Swara Pendidikan (Sawangan, Depok) – Suasana hangat terasa di banyak sekolah pada Selasa (25/11/2025). Senyum para siswa, ucapan selamat, hingga ungkapan terima kasih sederhana menjadi warna dalam peringatan Hari Guru Nasional (HGN) ke-80. Begitu pula di SDN Duren Seribu (Duser) 03, Bojongsari.
Di antara hiruk-pikuk ucapan selamat dari siswa, seorang guru yang dikenal aktif menulis buku, Muhammad Fajri, memilih momen HGN untuk merenung. Baginya, perayaan Hari Guru bukan sekadar simbol, melainkan ajakan untuk kembali memahami hakikat seorang pendidik.
“Setiap 25 November kita bukan hanya merayakan, tetapi mengingat kembali sejarah mengapa hari itu ditetapkan sebagai Hari Guru,” kata M. Fajri saat ditemui di ruang perpustakaan sekolah, Selasa (25/11/2025).
Fajri kemudian menuturkan perjalanan organisasi profesi guru di Indonesia. Dahulu, Persatuan Guru Indonesia (PGI) sempat mengalami beberapa perubahan nama sebelum akhirnya kembali menjadi PGRI seperti yang dikenal saat ini. Perjalanan itu, katanya, bukan sekadar pergantian identitas, tetapi rekam jejak perjuangan panjang para pendidik.
“Sejarah itu menunjukkan betapa besarnya perjuangan para guru untuk memperjuangkan posisi dan perannya di dunia pendidikan. Kuncinya adalah perjuangan—bagaimana mewadahi peran guru agar benar-benar dihargai. Tanpa guru, pendidikan tidak akan berjalan,” tuturnya.
Fajri menegaskan, kurikulum dan fasilitas sekolah yang lengkap tidak akan berarti tanpa keberadaan guru. “Kurikulum itu penting, sekolah itu penting. Tapi tanpa guru, keduanya tidak bisa berjalan,” katanya.
Dia lalu mengungkapkan contoh sederhana: belajar bisa tetap berlangsung meski tanpa gedung sekolah, selama masih ada guru dan siswa. Sebaliknya, ketika guru tidak hadir, siswa kehilangan arah, belajar tanpa pendampingan, dan kondisi ini berpotensi melahirkan degradasi moral.
“Anak-anak sekarang pintar secara kognitif, tapi aspek afektif, sopan santun, tata krama, karakter, tidak bisa dibangun tanpa sentuhan guru,” imbuhnya.
Di akhir wawancara, nada bicara Fajri terasa lebih lirih namun penuh harap. Dia menilai bahwa menjadi guru adalah bagian dari kontribusi besar bagi bangsa, sebuah amanah yang diwariskan sejak masa para pendiri negeri.
“Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan untuk memberikan kontribusi bagi cita-cita para founding fathers. Mari bergotong royong membangun bangsa, terutama melalui pendidikan. Karena jika pendidikan suatu bangsa rusak, maka rusak pula bangsa itu,” ucapnya.
Di Hari Guru Nasional yang ke-80 ini, pesan Fajri menjadi pengingat: guru bukan hanya sosok yang mengajar di depan kelas, tetapi pilar yang membentuk karakter generasi masa depan. Sebuah peran yang tak dapat digantikan teknologi, dan tak akan lekang oleh zaman.
Editor : Nurjaya SP




