Dalam keluarga, seorang suami tidak hanya dipandang sebagai kepala rumah tangga, tetapi juga sebagai teladan moral dan penopang utama yang memberi arah, perlindungan, serta kepercayaan. Namun, bagaimana bila figur yang seharusnya menjadi panutan justru terjerumus dalam praktik korupsi? Tentu bukan hanya negara dan masyarakat yang dirugikan, melainkan juga keluarga yang kehilangan sosok teladan.
Korupsi memang merugikan keuangan negara, tetapi dampaknya jauh lebih dalam: keluarga ikut terluka. Istri harus menanggung malu, anak-anak memikul stigma sosial, dan keluarga besar terseret dalam cibiran masyarakat. Seorang suami yang melakukan korupsi sesungguhnya telah gagal menjalankan tanggung jawab moralnya. Alih-alih mengajarkan nilai kejujuran dan kerja keras, ia justru meninggalkan contoh buruk: bahwa jalan pintas dan kerakusan dapat ditempuh demi memenuhi ambisi. Lalu, bagaimana anak bisa percaya pada nasihat “jangan mencuri” jika ayahnya sendiri merampas hak publik?
Keluarga seharusnya menjadi ruang pertama untuk menanamkan integritas. Anak-anak belajar arti tanggung jawab dari tindakan orang tuanya. Ketika seorang suami tersandung kasus korupsi, bukan hanya citra dirinya yang runtuh, tetapi fondasi moral keluarga ikut goyah. Tidak jarang, kasus korupsi membawa penderitaan ganda. Di satu sisi, aparat hukum menjerat sang suami dengan hukuman pidana. Di sisi lain, keluarga yang ditinggalkan harus menghadapi tekanan sosial dan psikologis. Stigma “keluarga koruptor” begitu mudah melekat, seakan mereka turut bersalah, meski sesungguhnya mereka juga korban.
Suami yang tidak menjadi teladan karena korupsi menyeret keluarganya ke dalam pusaran stigma. Istri kerap dicibir seakan ikut menikmati hasil korupsi, anak-anak di sekolah dipandang penuh kecurigaan, bahkan tetangga dan kerabat turut menanggung rasa malu. Lebih jauh, praktik korupsi yang dilakukan seorang kepala keluarga memperburuk kepercayaan publik terhadap institusi yang diwakilinya. Dari satu kasus, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada sistem hukum, birokrasi, bahkan moral pejabat secara umum.
Dalam konteks ini, jelaslah bahwa korupsi bukan sekadar tindak pidana, tetapi juga pengkhianatan terhadap keluarga sendiri. Seorang suami yang ideal seharusnya menjadi teladan bagi istri dan anak-anaknya: jujur, adil, dan bertanggung jawab. Menjadi teladan bukan berarti tanpa salah, melainkan selalu berupaya menjaga integritas dan memberikan contoh yang baik. Harta berlimpah hasil korupsi mungkin bisa membangun rumah mewah, tetapi tidak akan pernah bisa membangun martabat.
Karena itu, setiap kepala keluarga, khususnya suami, perlu menyadari bahwa perannya jauh melampaui sekadar pencari nafkah. Ia adalah cermin integritas. Dan integritas itu bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga menjadi warisan moral bagi generasi yang akan datang.**
Rd. Yudi Anton Rikmadani
Dosen Hukum Pidana dan Ketua LKBH STIH Prof Gayus Lumbuun




