• BERITA UTAMA
    • NASIONAL
    • Internasional
    • KABAR DAERAH
    • METROPOLITAN
  • KABAR SEKOLAH
    • SMA
    • SMK
    • MA
    • SMP
    • MTS
    • SD
    • MI/DINIYAH
    • PAUD/TK
  • KABAR KAMPUS
  • KABAR PESANTREN
  • MENULIS
    • Artikel Guru
    • Artikel Dosen/Mahasiswa
    • Opini
  • TIPS EDU
  • EDU INFO
    • Klik Pendidikan
    • Info Pendidikan
    • Info Guru
  • INSPIRASI PENDIDIKAN
    • Inspirasi
  • JEJAK PRESTASI
  • E-PAPER
  • LAINNYA
    • Profil Sekolah
      • SMK
      • SMA
      • MA
      • SMP
      • MTS
      • SD
      • TK/PAUD
      • MI/DINIYAH
    • Ruang Sastra
      • Cerpen
      • Puisi
    • ULASAN BUKU
      • BAHAN AJAR
      • BUKU UMUM
    • SAPA WILAYAH
      • Kecamatan Beji
      • Kecamatan Bojongsari
      • Kecamatan Cilodong
      • Kecamatan Cimanggis
      • Kecamatan Cinere
      • Kecamatan Cipayung
      • Kecamatan Limo
      • Kecamatan Pancoran Mas
      • Kecamatan Sawangan
      • Kecamatan Sukmajaya
      • Kecamatan Tapos
    • WAWASAN PUBLIK
      • Parlemen
      • Pemerintahan
      • Peristiwa
      • Politik
      • Sosial
      • Suara Publik
      • Ekonomi & Bisnis
      • Infotaintment
      • Opini
Swara Pendidikan
  • Login
Tuesday, December 30, 2025
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Swara Pendidikan
No Result
View All Result

“Cawe Cawe” Tidak Langgar Hukum

by SWARA PENDIDIKAN
8 October 2024
in Depok, Opini
0
“Cawe Cawe” Tidak Langgar Hukum

Rd. Yudi Anton Rikmadani

Rd. Yudi Anton Rikmadani

Istilah “cawe-cawe” secara harfiah berarti ikut campur atau terlibat dalam suatu urusan. Namun, dalam konteks politik di Indonesia, terutama setelah Presiden Jokowi menggunakan istilah ini, maknanya bisa lebih luas dan tergantung pada situasi politik tertentu.

Dalam diskusi politik terkait masa transisi kekuasaan dan pemilu, cawe-cawe yang dilakukan oleh seorang pejabat negara, terutama presiden, bisa menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas hukum dan etika. Jika “cawe-cawe” dilakukan untuk memastikan proses demokrasi berjalan dengan lancar, seperti menjaga stabilitas politik atau memastikan transisi kekuasaan yang damai, tindakan tersebut biasanya dianggap sah dan tidak melanggar hukum.

Namun, jika cawe-cawe itu melibatkan upaya untuk mempengaruhi hasil pilkada, mendukung kandidat tertentu secara tidak netral, atau menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, tindakan ini dapat dianggap melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan hukum, terutama jika ada pelanggaran terhadap aturan netralitas aparatur negara.

Isu “cawe-cawe” dalam pilkada Kota Depok mencuat belakangan ini karena pernyataan Wali Kota Depok Muhammad Idris mengatakan “Pasangan calon pada Pilkada tahun 2024 ada dua. Tapi tetap yang menang satu. Benar ya? Yang menang kudu satu”.

BACA JUGA

Refleksi Akhir Tahun Pendidikan Depok: Perlukah Kebijakan Rombel SMA–SMK hingga 50 Siswa Dievaluasi?

Gruduk Kantor Wali Kota Depok, GEDOR Desak Segel Ulang Bangunan KOAT Coffee dan Usut Dugaan Suap

Waspada! Modus Penipuan Digital Kian Canggih di WhatsApp dan Facebook

PGRI Depok Raih Prestasi Ganda: Donasi Terbesar Kedua dan Tata Kelola Keuangan Terbaik se-Jawa Barat

Menurut Rd. Yudi Anton Rikmadani, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Bung Karno, mengatakan cawe cawe tersebut bukan pelanggaran pemilu sebagaimana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Perkataan Wali Kota Depok Muhammad Idris, maksudnya adalah mengimbau kepada masyarakat untuk menyukseskan Pilkada Kota Depok, dengan Calon Pilkada Walikota Depok  berjumlah dua pasangan, dan pemenangnya satu. Sebagai bentuk penyampaian edukasi bagi masyarakat, hal ini wajar sebagai Wali Kota Depok saat ini.

