Swara Pendidikan – Dunia pendidikan saat ini menghadapi tantangan yang tidak sederhana. Di tengah era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) dan disrupsi yang terus berlangsung, lembaga pendidikan dituntut untuk mampu menjadi center of excellence—pusat keunggulan yang adaptif, inovatif, dan transformatif.
Transformasi pendidikan tidak cukup hanya dengan perubahan kurikulum atau kebijakan, tetapi juga memerlukan perubahan paradigma dan cara berpikir. Salah satu kunci utama dalam membangun Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul adalah mengembangkan tiga mindset penting: Growth Mindset, Future Mindset, dan Innovation Mindset.
1. Fix Mindset vs Growth Mindset: Tantangan Membangun SDM Unggul di Sekolah
Mengelola lembaga pendidikan, khususnya sekolah, menuntut upaya serius dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul, baik dari kalangan guru maupun siswanya. Keduanya harus terus bertumbuh dan berkembang. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah. Mendidik dan menumbuhkan potensi siswa adalah proses yang kompleks dan penuh tantangan.
Kunci utamanya adalah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada semua individu untuk terus bertumbuh dalam lingkungan organisasi atau sekolah. Pengetahuan terus berkembang, tantangan zaman berubah cepat, dan dunia bergerak dinamis. Karena itu, guru dituntut untuk terus belajar hal-hal baru—mulai dari creative thinking, problem solving, deep learning, integrative learning environments, hingga berbagai pendekatan pendidikan modern lainnya.
Jangan cepat puas dengan apa yang telah dimiliki saat ini. Kejar terus peningkatan kapasitas dan spesialisasi pengetahuan hingga menguasai dua atau tiga bidang secara mendalam. Bila seorang guru atau siswa tidak mau bertumbuh dan mengembangkan dirinya, maka itu disebut sebagai fix mindset—yakni pola pikir yang menganggap kecerdasan dan karakter sebagai sesuatu yang statis.
Sebaliknya, guru harus memiliki growth mindset—pola pikir yang meyakini bahwa kecerdasan dan karakter bisa terus dikembangkan. Konsep ini pertama kali dikenalkan oleh Carol Dweck dalam bukunya “Mindset: The New Psychology of Success” yang terbit tahun 2006. Namun, seiring waktu, konsep ini telah berkembang.
Dalam dua tahun terakhir, murid Carol Dweck, Mary C. Murphy, memperkenalkan penguatan terhadap ide ini melalui buku terbarunya yang menekankan pentingnya membangun growth culture. Artinya, growth mindset tidak cukup hanya dimiliki individu, tetapi perlu ditopang oleh budaya organisasi yang mendukung pertumbuhan bersama.
Inilah tugas besar para pemimpin pendidikan: membangun budaya sekolah yang mendorong pertumbuhan, bukan sekadar mengapresiasi mereka yang cerdas sejak awal. Jangan sampai kita hanya membangun culture of genius—yakni budaya yang hanya mengagungkan kepintaran tanpa mendorong pengembangan lebih lanjut. Budaya seperti ini hanya akan bernostalgia pada masa lalu dan gagal menghadapi tantangan zaman yang terus berubah.
2. Feature Mindset: Mempersiapkan SDM Unggul untuk Tantangan Masa Depan
Selain growth mindset, upaya membangun SDM unggul juga memerlukan apa yang disebut dengan feature mindset—yaitu kemampuan untuk melihat dan mempersiapkan masa depan secara strategis. Bukan berarti menjadi peramal, melainkan menyadari bahwa tantangan masa depan akan jauh lebih kompleks dibandingkan hari ini, sehingga perlu disiapkan sejak dini.
Dalam konteks ini, pendidik dan pimpinan lembaga pendidikan perlu mengembangkan literasi masa depan (future literacy), berpikir strategis (strategic foresight), dan pola pikir sistemik (system thinking). Kemampuan-kemampuan ini penting agar sekolah dan semua pemangku kepentingannya tidak hanya bereaksi terhadap perubahan, tetapi juga proaktif dalam mengantisipasi dan merancang arah perubahan itu sendiri.
Data global menunjukkan bahwa 50% keterampilan (skill set) yang kita miliki saat ini akan berubah pada tahun 2030, dan bahkan 85% jenis pekerjaan pada tahun 2030 belum ada saat ini. Fakta ini menegaskan bahwa kita tidak bisa hanya mengandalkan kurikulum dan metode lama. Dunia bergerak cepat, dan pendidikan harus mampu menyesuaikan irama tersebut.
Dengan membangun feature mindset, sekolah bukan hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga menjadi ekosistem yang adaptif dan visioner—tempat lahirnya generasi masa depan yang siap menghadapi segala tantangan, bahkan yang belum terbayangkan hari ini.
3. Entrepreneurial & Innovation Mindset: Membangun Kemandirian dan Daya Saing SDM Unggul
Untuk membangun SDM unggul yang siap menghadapi masa depan dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, diperlukan tidak hanya growth mindset dan feature mindset, tetapi juga entrepreneurial mindset atau innovation mindset. Seorang pendidik harus memiliki jiwa kewirausahaan dan keberanian untuk berpikir melampaui batas—out of the box.
Entrepreneurial mindset bukan hanya berguna dalam dunia usaha, tetapi juga sangat relevan untuk mendorong inovasi di lingkungan sekolah. Guru yang berpikir inovatif akan menciptakan metode pembelajaran yang lebih relevan, menarik, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Lebih dari itu, penguatan jiwa wirausaha di dunia pendidikan adalah langkah strategis untuk membentuk generasi yang mandiri secara finansial dan mampu menciptakan lapangan kerja baru. Saat ini, mayoritas pelaku usaha di Indonesia masih berada pada level usaha mikro dengan produktivitas yang rendah. Untuk melakukan transformasi ekonomi, dibutuhkan peningkatan jumlah usaha menengah hingga tiga kali lipat pada tahun 2025, sebagaimana disampaikan oleh laporan McKinsey (2025).
Di sisi lain, tantangan besar dunia pendidikan saat ini adalah hadirnya teknologi kecerdasan buatan (AI) yang semakin canggih dan mulai diintegrasikan ke dalam proses pembelajaran. AI kini digunakan sebagai:
- Tutor pribadi, yang membimbing siswa untuk berpikir mandiri melalui pendekatan diskusi;
- Alat penilaian (assessment tools), yang dapat menghemat waktu koreksi hingga 70% dan menghasilkan penilaian yang lebih konsisten;
- Perangkat pembelajaran personal (personalized learning tools), sementara guru berperan sebagai mentor yang memberikan motivasi, mengeksplorasi minat, dan memfasilitasi kolaborasi.
Hasilnya sangat nyata. Di beberapa sekolah berkonsep Alpha School, siswa mampu belajar 2,3 kali lebih cepat, dan hampir selalu mencapai persentil ke-99 dalam standar pengujian.
Lebih jauh lagi, teknologi AI seperti ChatGPT, Midjourney, dan GitHub Copilot telah menjadi bagian penting dalam pembentukan workforce masa depan. Teknologi ini membantu siswa mengubah ide menjadi karya nyata: menciptakan lagu, desain, bahkan program. Hal ini mendorong terbentuknya pola pikir inovatif, eksperimental, serta kemampuan problem solving—semua merupakan keterampilan kunci di era digital.
Maka, membangun entrepreneurial dan innovation mindset bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Pendidikan harus menjadi ladang subur bagi lahirnya inovator, pemikir bebas, dan pencipta perubahan. **
Demikian semoga bermanfaat.
kereen tercerahkan, siap bergerak, belajar dan berkarya