Malam itu sunyi. Hanya suara detik jam yang berdenting pelan, berpacu dengan degup resah di dada seorang ibu. Lampu kuning redup memantulkan bayangan tubuhnya yang duduk di atas sajadah. Di hadapannya, mushaf terbuka. Namun, matanya tak lagi fokus pada ayat-ayat suci yang tersusun rapi.
Ada gundah yang menghimpit dadanya, kian pekat seiring langkah anak-anaknya yang kian menjauh. Mereka kini dewasa. Bukan lagi bocah yang dulu menempel di pangkuannya, berebut ciuman setelah menghafal satu ayat baru. Mereka menjelma mentari—tinggi, panas, dan jauh, hingga tak lagi mudah direngkuh.
Dulu, waktu tak pernah cukup untuk menampung tawa mereka. Setiap magrib, suara mereka lantang mengeja huruf-huruf hijaiyah. Ia masih ingat, anak sulungnya pernah bertanya dengan polos:
“Ummi, kalau aku hafal semua, aku masuk surga, ya?”
Betapa indah masa itu. Saat mata mereka berbinar mendengar kisah Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, dan para sahabat. Saat cita-cita mereka tak lebih besar dari keinginan menjadi hamba Allah yang taat.
Namun, kini semuanya berbeda. Mereka sibuk dengan dunia masing-masing—rapat kantor, target karier, rencana liburan. Semua wajar. Semua sah. Tapi, di relung hatinya, ada kekhawatiran yang terus berbisik:
“Apakah mereka masih ingat Engkau, ya Allah? Atau dunia telah menipu mereka dengan gemerlap yang memabukkan?”
Air mata jatuh, menimpa halaman mushaf, menyatu dengan huruf-huruf yang dulu mereka hafal bersama. Ia menatap layar ponsel. Sebuah pesan dari anak sulungnya muncul singkat:
“Ummi, besok aku pulang agak larut. Ada acara kantor.”
Ia menarik napas panjang. Acara kantor. Dua kata yang kini lebih sering ia dengar dibanding, “Ummi, ayo mengaji.”
Ia bukan takut mereka miskin. Ia bukan takut mereka lapar. Ia hanya takut mereka lupa Engkau. Takut mereka malu memperjuangkan kebenaran, karena takut dicemooh zaman.
Gundah itu makin menjadi ketika terngiang pesan para ulama tentang tanggung jawab orang tua kelak di hadapan Allah. Hatinya bergetar:
“Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika cahaya iman di dada mereka meredup?”
Tangannya terangkat, suaranya lirih namun penuh harap:
“Ya Allah… jangan palingkan hati mereka setelah Engkau beri petunjuk. Tumbuhkan ghiroh dalam dada mereka, meski dunia menertawakan. Jadikan mereka pejuang kebenaran-Mu, meski harus berjalan sendiri…”
Air mata mengalir deras, membasahi pipi yang mulai keriput. Namun, di balik tangis itu, ada kekuatan yang tak mampu direnggut siapa pun: keyakinan bahwa doa seorang ibu tak pernah tumpul.
Ia tahu, kelak tubuh ini akan tiada. Namun, doa ini akan terus mengetuk pintu langit, mengiringi langkah anak-anaknya di setiap persimpangan hidup. Karena cinta seorang ibu bukan hanya untuk dunia, tapi untuk menjemput mereka bersama di surga.
Malam itu tetap sunyi. Namun, di sudut rumah kecil itu, ada satu suara yang melangit, mengoyak tabir takdir dengan harapan. Suara seorang ibu yang tak pernah menyerah, meski hanya bersenjatakan doa.
✅ Pesan Renungan:
Setiap orang tua akan diuji dengan rasa cemas terhadap masa depan anak-anaknya. Namun, jangan biarkan gundah mengikis iman. Tanamkan nilai Islam sejak dini, dan jangan pernah lelah berdoa. Sebab, doa ibu bukan sekadar harapan—ia adalah senjata yang mampu mengubah takdir, dengan izin Allah.
Depok, 27 Agustus 2025