Pasal 280 ayat (2) dan (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan:

Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikut sertakan:

a. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;

b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;

c. gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;

d. direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;

e. pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;

f. aparatur sipil negara;

g. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

h. kepala desa;

i. perangkat desa;

j. anggota badan permusyawaratan desa; dan

k. Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.

Oleh karena itu dalam Pasal tersebut tidak ada presiden maupun kepala daerah.

Kemudian, UU Pemilu mengatur bahwa presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota boleh terlibat dalam kampanye peserta pemilu dengan sejumlah syarat. Syarat-syarat itu tercantum dalam Pasal 281, bunyinya:

a. tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. menjalani cuti di luar tanggungan negara, dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah. UU Pemilu juga menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden berhak melaksanakan kampanye.

Dalam aturan yang sama, UU Pemilu juga mengizinkan pejabat negara yang merupakan kader partai politik untuk berkampanye. Tidak ada ketentuan pidana dalam hal para pejabat berkampanye.

Dengan demikian cawe cawe tersebut bukan pelanggaran pemilu  sebagaimana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Bang Anton, panggilan akrabnya berpesan, masyarakat harus cerdas dalam memilih pemimpin untuk 5 (lima) tahun kedepan. **


Penulis: Rd. Yudi Anton Rikmadani, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Bung Karno. Tinggal di Depok

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

BeritaTerkait

Refleksi Akhir Tahun Pendidikan Depok: Perlukah Kebijakan Rombel SMA–SMK hingga 50 Siswa Dievaluasi?
EDU INFO

Refleksi Akhir Tahun Pendidikan Depok: Perlukah Kebijakan Rombel SMA–SMK hingga 50 Siswa Dievaluasi?

by SWARA PENDIDIKAN
30 December 2025
0
0

  Swara Pendidikan (Depok) — Berdasarkan hasil kajian Tim Litbang...

Read more
Gruduk Kantor Wali Kota Depok, GEDOR Desak Segel Ulang Bangunan KOAT Coffee dan Usut Dugaan Suap

Gruduk Kantor Wali Kota Depok, GEDOR Desak Segel Ulang Bangunan KOAT Coffee dan Usut Dugaan Suap

29 December 2025
0
Waspada! Modus Penipuan Digital Kian Canggih di WhatsApp dan Facebook

Waspada! Modus Penipuan Digital Kian Canggih di WhatsApp dan Facebook

25 December 2025
0

PGRI Depok Raih Prestasi Ganda: Donasi Terbesar Kedua dan Tata Kelola Keuangan Terbaik se-Jawa Barat

25 December 2025
0

Ini Pengakuan Kamila Hamdi yang Diduga Terkait Email Ancaman Bom ke Sekolah

24 December 2025
0

Milad Ke-1 GEDOR: Refleksi dan Komitmen Membangun Depok

24 December 2025
0
Next Post
Mengapa Harus Ada Evaluasi dan Validasi Dalam Pembelajaran?

Mengapa Harus Ada Evaluasi dan Validasi Dalam Pembelajaran?

https://datapers.dewanpers.or.id/media/certificate

2025 © swarapendidikan.co.id

TENTANG KAMI

  • Disclaimer
  • KERJAMASA DAN IKLAN
  • KODE ETIK JURNALIS SWARA PENDIDIKAN
  • KODE ETIK JURNALISTIK
  • LOKER / MAGANG
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • SOP Perlindungan Wartawan
  • Swara Pembaca
  • swarapendidikan.co.id
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • Disclaimer
  • KERJAMASA DAN IKLAN
  • KODE ETIK JURNALIS SWARA PENDIDIKAN
  • KODE ETIK JURNALISTIK
    • KODE ETIK JURNALISTIK
  • LOKER / MAGANG
  • Pedoman Media Siber
  • Redaksi
  • SOP Perlindungan Wartawan
  • Swara Pembaca
  • swarapendidikan.co.id
  • Tentang Kami

2025 © swarapendidikan.co.id

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In