Swara Pendidikan (Jepara) — Sosok Nur Cahyani, guru di SDN 4 Suwawal Kecamatan Mlonggo, dikenal sebagai pribadi sederhana dan berhati lembut. Di balik ketulusannya mendidik anak-anak, tersimpan semangat juang yang tak kalah dari para pahlawan pendidikan. Meski sang suami pernah menjabat sebagai Kepala BPKAD Kabupaten Jepara dan kini telah purna tugas, Nur tetap tampil bersahaja dan fokus menjalankan panggilan hidupnya sebagai pendidik.
Nur Cahyani layak disebut Srikandi Jepara penerus perjuangan RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita asal Jepara. Ia meyakini bahwa perempuan memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk menuntut ilmu. “Perjuangan kami memang berbeda zaman, tetapi cita-citanya sama, yaitu mencerdaskan anak bangsa,” ujarnya dengan senyum hangat.
Sejak kecil, Nur sudah menanamkan cita-cita mulia untuk menjadi guru. Niat itu diwujudkannya dengan menempuh pendidikan di SPG, lalu melanjutkan ke IAIN Sunan Kalijaga. Ia mulai mengajar pada tahun 1986 di SDN 4 Suwawal, dan sejak itu, ia berkomitmen menanamkan akhlak mulia dan karakter baik kepada para siswanya.

Menurut Nur, dunia pendidikan kini menghadapi tantangan besar seiring perubahan zaman menuju era generasi Z dan Alpha. Salah satu sorotan utamanya adalah pergeseran adab dan etika murid, terutama akibat penggunaan gawai (ponsel pintar) tanpa kontrol.
“Kami berusaha semaksimal mungkin mendidik mereka agar sopan dan beretika. Tapi sekarang banyak anak terpengaruh perilaku dari handphone. Penggunaannya sering tanpa pengawasan, sehingga berdampak pada sikap dan tutur mereka,” ungkap Nur Cahyani kepada Swara Pendidikan di ruang guru, Jumat (7/11/2025).
Ia menilai, perbedaan antara pendidikan dulu dan sekarang sangat mencolok. Dahulu, murid lebih patuh dan menghormati guru, sedangkan kini guru harus berhati-hati dalam bertindak karena sedikit kesalahan bisa berujung pada laporan dari orang tua.
“Akibat terpapar konten di HP, anak-anak jadi mudah meniru hal-hal yang tidak pantas. Kadang mereka bahkan berani menantang guru. Ini tantangan besar bagi kami di sekolah,” katanya.
Selain faktor teknologi, Nur juga menyoroti kesalahpahaman terhadap Kurikulum Merdeka, yang oleh sebagian siswa dianggap sebagai kebebasan untuk bertindak sesuka hati.
Sebagai pendidik, Nur bersama rekan-rekannya terus berupaya membentuk karakter siswa melalui berbagai cara. Salah satunya dengan tayangan video inspiratif yang menggugah emosi dan menanamkan nilai kebaikan, etika, serta tata krama di kelas.
“Kami ingin anak-anak tidak hanya pintar, tapi juga punya akhlak dan sopan santun kepada guru, teman, dan orang tua,” tuturnya.
Bagi Nur Cahyani, keberhasilan pendidikan tidak dapat dicapai hanya di sekolah. Peran keluarga dan masyarakat juga sangat menentukan.
“Guru pasti ingin anak didiknya menjadi manusia berguna bagi nusa dan bangsa. Tapi tanpa dukungan keluarga dan lingkungan, anak tidak akan berkembang optimal,” pungkasnya.
Di momentum Hari Pahlawan 10 November, Nur Cahyani turut menyampaikan harapannya agar semangat para pejuang terus hidup dalam jiwa setiap insan pendidik.
“Selamat Hari Pahlawan. Semoga para pahlawan yang telah gugur mendapat tempat terbaik di sisi Tuhan Yang Maha Esa,” ucapnya dengan penuh ketulusan.**



