Oleh : EKO AGUSNEHING PURWANINGSIH,M.Pd
Bicara disabilitas akan tergambar adanya keterbatasan, ketidakmampuan, kekurangan, dan gangguan. Istilah penyandang disabiltas merujuk pada UU No 04 tahun 1997, penyandang disabilitas yang dibahasakan dengan istilah penyandang cacat diartikan sebagai setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari: a) Penyandang cacat fisik; b) Penyandang cacat mental; dan c) Penyandang cacat fisik dan mental.
Lebih lanjut undang-undang ini menjelaskan: a) Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan bicara; b) Cacat mental adalah kelainan mental dan atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit; c) Cacat fisik mental adalah keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus.
Namun, bagi saya sebagai seorang guru memandang disabilitas bukanlah sebagai keterbatasan tetapi sebagai sesuatu “kesabaran dan kekuatan”.
Ketika kita memandang disabilitas adalah kesabaran maka kita akan memandang penyandang disabilitas mengajari kita makna “sabar” menerima takdir yang Alloh SWT berikan. Ketika kita memandang penyandang disabilitas sebagai “kekuatan” maka kita akan menjadikan kekurangan tersebut menjadi motivasi untuk mengerahkan semua kekuatan yang ada untuk melakukan sesuatu yang bermakna bagi hidup. Meskipun memiliki keterbatasan, penyandang disabilitas punya semangat juang yang tinggi, karena bagi mereka keterbatasan bukan alasan untuk tidak mengukir prestasi.
Saya dapat melihat kesabaran dan kekuatan tergambar dari salah satu siswa saya yang ada di kelas 6b SDN RRI Cisalak. Siswa saya bernama Zahra Septia Fitriani. Zahra mengalami penyandang disabilitas sejak lahir. [blockquote align=”left” author=”Eko Agusnehing “]Disabilitas bukanlah sebagai keterbatasan tetapi sebagai sesuatu “kesabaran dan kekuatan”[/blockquote]
Kaki kanannya lebih kecil karena tidak berkembang seperti pada umumnya anak normal sehingga harus dibantu dengan alat penyangga untuk dapat berjalan. Akan tetapi, Zahra tidak pernah merasa dia berbeda dengan siswa yang lainnya. Dia melakukan kegiatan pembelajaran di masa pandemi baik kelas online maupun kelas offline dengan penuh semangat dan rajin.
Tidak ada satupun tugas-tugas yang dikirim di kelas online melalui google classroom atau whatsapp terlewat dan selalu dikerjakan. Pada pembelajaran tatap muka terbatas pun rajin mengikuti kegiatan pembelajaran. Ketika Dia harus tampil di depan kelas untuk bernyanyi atau membacakan pidato, Zahra dapat melakukannya dengan percaya diri tanpa ada rasa malu karena perbedaannya secara fisik dengan teman-teman lainnya.
Pada saat Zahra mengikuti pembelajaran olahraga tetap mau mengikuti tanpa merasa khawatir. Zahra dengan penuh percaya diri dan kemandirian mengikuti kegiatan olah raga senam ataupun berlari. Zahra berlari-lari melangkahkan kaki kirinya dengan sambil mengangkat-angkat tongkatnya. Saya selaku guru terharu tak terasa mata saya berkaca-kaca terbesit di hati saya, “Saya belajar arti kesabaran untuk menerima takdir dari Alloh SWT tanpa harus bertanya mengapa, tetapi di jalani dengan ikhlas dan tidak mengeluh.”
Semakin saya ingin mengenal Zahra lebih dekat, Saya banyak bertanya dengan ibunya tentang keadaan Zahra di rumah, pernah sekali waktu saya berkunjung ke rumah Zahra ketika itu mengantar Zahra yang sakit karena kaki kirinya yang terkilir jatuh di sekolah. Banyak Informasi yang saya dapat dari ibunya, selain keterbatasan fisik yang dialami Zahra juga keterbatasan ekonomi.
Zahra tinggal bersama orang tua tunggal. Ibunya yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, hanya sebagai Asisten Rumah Tangga di dua tempat. Ibunya harus bekerja membanting tulang sebagai kepala keluarga juga sebagai ibu yang harus menafkahi 3 orang yakni; Zahra, adiknya Zahra yang berumur 4 tahun dan neneknya.
Semua itu ibunya Zahra jalani dengan sabar dan ikhlas tanpa ada kata mengeluh. Di setiap cucuran keringatnya ada harapan dan doa semoga anak-anaknya kelak dapat mandiri dan bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Ibunya Zahra berkata tidak dapat menitipkan harta untuk anak-anaknya. Hanya ilmu yang bermanfaat yang dapat diberikan untuk masa depan anak-anaknya.
Sepenggal harapan dari seorang ibu, inilah kekuatan tumbuh dari diri Zahra menjadi anak yang mandiri dan percaya diri. Selama pembelajaran di masa pandemi yang dilakukan secara online Zahra rajin mengikuti pembelajaran melalui google classroom atau google meet dengan bantuan kuota dari Kemendikbud.
Zahra mengerjakan tugas-tugas sekolahnya sendiri, sekali-kali dibimbing ibunya. Zahra memiliki rasa tanggung jawab untuk belajar secara online. Di pagi hari Zahra sudah bangun ketika bu guru Video Call siswa-siswanya. Tugas-tugasnya dikerjakan tepat waktu dan dikirim ke google classroom. Pada saat pelaksanaan tatap muka terbatas Zahra juga rajin datang ke sekolah mengikuti pembelajaran dengan tertib protokol kesehatan. Zahra dapat mengikuti pembelajaran di sekolah dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil ulangan dan tugas yang dikerjakan mendapat nilai rata-rata diatas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal ).
