WAWANCARA KHUSUS
Swara Pendidikan (Depok) – Sengketa atas tanah seluas 121 hektar di Kampung Bojong Malaka, Depok, kembali mencuat ke publik. Masyarakat yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kampung Bojong Malaka (PMKBM) menuntut keadilan atas lahan yang dulunya mereka tempati, namun kini telah bersertifikat atas nama instansi lain, bahkan dijadikan lokasi kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Swara Pendidikan berkesempatan mewawancarai Ketua PMKBM, Syamsul Marasabessy, untuk mendalami duduk perkara dan tuntutan masyarakat. Berikut kutipan wawancaranya:
Swara Pendidikan (SP): Pak Samsul, bisa dijelaskan sejak kapan persoalan tanah ini bermula?
Samsul Marasabessy (SM): Persoalan ini bermula sejak tahun 1970-an. Tanah seluas 121 hektar di Kampung Bojong Malaka awalnya adalah permukiman warga. Namun, karena ada penggusuran oleh pihak RRI dibantu aparat, warga terpaksa eksodus ke tiga wilayah lain: Kampung Cisalak, Kampung Bojong Barat, dan Kampung Baru (Pekapuran).
SP: Lalu bagaimana ceritanya dokumen administrasi tanah itu bisa hilang?
SM: Pada tahun 1973, ada perintah untuk memusnahkan buku Letter C—dokumen penting tanah adat. Camat Cimanggis saat itu menyampaikan perintah ke Lurah Curug, lalu diteruskan ke Abdul Rosid. Tapi, ketika akan dibakar, Pak Rosid melihat dokumen-dokumen penting berserakan. Beliau secara diam-diam menyelamatkannya dan hanya membakar sampah lain. Lurah mengira semua sudah musnah.
SP: Apa yang dilakukan Pak Abdul Rosid dengan dokumen itu?
SM: Beliau menyerahkannya ke kantor IPEDA/Kantor Dinas Luar (KDL) di Bogor. Pejabat yang menerima, Pak Endang, bahkan meminta agar dokumen itu tidak dibawa kembali ke desa. Pak Rosid diminta menyalin ulang dokumen ke dalam buku baru dari IPEDA. Salinan itu disimpan di kantor KDL, bukan di desa.
SP: Lantas bagaimana tanah itu bisa bersertifikat atas nama pihak lain?
SM: Di situlah persoalan bermula. Tahun 2007 terbit Sertifikat Hak Pakai (SHP) No. 00001 yang menggabungkan tanah 121 hektar ini dengan tanah Eigendom Verponding seluas 67 hektar. Padahal, setelah putusan perkara 133/Pdt.G/2010/Pn Dpk. kami dalami, SHP 2007 itu merupakan pengganti dari SHP nomor 1 tahun 1995 yang katanya hilang, dan SHP 1995 sendiri pengganti dari SHP nomor 2 tahun 1981 yang katanya terbakar. Ironisnya, data salinan SHP nomor 2 tahun 1981 dan SHP nomor 1 tahun 1995 sebagai warkah penerbitan sertifikat tidak ada satupun di BPN Depok.
SP: Apa yang membuat masyarakat yakin bahwa SHP itu bermasalah?
SM: Karena kami melihat SHP itu adalah dokumen aspal—asli tapi palsu. Asli karena diterbitkan oleh BPN, tapi palsu karena dokumennya fiktif. Dalam putusan perkara No. 133/Pdt.G/2010/Pn Dpk, pihak RRI mengaku membeli tanah dari seseorang bernama Han Tek Nio. Tapi mereka tidak bisa menunjukkan bukti seperti KTP, akta perusahaan, kuitansi, atau akta jual beli. Tidak ada juga dokumen Eigendom Verponding asli. Ini artinya tidak ada dasar hukum untuk penerbitan SHP itu.
SP: Apa tuntutan utama dari masyarakat Kampung Bojong Malaka?
SM: Kami meminta agar SHP No. 00001 dan SHP No. 00002 dinyatakan batal demi hukum, karena cacat hukum dan cacat prosedur. Dokumen Letter C milik warga yang diselamatkan itu harus dijadikan dasar klaim yang sah. Selain itu, masyarakat harus mendapat ganti untung yang layak, karena mereka kehilangan hak tanah yang telah ditempati turun-temurun.
