Di era digital, WhatsApp dan Facebook telah menjelma menjadi ruang utama interaksi sosial.Kita berbagi kabar keluarga, mengelola bisnis, hingga mengurus pekerjaan melalui dua platform ini. Namun, di balik kemudahan tersebut, tersimpan ancaman serius yang terus berkembang: penipuan digital berbasis rekayasa sosial. Data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) bahkan mencatat peningkatan serangan siber hingga 40 persen pada awal 2024. Angka ini bukan sekadar statistik—ia mencerminkan betapa rentannya pengguna jika lengah.
Berbeda dengan peretasan konvensional yang mengandalkan celah teknis, penipuan modern lebih banyak bermain di wilayah psikologis.Pelaku memanipulasi emosi korban, menciptakan rasa panik, rasa iba, atau harapan keuntungan instan.Ketika emosi mengambil alih nalar, kewaspadaan pun runtuh.
WhatsApp: Jalur Cepat Penipuan Berbasis Kepercayaan
WhatsApp menjadi sasaran empuk karena sifatnya yang personal. Salah satu modus paling sering muncul adalah pengiriman file APK yang dikemas seolah-olah undangan pernikahan, resi paket, atau bahkan surat tilang elektronik. Nama file dibuat sangat meyakinkan. Begitu diklik dan diinstal, aplikasi berbahaya ini dapat mengintip SMS, mencuri kode OTP perbankan, membaca notifikasi, hingga mengambil alih kendali ponsel korban.
Ada pula modus “salah kirim kode”.Penipu berpura-pura tidak sengaja mengirimkan kode enam digit dan dengan nada memohon meminta korban mengirimkannya kembali.Padahal, kode tersebut adalah kode verifikasi WhatsApp milik korban sendiri.Sekali kode itu diberikan, akun WhatsApp dapat langsung dikuasai dan digunakan untuk menipu orang-orang terdekat korban.
Modus lain yang tak kalah marak adalah tawaran kerja ringan seperti “like dan subscribe” dengan iming-iming penghasilan harian. Awalnya korban benar-benar menerima komisi kecil agar percaya. Namun, pada tahap berikutnya, korban diminta menyetor dana sebagai “deposit” agar bisa mendapat tugas dengan bayaran lebih besar. Di sinilah uang mulai lenyap tanpa jejak.
Penipuan juga kerap mengatasnamakan bank.Pesan dibuat menyerupai notifikasi resmi, lengkap dengan logo dan bahasa formal. Korban diarahkan ke tautan palsu yang tampilannya sangat mirip situs bank asli. Begitu data dimasukkan, rekening pun terkuras.
Facebook: Dari Akun Palsu hingga Deepfake
Jika WhatsApp mengandalkan kedekatan personal, Facebook menawarkan ruang yang luas untuk manipulasi identitas.Penipu kini tidak lagi asal membuat akun. Mereka meniru gaya komunikasi resmi, bahkan mempelajari targetnya terlebih dahulu.
Salah satu modus berbahaya menyasar pelaku bisnis. Email atau pesan palsu mengatasnamakan “Meta for Business” mengklaim bahwa halaman bisnis melanggar kebijakan dan terancam diblokir. Korban diarahkan ke akun Messenger palsu yang mengaku sebagai tim dukungan resmi.
Ada pula penipuan pembelian grup dan fanspage. Admin ditawari harga fantastis untuk grupnya, lalu diminta menghapus admin lain dan menambahkan akun tertentu. Akun tersebut ternyata milik penipu.Begitu mendapat hak admin, pemilik asli dikeluarkan dan grup pun direbut.
Yang lebih mengkhawatirkan, penipuan kini semakin personal. Pelaku membuat akun kloning menggunakan nama dan foto teman korban, lalu menghubungi dengan cerita darurat. Bahkan, laporan keamanan siber menunjukkan peningkatan drastis penggunaan teknologi AI dan deepfake di kawasan Asia Pasifik, membuat identitas palsu semakin sulit dikenali.
Membangun Naluri Digital: Cara Mengenali dan Menghadapi Penipuan
Di tengah kecanggihan penipu, pertahanan terbaik tetaplah kewaspadaan manusia.Profil Facebook yang mencurigakan bisa dikenali dari aktivitasnya.Akun palsu umumnya minim interaksi, linimasa kosong, atau menggunakan foto yang tampak terlalu sempurna.Pesan yang meminta data pribadi, mengandung tautan aneh, atau menciptakan rasa panik mendadak patut dicurigai.
Jika menemukan atau menjadi korban penipuan, langkah cepat sangat menentukan.Laporkan akun atau pesan tersebut ke platform terkait. Jika sudah terjadi transfer dana, segera hubungi bank atau layanan pembayaran digital. Jangan lupa mengamankan akun dengan mengganti kata sandi dan mengaktifkan autentikasi dua faktor.
Pada WhatsApp, verifikasi dua langkah adalah benteng utama. Fitur ini menambahkan PIN yang harus dimasukkan selain kode OTP.Mengunci aplikasi dengan sidik jari atau Face ID, memeriksa perangkat tertaut secara berkala, serta membatasi informasi profil hanya untuk kontak juga sangat membantu.
Kunci Utama: Skeptis, Verifikasi, dan Tidak Terburu-buru
Hampir semua penipuan memiliki pola yang sama: menciptakan urgensi dan menekan emosi. Karena itu, prinsip sederhana ini layak dipegang teguh: tidak ada institusi resmi yang meminta OTP, PIN, atau data rahasia melalui chat. Jika sesuatu terasa terlalu mendesak atau terlalu indah, berhentilah sejenak dan verifikasi melalui saluran resmi.
Penipuan digital ibarat penyakit yang terus bermutasi.Teknologi keamanan memang penting, tetapi literasi digital dan kebiasaan saling mengingatkan jauh lebih menentukan.Dengan bersikap kritis dan berbagi informasi, kita tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga memutus mata rantai penipuan yang mengancam orang-orang terdekat.
Di dunia maya, kehati-hatian bukan sikap berlebihan, ia adalah kebutuhan. ***