Ibunya mempunyai impian walaupun Zahra memiliki kelainan dari sejak lahir, Zahra dapat memiliki masa depan yang sama dengan anak normal pada umumnya. Oleh karena itu, ibunya mendidik Zahra menjadi anak yang kuat agar dapat melakukan hal-hal yang dilakukan anak pada umumnya tanpa harus mengeluh.
Kekuatan dan kepercayaan diri inilah saya jadikan sebagai modal untuk mendidik Zahra di sekolah tanpa membedakan dengan siswa yang lainnya yang normal. Zahra saya perlakukan di sekolah sama dengan siswa yang lainnya baik dalam pemberian materi maupun tugas-tugas di sekolah. Teman-teman di sekolahnya juga bisa menerima Zahra tanpa menimbulkan stigma di kelas atau membully dengan kelainannya. Di kelas 6b Siswa-siswa belajar untuk menerima perbedaan dan belajar untuk saling mengasihi sesama manusia tanpa membeda-bedakan keadaannnya. Saya selaku guru selalu menanamkan bahwa ”Manusia dihadapan Tuhan semua sama hanya Ketaqwaannya yang yang membedakannya”.
Melalui pembelajaran di kelas baik online maupun offline saya mengembangkan nilai-nilai Profil Pelajar Pancasila. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan nilai beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, nilai mandiri, nilai gotong royong, berbhineka global, bernalar kritis, dan bernalar kreatif.
Kegiatan pengembangan nilai beriman dan berakhlak mulia diantaranya; sebelum pembelajaran dimulai anak-anak membaca kitab sucinya, bagi yang beragama islam membaca Al-Quran dan bagi siswa yang beragama Kristen membaca kitab Injilnya.
Saya mengembangkan literasi dengan literasi membaca kitab suci sesuai agama dan kepercayaannya. Setelah itu saya baru melakukan brainstorming (jejak pendapat) tentang penerapan nilai profil pelajar Pancasila yang sudah dilakukan siswa di rumah maupun di sekolah. Mereka senang sekali bercerita tentang pengalaman mereka.
Pada suatu hari Zahra bercerita tentang nilai mandiri dan berbhineka global bahwa baik di rumah dan dan di sekolah Zahra melakukan semua kegiatannya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain, misalnya; mengerjakan PR, tugas, dan ulangan.
Zahra juga bercerita bahwa manusia diciptakan berbeda-beda suku, adat, bahasa, agama, maupun berbeda keadaan fisik. Perbedaan itu tidak untuk saling mengejek dan menghina. Akan tetapi hidup rukun dan damai. Zahra berkata, “Saya senang dengan teman-teman di kelas 6b mau menerima keadaan fisik saya yang berbeda.” Dari cerita Zahra ini mengajari arti saling menyayangi sesama manusia tanpa melihat perbedaannya.
Selain itu, Saya juga mengembangkan nilai bernalar kritis dan kreatif dengan mengembangkan pembelajaran berbasis projek di Kelas. Anak-anak membawa alat praktik yang sehari sebelumnya diinfokan agar ketika pembelajaran tatap muka dibawa ke sekolah. Tepatnya pada tanggal 4 Maret 2022 anak-anak akan praktik matematika dengan topik membuat diagram batang dan garis.
Anak-anak membawa karton, spidol berwarna, penggaris, gunting, dll. Mereka belajar membuat diagram dari hasil ulangan matematika kelas 6 yang lalu, berat badan, atau tinggi badan teman sekelasnya. Mereka mengumpulkan data, membuat tabel frekuensi, menentukan modus,media, mean dan membuat diagramnya. Saya sebagai guru hanya menjadi fasilitator dan motivator. Semua yang mengerjakan siswa dengan penuh semangat.
Dari kegiatan ini siswa akan berpikir kritis untuk mencari data dan kreatif membuat jenis diagram yang akan dibuat, seperti; diagram batang, garis, atau lingkaran. Setelah selesai siswa tersebut akan mempresentasikan dan menempel hasil projeknya di kelas. Mereka akan merasa bangga karena hasil karyanya dihargai. Demikian halnya dengan hasil karya Zahra, Zahra berani mempresentasikan dan memperlihatkan hasil karyanya.
Demikian sepenggal cerita kisah dari seorang penyandang disabilitas yang belajar di kelas bersama-sama dengan siswa yang normal. Meskipun memiliki keterbatasan, namun penyandang disabilitas punya semangat juang yang tinggi, karena bagi mereka keterbatasan bukan alasan untuk tidak mengukir prestasi. Semangat juang dari para difabel tentunya harus kita jadikan sebagai motivasi untuk tetap semangat dan berjuang untuk meraih apa yang kita inginkan. Apalagi kita yang terlahir normal dengan fisik yang sempurna, tentu semangat juang kita harusnya lebih tinggi lagi.
Orang yang normal secara fisik ingin menjadi sukses harus melalui ujian, apalagi para disabilitas tentu ujian mereka jauh lebih berat. Kita tidak ada alasan untuk mengeluh dan menyerah,apa pun mimpimu percayalah dengan semangat juang yang tinggi kamu pasti mampu untuk meraihnya. **
Eko Agusnehing Purwaningsih,M.Pd (Guru SDN RRI Cisalak)