SP: Bagaimana tanggapan pemerintah sejauh ini?
SM: Saat kami bertemu Dirjen sengketa Kementrian ATR/BPN RI, Ilyas Tedjo, beliau menyarankan menggugat ke PTUN. Tapi kami tolak, karena tidak ada dokumen ganda diatas tanah kami yang diklaim oleh RRI dan kini oleh Kemenag RI.. SHP itu tidak apple to apple dengan Letter C sebagai tanah adat. Maka kami minta pemerintah melalui Mentri ATR/Kepala BPN RI untuk membatalkan sertifikat SHP nomor. 00001 tahun 2007 atas nama RRI (kini menjadi SHP nomor. 00002 tahun 2018 atas nama Kemenag RI). Kemudian untuk memenuhi ketentuan pasal 64 PP 18 Tahun 2021, kami memohon kepada Mentri ATR/Kepala BPN RI untuk mengajukan penetapan putusan PTUN terkait pembatalan SHP dimaksud.
SP: Terdengar ada keterlibatan oknum pejabat pusat?
SM: Ya, kami soroti peran Ilyas Tedjo, yang kini Dirjen Sengketa dan Konflik Pertanahan Nasional. Beliau sebelumnya aktif di BPN Depok sebagai Kasie Sengketa dalam urusan pembebasan lahan untuk tol, dan diduga kuat terlibat (aktor intelektual) dalam penerbitan ratusan sertifikat pecahan dari sertifikat induk nomor 00001 tahun 2007 yang diduga aspal. Kami minta Menteri ATR/BPN mengevaluasi kinerjanya.
SP: Apa harapan Bapak kepada pemerintah pusat?
SM: Saya memohon kepada pemerintah, terutama Yang Mulia Bapak Presiden Republik Indonesia, Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto yang telah dipilih oleh rakyat secara demokratis, untuk: – Menindak oknum yang terlibat dalam merampas hak masyarakat dan menyengsarakan rakyat. Persoalan ini seharusnya sudah selesai bilamana tidak dihalangi oleh Dirjen Sengketa Ilyas Tedjo, karena Sekretaris Kabinet telah bersurat kepada Menteri ATR/Kepala BPN RI dengan nomor surat : B.0340/Seskab/Ekon/08/2024 Tanggal 8 Agustus 2024 perihal Penyelesaian Non-Litigasi dan Koordinasi Terkait Tanah Hak Milik Adat Kampung Bojong Malaka, kami hanya meminta hak kami di kembalikan.kami adalah rakyat yang membayar pajak dan taat azas, maka sudah sepantasnya negara pun memberikan perlindungan hukum dan memberikan hak kami rakyat yang terdzolimi
SP: Saat ini tanah tersebut digunakan untuk proyek strategis nasional (PSN), yakni Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Bagaimana sikap warga?
SM: Justru itu yang kami sesalkan. Universitas itu membawa nama Islam. Maka proses perolehan tanahnya pun harus dilakukan secara benar lagi baik (halalan thayyiban)—baik dan sah. Jangan memakai simbol agama untuk melegitimasi perampasan hak masyarakat.
SP: Terakhir, apakah ada solusi redaksional yang Bapak harapkan dari pemerintah?
SM: Kami hanya minta satu hal: pemerintah jangan dibuat pusing. Cukup keluarkan keputusan bahwa:
“SHP 00001 dan 00002 atas bidang tanah yang menyangkut tanah hak adat, DINYATAKAN BATAL DEMI HUKUM.”
Kalau ini dilakukan, maka hak masyarakat terpenuhi dan Negara akan kembali mendapat kepercayaan dari rakyatnya sendiri.
SP: Terima kasih atas penjelasannya, Pak Samsul.
SM: Sama-sama. Kami hanya ingin hak kami kembali, dan negara hadir untuk rakyatnya.
Catatan Redaksi:
Swara Pendidikan akan terus mengikuti perkembangan kasus ini dan membuka ruang klarifikasi bagi pihak-pihak terkait.