
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
Artinya: “Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 36)
AMBIGUITAS
Apakah benar pendidikan penulis seakan sebuah kapal yang sedang terombang-ambing di lautan? Para awaknya terus dipaksa mengangguk sambil dipukul ombak dan badai. Tanpa kompas, peta, bintang, dan matahari, pendidikan penulis hanya melaju tanpa tahu akan berlabuh ke mana. Kapal Pendidikanku seakan hanya menaikan penumpang dari lautan dan menurunkan kembali ke lautan.
Sebuah pernyataan yang mengganggu pikiran penulis ketika menjadi awak di Kapal Pendidikanku. Jawaban yang paling sering penulis dengar dari sesama awak adalah kapal besar ini akan membawa penumpangnya ke arah yang lebih baik. Namun sebuah frasa “lebih baik” menjadi sebuah frasa yang sangat membingungkan. Apakah lebih baik untuk kelangsungan hidup alam raya ataukah lebih baik untuk si penumpang itu sendiri? Lebih baik untuk kelangsungan hidup alam raya dengan cara menguji, bahkan yang lebih radikal, mengubah cara berpikir dan bertindak atau lebih baik untuk si penumpang dengan cara menjadikan penumpang sebagai “yang terbaik” di lingkungan yang busuk sekalipun.
Sebenarnya mau dibawa ke manakah Kapal Pendidikanku? Penulis takut ketika Sang Yang Punya Kapal menanyakan, ketika penulis sudah kembali ke pelabuhan abadi. Seperti ayat di atas, yang dikirim oleh Sang Yang Punya Kapal jauh sebelum Kapal Penulisku berlayar. Penulis takut mengikuti apa yang tidak diketahui penulis
Ketika Kapal pendidikanku dihadapkan pada sebuah kontradiksi, “menguji atau mengikuti”, jawaban yang dihadirkan selalu dalam area “ketidakjelasan” atau bahkan
keheningan. Sebab kontradiksi tersebut seakan kotoran yang harus dijauhi bahkan di dalam pikiran. Namun kontradiksi tersebut haruslah dipilih guna menentukan titik awal dan rute yang akan dipakai oleh Kapal Pendidikanku. Tanpa memilih, Kapal pendidikanku akan terus terombang-ambing sampai akhirnya karam.
Pemilihan tersebut bisa dilihat dari pendidikan pesantren atau SMK. Pendidikan pesantren memilih menguji, bahkan mengubah cara pandang yang dianggap melenceng. Para santri dan ustadz akan terus berupaya membenahi cara pandang melenceng tersebut. Membenahi dengan berlandaskan pikiran, emosi, dan kitab yang sudah mereka pelajari demi alam raya yang lebih baik. Berbeda dengan pesantren, SMK mengambil pilihan untuk mengikuti. Para siswa SMK diajarkan dan ditempa agar menguasai pekerjaan kemudian menjadikan mereka lebih baik dari sebelumnya.
Dari dua pemilihan tersebut, apa yang akan dipilih oleh Kapal Pendidikanku, menguji atau mengikuti? Pilihan tersebut, bagi penulis harus segera terjawab. Tanpa itu Kapal Pendidikanku hanya menjadi “banana boats” yang hanya berputar-putar asalkan penumpang senang. Ataukah memang itu tujuan Kapal Pendidikanku?
PANTAI DAN KAPAL
Penumpang yang naik ke Kapal Pendidikanku diajarkan sesuatu yang baik. Namun baik saja tidak cukup bagi penumpang ketika kembali ke pantai. Sebab beberapa ilmu yang diajarkan sangat sulit, bahkan tidak bisa diterapkan. Ilmu yang diajarkan hanya agar mendapat nilai bagus atau yang paling mulia agar mencapai ridho guru.
Kehidupan di pantai seakan berbeda dengan kehidupan di Kapal Pendidikanku. Pantai dengan segala kemudahannya berbanding terbalik dengan pembelajaran di dalam kapal yang harus sesuai dengan sesuatu yang seperti “bahasa pemrograman”. Beberapa ilmu seakan tidak aplikatif. Dalam beberapa keadaan, para penumpang lebih memilih kembali memakai intuisi, seperti manusia purba ketimbang mengaplikasikan ilmu yang sudah mereka pelajari ketika di dalam Kapal Pendidikanku. Pertanyaan kembali muncul, “Jadi apa yang salah, pantai, kapal, para guru, para penumpang, ilmu yang diajarkan ataukah dinas perhubungan laut?”
Menurut penulis, selain aplikatif sesuatu yang diajarkan haruslah integrasif bukan bersaing. Semua ilmu yang diajarkan haruslah membaur demi mengatasi masalah yang ada. Kehidupan di dalam Kapal Pendidikanku seyogianya merupakan miniatur dari pantai. Kemudian para penumpang diajarkan bagaimana mengatasi masalah yang ada di pantai atau mempermudahnya. Bukan bersaing, ilmu mana yang penting dan tidak penting. Bukan berperang, Ilmu mana yang membawa penumpang masuk ke surga atau tidak.
Jika ilmu yang diajarkan di dalam Kapal Pendidikanku sudah Integratif dan aplikatif, penumpang yang sudah sampai pada pantai akan bisa menjadi lebih baik. Jikalau tidak lebih baik, setidaknya akan terlihat pembedanya antara penumpang Kapal Pendidikanku dengan kapal yang lain. Pembeda secara logika, etika, dan estetika. Namun pertanyaan sebelumnya akan kembali mencuat, “Sebenarnya mau dibawa ke manakah Kapal Pendidikanku?”
Pengirim Luthfi Setyo Whidy
Guru SMP Islam Binakheir



