Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang akrab disapa KDM, memulai kebijakan kontroversialnya dalam menangani kenakalan pelajar melalui pendekatan militeristik. Kebijakan ini mulai diterapkan sejak 2 Mei 2025, bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional. Meski diklaim sebagai solusi atas memburuknya perilaku siswa, pendekatan ini justru menuai kecaman dari berbagai pihak karena dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) dan bertentangan dengan prinsip-prinsip pendidikan sipil yang demokratis.
Mengutip koran Swara Pendidikan edisi 116/01 Mei 2025, kebijakan ini mengharuskan orang tua menandatangani surat pernyataan dan mengantar anak mereka ke barak TNI untuk “dibina”. Selama enam bulan, siswa akan menjalani kehidupan ala militer yang mencakup rutinitas ketat seperti tidur dan bangun teratur, olahraga, kegiatan keagamaan seperti mengaji dan puasa sunah. Meskipun pelajaran tetap diberikan oleh guru dari sekolah asal, lokasi dan metode pembelajaran yang diterapkan tentu jauh dari lingkungan pendidikan sipil yang ideal.
Kolaborasi “Barak” dan “Sekolah”: Solusi Gagal Tangani Akar Masalah
Langkah ini muncul di tengah menguatnya pengaruh militer dalam ruang sipil, terutama setelah pembahasan dan pengesahan RUU TNI yang menimbulkan kekhawatiran publik. Banyak orang tua yang merasa kewalahan menghadapi kenakalan anak-anak mereka menyambut kebijakan ini sebagai jalan pintas. Namun sejatinya, kebijakan ini justru menambah kebingungan publik tentang arah pendidikan nasional.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menekankan pentingnya pendekatan demokratis dan pembentukan kesadaran kritis siswa. Pendidikan seharusnya membentuk karakter dan nalar, bukan semata-mata menanamkan kepatuhan melalui rasa takut. Di sinilah letak persoalannya: sistem komando khas militer tidak sejalan dengan nilai-nilai pendidikan sipil. Meski keduanya sama-sama bertujuan membentuk karakter, metode dan pendekatannya bertolak belakang.
Alih-alih menyelesaikan masalah kenakalan pelajar secara substansial, kolaborasi antara institusi militer dan pendidikan formal justru berpotensi memperkuat superioritas militer di ruang sipil dan menciptakan trauma psikologis baru bagi siswa.
Cermin Ketidakmampuan Pemerintah Pusat dalam Menyediakan Solusi
Kebijakan KDM pada dasarnya mencerminkan kekosongan solusi dari pemerintah pusat dalam menangani kenakalan remaja. Tidak adanya pendekatan yang konkret dan sistemik dari Kementerian Pendidikan dan instansi terkait membuka celah bagi pemerintah daerah mengambil kebijakan yang bersifat reaksioner dan kontroversial. Pemerintah pusat hanya muncul sebagai pengkritik tanpa menawarkan jalan keluar yang konstruktif.
Kenakalan remaja bukanlah isu baru. Ini adalah akumulasi dari masalah sosial, ketimpangan pendidikan, dan lemahnya peran keluarga dalam pembentukan karakter anak. Jika pemerintah pusat tidak segera turun tangan dengan kebijakan holistik—yang menyentuh aspek psikologis, sosial, dan pendidikan—maka tindakan sepihak dari kepala daerah seperti ini akan terus bermunculan dan menimbulkan polarisasi di masyarakat.
Penutup: Saatnya Berhenti Reaksioner
Sudah saatnya pemerintah pusat berhenti bersikap reaktif dan mulai membangun sistem pendidikan yang lebih kuat dan relevan. Pendidikan karakter, bimbingan konseling yang efektif, serta peningkatan kompetensi guru dalam menangani perilaku siswa harus menjadi prioritas. Inspirasi dari sistem pendidikan negara maju memang penting, namun implementasinya perlu disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya Indonesia.
Kebijakan berbasis ketakutan, seperti barak militer untuk siswa nakal, hanyalah bentuk keputusasaan dalam menghadapi kompleksitas dunia pendidikan hari ini. Transformasi pendidikan hanya bisa berhasil melalui pendekatan yang manusiawi, kolaboratif, dan berbasis pada hak anak. Jika tidak, maka masa depan pendidikan kita akan selalu berada dalam bayang-bayang kebijakan darurat yang gagal menyentuh akar masalah.**
Penulis: Zulfian Haris Yudha Pramuji
Pengajar Tahsin Gema Qurani




