Refleksi tentang Kecerdasan Buatan dan Transformasi Sastra

by Editorial
0 Komentar 40 Pembaca

Oleh : Rissa Churria

Setelah membaca makalah yang dibagikan oleh Bang Riri Satria dalam grup WhatsApp, saya merasa topik yang diangkat dalam presentasi beliau di Malay Writers and Cultural Festival (MWCF) 2024 tidak hanya relevan, tetapi juga membuka perspektif baru mengenai relasi antara teknologi dan seni, khususnya sastra.

Dalam diskusi yang berfokus pada “AI dan Masa Depan Sastra”, Bang Riri menyajikan paparan yang mendalam tentang bagaimana Kecerdasan Buatan (AI) berperan dalam membentuk ulang lanskap sastra modern, serta berbagai tantangan dan peluang yang menyertainya.

AI Sebagai Alat Kreatif: Menjembatani Sastra dan Teknologi

Sebagai seorang yang berasal dari dua dunia yang kontras; teknologi dan humaniora. Bang Riri mengungkapkan dengan sangat elegan bagaimana AI dapat menjadi “mitra” kreatif bagi para sastrawan.

Dalam makalah yang dibagikan, saya melihat bahwa perspektifnya sangat komprehensif: AI, dalam pandangan beliau, bukanlah pengganti manusia dalam proses kreatif, melainkan sebuah alat yang bisa mendorong penulis untuk mencapai hal-hal baru. Misalnya, algoritma kecerdasan buatan bisa membantu menawarkan variasi ide, menyusun plot yang lebih kompleks, atau bahkan membantu menciptakan karakter yang lebih kaya berdasarkan data analisis.

Bagi saya, konsep ini sangat menarik karena selama ini saya berpikir bahwa AI hanya berperan sebagai alat teknis yang mekanistik. Namun, melalui contoh yang diberikan oleh Bang Riri, saya mulai memahami bahwa AI juga bisa berfungsi sebagai kolaborator kreatif yang bisa memberi dorongan ide-ide baru.

Bagi penulis, terkadang menghadapi kebuntuan ide, AI dapat membantu memecahkan masalah ini dengan menyuguhkan berbagai alternatif. Tentu saja, hasil akhirnya tetap berada di tangan penulis, tetapi dukungan yang diberikan AI jelas membuka ruang eksplorasi baru.

Etika dan Orisinalitas: Apakah AI Mengancam Keaslian Karya?

Hal yang juga menjadi sorotan dalam presentasi Bang Riri adalah soal orisinalitas karya yang diciptakan dengan bantuan AI. Pertanyaan tentang apakah karya yang dihasilkan dengan bantuan teknologi masih bisa dianggap otentik atau asli menjadi isu yang mengemuka. Dalam paparan beliau, Bang Riri menjelaskan bahwa keaslian sebuah karya tidak semata-mata terletak pada siapa yang “menulis”, melainkan bagaimana karya itu mampu memancarkan jiwa dan emosi dari penulisnya.

Saya sangat setuju dengan pandangan Bang Riri ini. AI memang bisa mempercepat proses dan memberikan dukungan, tetapi tetap saja, penulis adalah satu-satunya yang bisa memberikan sentuhan manusiawi pada karyanya. Pengalaman hidup, emosi, dan sensitivitas yang hanya dimiliki manusia menjadi unsur utama yang membuat sebuah karya sastra begitu istimewa. Dalam hal ini, AI bukanlah ancaman, melainkan pendukung yang membantu memperkaya proses kreatif tanpa menghilangkan esensi kemanusiaan dari sebuah karya.

Pelestarian Sastra Lokal dengan AI: Sebuah Peluang Besar

Bang Riri juga membahas tentang bagaimana AI bisa menjadi alat yang penting dalam melestarikan sastra lokal, khususnya yang bersifat lisan. Di tengah globalisasi yang sering kali mengancam kelangsungan tradisi lokal, saya merasa bahwa ide ini sangat penting. AI dapat membantu mendokumentasikan, menganalisis, dan bahkan menciptakan kembali bentuk-bentuk sastra tradisional seperti cerita rakyat, pantun, syair, dan lain-lain yang memiliki nilai budaya tinggi.

Bang Riri berpendapat bahwa dengan teknologi ini, sastra lokal tidak hanya bisa terjaga, tetapi juga bisa diperkenalkan kepada generasi mendatang dalam format digital yang mudah diakses. Sebagai orang yang juga peduli terhadap kelestarian budaya lokal, saya merasakan optimisme yang sama. Teknologi seharusnya tidak dipandang sebagai musuh budaya, melainkan sebagai alat yang bisa membantu budaya itu tetap hidup dan berkembang. Dalam dunia yang serba cepat ini, AI dapat membantu melestarikan kekayaan sastra yang mungkin sulit dijangkau oleh generasi muda yang semakin jauh dari tradisi.

Tantangan dalam Penggunaan AI di Dunia Sastra

Meskipun banyak manfaat yang ditawarkan AI, Bang Riri tidak menutup mata terhadap tantangan yang ada. Salah satu isu penting yang beliau bahas adalah penerimaan masyarakat terhadap karya yang melibatkan teknologi. Banyak yang masih skeptis dan menganggap karya yang diciptakan dengan bantuan AI tidak memiliki nilai seni yang sama dengan karya manusia. Ini adalah tantangan besar yang menurut saya memerlukan pendekatan edukatif. Penulis, pembaca, dan masyarakat umum perlu diajak untuk memahami bahwa teknologi adalah bagian dari evolusi kreativitas, bukan ancaman bagi seni itu sendiri.

Selain itu, masalah kesetaraan akses terhadap teknologi juga menjadi tantangan. Seperti yang dipaparkan oleh Bang Riri, tidak semua penulis, terutama mereka yang berasal dari daerah terpencil, memiliki akses yang sama terhadap teknologi AI. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang lebih inklusif agar teknologi ini bisa diakses oleh semua orang, bukan hanya segelintir penulis yang berada di pusat-pusat teknologi.

AI dan Masa Depan Sastra: Sebuah Kolaborasi Kreatif

Pada akhirnya, saya merasa bahwa pandangan Bang Riri tentang kolaborasi antara AI dan manusia dalam menciptakan karya sastra adalah sesuatu yang sangat relevan dan futuristik. AI dapat memberikan perspektif baru dan membantu manusia dalam proses kreatif, tetapi tetaplah penulis yang memegang kendali. Kreativitas, ide-ide segar, dan keputusan akhir tetap berada di tangan manusia. Dalam kolaborasi ini, AI hanyalah alat yang mendukung eksplorasi kreatif, sedangkan sentuhan manusia tetap menjadi faktor yang menentukan dalam menciptakan karya yang memiliki jiwa.

MWCF 2024 menjadi panggung yang tepat untuk membahas topik ini. Bang Riri melalui makalah dan presentasinya mengajak kita semua untuk melihat AI bukan hanya sebagai alat teknologi, tetapi sebagai peluang untuk membawa sastra ke arah yang lebih maju dan inklusif. Saya sangat terinspirasi oleh gagasan-gagasan yang beliau sampaikan, dan saya berharap bisa melihat lebih banyak kolaborasi kreatif antara AI dan penulis di masa depan.

Sebagai penutup, saya merasa optimis bahwa kita bisa merangkul teknologi ini tanpa harus kehilangan esensi kemanusiaan yang menjadi ciri khas dari setiap karya sastra. MWCF 2024 menjadi platform yang sangat penting untuk mengeksplorasi bagaimana seni dan teknologi bisa saling melengkapi, bukan saling menggantikan.**

 

Baca juga

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel & foto di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi!!