Swara Pendidikan (Bekasi)- Novel (Bukan) Pasaran Terakhir karya Yon Bayu Wahyono, menyuguhkan kisah yang kaya akan konflik politik, sosial, dan lingkungan, ditulis dengan gaya bahasa yang lugas namun tetap membawa kedalaman emosi. Novel ini menjadi medium untuk merefleksikan dinamika pembangunan Indonesia dan dilema moral yang sering melingkupinya.
Novel ini berkisah tentang dua mantan aktivis mahasiswa, Karyo dan Riri Safitri, yang setelah reformasi memilih jalan hidup berbeda. Karyo kembali ke kampung halaman mengurus sawah warisan keluarganya, sementara Riri bergabung dalam politik hingga menjadi Bupati. Konflik utama muncul ketika Riri mendukung proyek penambangan gunung kapur yang ditentang Karyo karena dampaknya terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar. Kisah ini memuncak dalam perseteruan yang melibatkan intrik politik, manipulasi sosial, hingga penyalahgunaan narkoba.
Rissa Churria, seorang pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, dan pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), memberikan padangan tentang alur cerita dari Novel (Bukan) Pasaran Terakhir. Menurutnya ada sisi kelemahan dari novel tersebut, yaitu;
Pertama, pengembangan tokoh pendukung yang minim. Fokus cerita yang terlalu terpusat pada Karyo dan Riri membuat tokoh pendukung kurang mendapatkan eksplorasi mendalam, sehingga potensi memperkaya cerita belum maksimal.
Kedua, klimaks kurang menggigit. “Beberapa bagian, terutama pada puncak konflik, terasa terburu-buru, sehingga dampak emosionalnya kurang maksimal,” kata Rissa.
Ketiga, konteks lokal yang kurang tergali sebagai novel berlatar Riau, elemen budaya lokal bisa lebih dieksplorasi untuk memperkaya setting dan memperdalam nuansa cerita.
Namun, kata Rissa, segala kekurangan dalam novel (Bukan) Pasaran Terakhir terlunasi dengan kompleksitas sebagai kelebihan cerita; Pertama, isu sosial yang relevan ; novel ini menyentuh konflik yang kerap terjadi di masyarakat, yaitu pertarungan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan. Gunung kapur menjadi metafora kekayaan alam yang sering kali dikorbankan demi kepentingan ekonomi.
Kedua, karakterisasi yang kuat. “Tokoh cerita, Karyo dan Riri digambarkan dengan kompleksitas yang meyakinkan. Mereka adalah representasi dari dua sisi perjuangan: idealisme yang tidak berubah dan ambisi yang terpaksa berkompromi,” sambungnya.
Ketiga, gaya bahasa yang mengalir dengan narasi yang sederhana namun tajam. Yon Bayu mampu menjangkau berbagai kalangan pembaca, dari remaja hingga dewasa. Meski mengangkat isu berat, ceritanya tetap mudah diikuti.
Lebih jauh, Rissa mengungkapkan analisis dan Interpretasi dalam Novel itu melalui berbagai perspektif, termasuk Ekokritik. “Ekokritik dalam Konflik di novel ini mencerminkan bagaimana eksploitasi lingkungan sering kali menempatkan kepentingan masyarakat kecil di bawah bayang-bayang ambisi pembangunan,” ungkapnya.
Selain itu, Teori Hegemoni (Gramsci). Riri sebagai figur penguasa menggambarkan bagaimana kekuatan dominasi menggunakan strategi untuk membentuk opini publik, termasuk melalui penyalahgunaan narkoba dan propaganda.
Selanjutnya, Ekofeminisme: Konflik yang melibatkan Riri juga bisa dilihat dari sudut pandang ekofeminisme, di mana perempuan berada di persimpangan antara eksploitasi lingkungan dan kebutuhan ekonomi.
Rissa mengatakan, Yon Bayu Wahyono berhasil menyajikan (Bukan) PasaranTerakhir sebagai novel yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menggugah pemikiran pembaca tentang berbagai isu sosial-ekologis. Dengan gaya bertutur yang sederhana, ia membawa pesan moral yang relevan dengan realitas Indonesia.
“Meski ada beberapa kelemahan dari sisi eksplorasi karakter dan pengembangan cerita, novel ini tetap memiliki nilai yang signifikan sebagai kritik sosial dan refleksi kehidupan,” ujarnya.
Rissa menyarankan, bagi pembaca yang ingin memahami dinamika pembangunan, perjuangan idealisme, dan kompleksitas politik di Indonesia, (Bukan) PasaranTerakhir adalah bacaan yang layak dipertimbangkan.
Oleh : Rissa Churria.
Rissa Churria adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, 1 buku Pedoman Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa, 1 buku Esai, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.