Swara Pendidikan – Dunia pendidikan Kota Depok kembali diramaikan oleh kabar “kebijakan yang memantik diskusi publik” dari Wali Kota: siswa miskin yang tidak tertampung di sekolah negeri akan digratiskan di sekolah swasta. Kabar ini sontak menyita perhatian dan mendapat dukungan banyak pihak.
Semua fraksi di DPRD Kota Depok—kecuali PKS—kompak menyatakan dukungan. Mulai dari Gerindra, PDI-P, PKB, PPP hingga PSI berdiri di barisan yang sama: menjamin hak pendidikan setiap anak.
Langkah Wali Kota ini merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PPU-VIII/2010, serta amanat konstitusi Pasal 31 UUD 1945 ayat (1) dan (2) yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan negara wajib membiayainya. Dalam konteks itu, tentu kebijakan ini patut diapresiasi. Tapi persoalannya: apakah kebijakan ini siap dijalankan? Apakah sekolah swasta benar-benar bisa digratiskan ditahun ajaran baru 2025-2026 ini?
Realitas di Lapangan Tak Sesederhana Teks Kebijakan
Sebagai penulis, saya mendukung penuh hak setiap anak untuk mengenyam pendidikan—gratis, berkualitas, dan berkeadilan. Tapi di sisi lain, saya juga melihat dengan jernih: kebijakan ini berpotensi menjadi senjata makan tuan, terutama jika tidak ditopang kajian teknis dan kesiapan anggaran.
Di media sosial, keresahan orang tua sudah membuncah. Mereka tidak percaya. Bukan karena anti terhadap sekolah swasta, tapi karena bayang-bayang biaya yang tak sanggup mereka tanggung. Bagi sebagian keluarga, bahkan iuran Rp100 ribu per bulan adalah beban. “Makan saja susah, apalagi sekolah,” keluh seorang ibu yang suaminya hanya pengemudi ojol.
Jadi, boleh saja Wali Kota berbicara soal program besar, tapi masyarakat melihat eksekusinya. Bicara soal pendidikan bukan hanya soal niat baik, tapi juga eksekusi yang tidak melukai kepercayaan publik.
Antara Janji dan Kapasitas Anggaran Daerah
Menggratiskan siswa miskin di sekolah swasta tentu bukan perkara ringan. Jika menggunakan dana APBD, maka transparansi dan kajian teknis harus benar-benar kuat. Ini bukan uang pribadi yang bisa dikucurkan begitu saja. Apakah sudah dihitung berapa jumlah siswa yang akan ditanggung? Berapa sekolah swasta yang siap terlibat? Bagaimana mekanisme validasi siswa miskin? Siapa yang menentukan nilai dan standar sekolah mitra?
Tanpa jawaban yang konkret, kebijakan ini berpotensi membingungkan, bahkan memicu ketegangan. Dan yang paling menyedihkan, anak-anak bisa jadi korban kebijakan setengah matang.
Akankah Anak-anak Harus Menunggu Tahun Depan?
Inilah pertanyaan besar: jika kebijakan sekolah gratis di swasta belum bisa diterapkan tahun ini, kemana anak-anak yang ditolak dari SMP negeri akan bersekolah? Apakah mereka harus menganggur satu tahun, menunggu janji politik direalisasikan?
Pendidikan tidak bisa ditunda. Kegagalan satu tahun bisa berarti putus asa seumur hidup. Jangan sampai semangat membela konstitusi justru malah gagal memenuhi mandat konstitusi itu sendiri: hak pendidikan dasar yang layak dan segera.
Mendukung dengan Kritis
Tulisan ini bukan bentuk hinaan. Sebaliknya, saya menaruh harapan tinggi terhadap Wali Kota Depok agar tidak sekadar mengumbar janji populis, tetapi benar-benar mampu menyiapkan program yang adil, berkelanjutan, dan realistis. Saya sendiri adalah anak dari masa lalu yang gagal menikmati sembilan tahun pendidikan dasar secara utuh. Saya tidak punya gelar akademik. Tapi saya mengerti bagaimana rasanya menjadi anak yang tertolak dari sistem pendidikan karena alasan ekonomi.
Jangan biarkan sejarah saya terulang di generasi anak-anak Depok hari ini. Bila Wali Kota mampu mewujudkan program ini, maka ini akan menjadi warisan besar. Tapi, tolong jangan terburu-buru. Karena banyak juga pelaku pendidikan swasta yang selama ini bertahan hidup dari ketimpangan daya tampung sekolah negeri.
Penutup
Pendidikan bukan sekadar program tahunan. Ia adalah fondasi masa depan bangsa. Maka kebijakan penggratisan sekolah swasta untuk siswa miskin perlu dipersiapkan sebaik mungkin—bukan sekadar diumumkan dalam pidato, tetapi dijalankan dalam kenyataan.
“Maju terus Pak Wali, tapi jangan sampai anak-anak kami hanya menjadi korban dari kegagalan birokrasi dan euforia kebijakan.”
Penulis: Luki Leonardo – Wartawan Halaman. co. id




