tak pernah mengalami peningkatan. Alhasil, ia pun kemudian mendapat julukan sebagai Guru Bodoh.
Sakit hati? Tentu. Tapi jangan sampai menyalahkan siswa, orang tua siswa, atau siapa pun. Guru hendaknya menyadari, bahwa siswa maupun orang tua siswa membutuhkan pelayanan prima dari setiap guru. Hendaknya hal tersebut justru dijadikan cambuk untuk meningkatkan kompetensi, kreativitas, dan inovasi guru sehingga akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan sebaik-baiknya.
Jika setiap guru senantiasa mau dan mampu meningkatkan kompetensinya, kreativitasnya, dan inovasinya sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya melayani siswa dengan sebaik-baiknya, maka pada saatnya nanti julukan yang sangat menyakitkan hati itu tentu tak akan ada lagi. Semoga. [*]
Penulis : Edi Prasetyo (Pensiunan guru SMA. Tinggal di Purbalingga, Jateng)