Menjadi guru muda dari generasi Z di tengah kemajuan teknologi merupakan pengalaman yang penuh warna sekaligus menantang. Saya tumbuh bersama teknologi, namun kini justru berhadapan dengan generasi yang jauh lebih “digital” dibandingkan diri saya, Generasi Alpha. Generasi ini lahir di tengah dunia yang serba cepat, terhubung, dan visual. Kondisi tersebut membentuk karakter serta kebiasaan belajar yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya.
Sebagai guru muda, saya merasakan betul perbedaan itu di ruang kelas. Siswa-siswi Generasi Alpha cenderung mudah bosan dan memiliki rentang perhatian yang pendek. Saya masih ingat, ketika saya bersekolah dulu, mendengarkan penjelasan guru dalam waktu lama dengan metode ceramah bukanlah masalah besar. Namun, kini metode itu tak lagi efektif. Jika saya terlalu lama menjelaskan, perhatian siswa cepat teralihkan. Mereka lebih menyukai cara belajar yang aktif dan konkret, seperti mencoba langsung, bereksperimen, atau terlibat dalam kegiatan yang memberikan pengalaman nyata.
Karena itu, saya terus belajar untuk membuat pembelajaran lebih menarik dan partisipatif dengan mengombinasikan ceramah singkat, diskusi, bermain peran, hingga kegiatan proyek. Pendekatan seperti ini membuat mereka lebih antusias dan merasa terlibat dalam proses belajar.
Ketika mereka bertanya, sering kali muncul pertanyaan spontan dan tak terduga. Namun, bagi saya, hal itu justru menunjukkan tingginya rasa ingin tahu mereka. Di sinilah tantangan saya sebagai guru muda: bagaimana menjelaskan sesuatu secara logis, sederhana, mudah dipahami, dan tetap menarik.
Menjadi guru dari Generasi Z juga memiliki kelebihan tersendiri. Karena terpaut usia yang tidak terlalu jauh, saya merasa lebih mudah berbaur dengan siswa-siswi Generasi Alpha. Saya memahami lagu, gim, atau tren viral di media sosial yang mereka ikuti, sehingga komunikasi kami menjadi lebih cair. Saya pun berusaha menciptakan suasana kelas yang aman, hangat, dan suportif. Saya percaya bahwa hubungan positif antara guru dan siswa merupakan fondasi penting dalam proses pembelajaran. Ketika anak-anak merasa dihargai, didengar, dan diterima, mereka akan lebih terbuka untuk berkembang.
Meski demikian, saya tidak menutup mata terhadap tantangan besar yang muncul di era digital. Salah satunya adalah kebiasaan anak-anak yang sulit lepas dari gawai, serta derasnya arus informasi yang dapat memengaruhi karakter mereka. Karena itu, saya berupaya menanamkan nilai-nilai empati, saling menghormati, toleransi, sopan santun, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Saya juga percaya pentingnya kolaborasi antara guru dan orang tua dalam memberikan arahan serta bimbingan, agar anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berkarakter.
Dengan peluang besar sekaligus tantangan yang tidak mudah, saya terus belajar dan beradaptasi. Saya ingin hadir bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai jembatan bermakna bagi Generasi Alpha, mendampingi mereka tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter baik, kreatif, serta mampu memanfaatkan teknologi secara bijak.***




