Penulis: Suhud Rois*
Setiap kali membahas literasi, yang terbayang di benak saya adalah benang kusut. Bukan hanya hanya kusut, juga ruwet dan akut. Salah kaprah terhadap makna literasi telah menjamur, seiring maraknya gerakan literasi di penjuru negeri ini.
Salah kaprah bagaimana? Literasi dimaknai sebagai aktivitas membaca atau menulis saja. Membaca dan menulis memang aktivitas literasi. Tidak ada yang salah dengan membaca dan menulis. Letak kesalahannya adalah membatasi aktivitas literasi sebatas membaca dan menulis, Padahal, membaca dan menulis hanya sebagai pintu gerbang aktivitas literasi.
Makna literasi semakin berkembang. Membaca dan menulis adalah literasi dasar. Artinya, jangan berhenti di kegiatan membaca dan menulis. Literasi harus menjadi sebuah kegiatan yang mengembangkan banyak keterampilan.
Apakah bisa? Sangat bisa. Membaca jangan hanya jadi kegiatan pasif dan sunyi. Setelah membaca, buat aktivitas yang seru. Nah, hal demikian sangat mungkin dilakukan di rumah. Misalnya, anak membaca buku cerita. Setelah selesai, ajaklah ngobrol santai, membahas isi buku tersebut. Buatlah diskusi kecil membahas banyak hal tentang buku itu. Bisa apa saja.
Jangan lupa membahas tokoh yang paling disukai anak. Kondisikan agar anak antusias menceritakannya. Jangan sampai anak merasa diinterogasi.
Kembangkan daya imajinasi anak. Tanyakan, misalnya, kira-kira apa menu favorit makan siang tokoh kesukaan anak. Ajak anak menyiapkan makan siang sesuai dengan menurut favorit tokoh tersebut. Libatkan anak dan beri tanggung jawab.
Apakah yang demikian bisa disebut kegiatan literasi? O, jelas. Ini kegiatan literasi. Salah satu makna literasi adalah kemampuan mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Menyiapkan makan butuh keterampilan. Anak belajar mengenal bentuk dan warna, belajar membuat pengelompokan, belajar tentang ukuran, dan belajar yang lainnya.
Sederhana, ya? Iya. Bukan hanya sederhana, juga menarik dan menyenangkan.
Nah, inilah maksud membaca dan menulis itu literasi dasar, atau saya sebutkan tadi sebagai pintu gerbang. Jadi, jangan berhenti di kegiatan membaca atau menulis saja.
Lanjutkan dengan kegiatan yang lain. Apalagi saat ini aktivitas belajar masih dilakukan di rumah. Ada banyak waktu membuat kegiatan berbasis literasi.
Jangan sampai mati gaya karena terlalu lama di rumah. Drama Korea sudah ditonton semua, mau apalagi? Jangan habiskan waktu di rumah dengan kegiatan yang tidak produktif.
Kegiatan literasi yang kaya, bisa menjadi alternatif yang tidak saja anti-mati gaya, juga mengakrabkan keluarga. Siapa yang tidak mau?
Kuncinya adalah berpikir terbuka. Pendam dalam-dalam bahwa kegiatan literasi hanya berhenti di membaca dan menulis. Kembangkan banyak hal setelah membaca dan menulis.
Keluarga merupakan salah satu kunci keberhasilan gerakan literasi, bahkan lebih menentukan daripada sekolah. Manusia literat dibangun dan dikembangkan di rumah. Keluargalah yang menyediakan bibit unggul generasi literat. Sekolah dan masyarakat adalah lahannnya. Meski di lahan tandus, kalau bibitnya memang kualitas super, tetap bisa tumbuh.
Bagaimana membentuk generasi literat? Pertama, sediakan lingkungan yang ramah literasi. Sediakan buku-buku berkualitas, tontonlah tayangan-tayangan berkualitas, jadikan obrolan di rumah sebagai percakapan berkualitas, dan manfaatkan waktu luang dengan aktivitas produktif.
Kedua, jadilah model literat. Jangan mudah termakan hoaks, tidak jeli memahami informasi dan situasi. Tunjukkan diri sebagai orang yang solutif.
Ketiga, lakukan. Tidak perlu dibahas, kan?
Jalan menuju generasi literat masih sangat panjang. Kita masih berkutat di seputar literasi dasar yang belum juga bisa diurai. Padahal, perkembangan zaman sudah menantang kita untuk segera maju menuju literasi-literasi yang lain, terutama literasi visual dan literasi digital.
“Melompatlah keluar. Jangan diam di dalam kotak”.
*Suhud Rois Guru di SD Peradaban Insan Mulia. Penulis. Editor MediaGuru. Penggerak Komunitas Guru Belajar Nusantara. Pelatih Kampus Guru Cikal