Swara Pendidikan (Edu) — Banyak orang tua bertanya-tanya saat menerima rapor anak: “Kenapa sekarang tidak ada ranking juara kelas?” Padahal dulu, peringkat menjadi bagian yang paling ditunggu-tunggu setiap akhir semester.
Menjelang pembagian rapor, pertanyaan itu kembali muncul “apakah ranking juara kelas masih boleh diumumkan?”
Di era Kurikulum Merdeka, jawabannya bukan sekadar boleh atau tidak boleh, melainkan perlu atau tidak perlu.
Faktanya, tidak ada aturan tertulis yang secara tegas melarang ranking kelas. Namun, Kurikulum Merdeka memang dirancang dengan filosofi yang berbeda dari kurikulum sebelumnya. Fokus penilaian tidak lagi pada perbandingan antar siswa, melainkan pada perkembangan setiap individu.
Penilaian diarahkan untuk melihat sejauh mana siswa mencapai Tujuan Pembelajaran, bukan siapa yang paling unggul dibanding teman sekelasnya. Inilah yang disebut sebagai assessment for learning—penilaian untuk membantu siswa tumbuh dan belajar lebih baik.
Karena itu, dalam rapor Kurikulum Merdeka, tidak ada kolom ranking. Yang dilaporkan adalah nilai capaian pembelajaran dan deskripsi kualitatif perkembangan siswa.
Lalu, bagaimana jika sekolah masih membutuhkan data peringkat, misalnya untuk keperluan beasiswa atau tradisi sekolah?
Jawabannya: boleh sebagai kebijakan internal, selama tidak dicantumkan dalam rapor resmi dan diputuskan secara sadar melalui kesepakatan bersama.
Yang terpenting, ranking tidak boleh menjadi alat untuk memberi label “pintar” atau “tidak pintar”. Jika tidak dikelola dengan bijak, ranking justru dapat melemahkan motivasi belajar dan menimbulkan persaingan yang tidak sehat.
Sebagai alternatif, sekolah dapat memberikan apresiasi yang lebih mendidik, seperti penghargaan atas usaha, perkembangan paling signifikan, bakat tertentu, atau keteladanan karakter sesuai Profil Lulusan.
Pada akhirnya, Kurikulum Merdeka mengajak sekolah untuk berpindah dari budaya membandingkan menjadi budaya menumbuhkan potensi setiap anak. Dan di situlah esensi pendidikan yang sesungguhnya.
(Redaksi)




