Di tengah derasnya arus perubahan kurikulum dan tuntutan inovasi di dunia pendidikan, satu hal yang selalu saya yakini: setiap murid itu unik — seperti warna dalam seni rupa. Mereka memiliki karakter, latar belakang, dan cara berpikir yang berbeda. Sebagai guru, tugas kitalah merangkai keberagaman itu menjadi lukisan pembelajaran yang bermakna.
Saya beruntung mengajar di SDN Cipayung 2, sebuah sekolah negeri di Kota Depok yang memiliki 21 rombongan belajar dan 656 murid. Di sinilah saya menemukan berbagai tantangan sekaligus peluang dalam membangun pengalaman belajar yang berpihak pada murid.
Memasuki tahun ajaran 2025/2026, sekolah kami mulai menerapkan pendekatan Pembelajaran Mendalam (deep learning) — sebuah pendekatan yang tidak sekadar menekankan pengetahuan, tetapi juga kesadaran, makna, dan kegembiraan. Saya tertarik menerjemahkannya ke dalam pelajaran Seni Budaya dan Prakarya, khususnya seni rupa, yang kerap dipandang sebelah mata.
Di kelas, saya kerap mendengar keluhan murid: “Bu, saya nggak bisa gambar.” Atau, “Bu, gambar saya jelek, ya?”
Saya tahu itu bukan soal kemampuan, melainkan rasa takut dan rendah diri. Maka saya mencari cara agar seni rupa tak lagi menakutkan. Sampai akhirnya saya menemukan Quick, Draw! —sebuah permainan interaktif buatan Google yang menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menebak gambar kita dalam waktu 20 detik.
Dari sinilah lahir gagasan PUSPA QUICK DRAW — Pengenalan Unsur Seni Rupa dengan Media Quick Draw. Dalam pembelajaran ini, murid diminta menggambar objek tertentu secara cepat, lalu berdiskusi tentang unsur seni yang mereka gunakan: titik, garis, bentuk, hingga warna. Semua dilakukan dengan suasana menyenangkan, penuh tawa, dan tanpa rasa takut salah. AI yang menebak gambar bukan untuk menilai, tapi sebagai teman belajar yang memberi umpan balik instan.
Media ini ternyata sangat ampuh. Murid yang tadinya pasif jadi aktif. Yang tadinya malu menggambar, kini antusias bereksperimen. Mereka bukan hanya menggambar, tapi juga belajar menjelaskan proses berpikirnya. Bahkan, beberapa murid jadi tertarik mengeksplorasi seni di luar jam pelajaran. Inilah esensi pembelajaran mendalam: bukan hanya paham isi, tapi tumbuh sebagai pribadi yang berpikir, merasa, dan bertindak.
Tentu, prosesnya tak selalu mulus. Saya harus menyusun skenario pembelajaran yang adaptif, mengaitkan materi dengan kehidupan nyata, dan belajar teknologi baru. Tapi semua itu menjadi investasi berharga. Terlebih saat melihat senyum percaya diri murid-murid saya yang berkata, “Bu, aku bisa kok gambar!”
Praktik ini juga saya bagikan kepada rekan sejawat, dan sambutannya positif. Beberapa guru bahkan mulai mencoba Quick, Draw! dalam mata pelajaran lain, seperti Bahasa Indonesia dan Matematika. Inovasi kecil ini membuka pintu kolaborasi yang lebih luas.
Bagi saya, menjadi guru adalah jalan hidup. Sejak SMA, saya sudah jatuh cinta pada dunia pendidikan. Saya percaya, pendidikan adalah ladang pengabdian yang tak pernah kering. Maka ketika kurikulum berubah, saya menyambutnya bukan dengan resah, melainkan dengan semangat untuk terus belajar dan berinovasi.
Agar kurikulum berjalan sesuai harapan, kita perlu membangun budaya saling percaya dan saling dukung di sekolah. Kepala sekolah, guru, tenaga administrasi—semuanya perlu bersinergi, menyusun program berdasarkan kebutuhan nyata murid, bukan hanya formalitas dokumen.
Quick, Draw! mungkin terlihat sederhana. Tapi ia telah membuka ruang bagi murid untuk berani, kreatif, dan bahagia dalam belajar. Inilah warna-warni pendidikan yang ingin saya rawat: belajar yang berakar pada murid, berbuah pada karakter, dan berbunga di masa depan mereka.
Semoga praktik kecil ini bisa menjadi inspirasi bagi para pendidik lainnya. Karena sejatinya, setiap guru punya potensi menjadi pelukis masa depan anak-anak bangsa.***
Tentang Penulis
Ridha Amanatu Nisa
Lahir di Bogor, 15 Februari 1992.
Merupakan guru kelas di SDN Cipayung 2 Kota Depok dan telah mengabdi selama lebih dari 10 tahun.
Ia menyelesaikan pendidikan S1 Bahasa Inggris di Universitas Indraprasta PGRI (2016), serta Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Terbuka (2020).
Sejak SMA, ia telah mencintai dunia pendidikan dan terus menumbuhkan semangat untuk menjadi manusia yang bermanfaat, terutama dalam dunia pembelajaran di sekolah dasar.
Baginya, perubahan kurikulum adalah peluang untuk terus berkembang, dan kunci keberhasilan pelaksanaannya adalah budaya kolaborasi serta keterbukaan antar seluruh unsur satuan pendidikan. *





Sangat menginspirasi
Keren sih….. Sudah tak diragukan lagi pendidik satu ini….. Pokoknya terbaik…. Jgn lelah utk terus berinovasi.