Swara Pendidikan (Depok) – Masyarakat Kota Depok sempat dihebohkan dengan fenomena kelangkaan gas LPG 3 kg dalam beberapa hari terakhir. Tim Pemuda Survei Indonesia – Patriot Empat juga mendapat pengakuan beberapa warga dari Cipayung, Sawangan dan Bojongsari mengenai hal. Namun, menurut Ketua Hiswana Migas Depok, Ahmad Badri, isu ini bukan disebabkan oleh kurangnya pasokan, melainkan karena adanya kendala dalam distribusi dan persepsi masyarakat terhadap kebijakan yang diterapkan.
Penyebab Kelangkaan: Tata Niaga dan Persepsi Publik
Ahmad Badri menjelaskan bahwa permasalahan utama terjadi karena adanya perubahan mekanisme distribusi. “Sebenarnya ini masalah sederhana. Ada seorang yang tidak mau menggunakan pangkalan dan tidak boleh membeli dari pengecer. Akibatnya, pangkalan belum mengirimkan barang ke pengecer. Karena kondisi ini, beberapa warung yang biasa menjual gas juga terdampak. Padahal, stok sebenarnya cukup. Masalah ini justru membesar karena timbul persepsi bahwa pasokan sedang dikendalikan,” jelasnya.
Saat ini, penggunaan LPG 3 kg menjadi perhatian utama, terutama bagi pelaku usaha makanan besar, usaha ekologi, dan sektor bangunan yang mengonsumsi dalam jumlah besar. Data dari masyarakat dan pelaku usaha sangat diperlukan untuk memastikan distribusi LPG tepat sasaran. Sebagai agen, Hiswana Migas menyalurkan LPG berdasarkan data yang kemudian didistribusikan ke pangkalan dan masyarakat.
Regulasi Baru dan Tantangan di Lapangan
Pemerintah telah menerapkan sistem distribusi LPG melalui mekanisme MAP (Rencana Terbang) di pangkalan, di mana batas pembelian ditetapkan maksimal 5 tabung untuk rumah tangga dan 15 tabung untuk UKM. Namun, pengecer tidak memiliki data resmi sehingga regulasi sulit diterapkan di tingkat pengecer. Pemerintah sendiri hanya memiliki data di tingkat agen dan pangkalan.
“Tujuan utama kebijakan ini adalah memastikan subsidi tepat sasaran. Namun, di masyarakat, kebijakan ini dirasa ribet. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi, baik melalui flyer, pertemuan dengan perangkat daerah, maupun komunikasi ke warga melalui kelurahan dan kecamatan,” tambah Ahmad Badri.
Kondisi ini sempat menimbulkan keresahan di masyarakat. Ahmad Badri mengakui adanya miskomunikasi dalam koordinasi kebijakan, yang menyebabkan munculnya anggapan bahwa pasokan dikendalikan. Padahal, kebijakan ini bertujuan untuk pemerataan LPG dan menghindari praktik penjualan ilegal di tingkat pengecer.
Solusi: Pemerataan Pangkalan dan Sosialisasi yang Intensif
Untuk mengatasi permasalahan ini, salah satu solusi yang ditawarkan adalah pemerataan pangkalan LPG. Idealnya, setiap RW memiliki pangkalan sendiri agar masyarakat tidak perlu membeli dari pengecer dengan harga lebih tinggi. Saat ini, harga di pangkalan resmi adalah Rp19.000, sementara di pengecer bisa mencapai Rp24.000 atau lebih. Dengan sistem pangkalan yang lebih merata, harga dapat lebih terkendali dan tidak dipengaruhi spekulasi pasar.
Di Kota Depok sendiri, terdapat sekitar 1.300 pangkalan dan 53 agen yang menyalurkan LPG dengan kuota 2.300.000 tabung per bulan. Dengan jumlah ini, Ahmad Badri menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu panik karena pasokan tetap tersedia.
Selain itu, mulai Mei nanti, pemerintah akan menerapkan kebijakan bahwa masyarakat yang ingin menggunakan LPG subsidi harus terdaftar dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Usaha yang tidak masuk dalam kategori penerima subsidi, seperti usaha las atau bisnis berskala besar, tidak diperbolehkan menggunakan LPG 3 kg.
Namun, Ahmad Badri juga mengakui bahwa di lapangan masih ada perbedaan penerapan aturan di antara pangkalan, di mana beberapa patuh dan beberapa kurang disiplin. Oleh karena itu, pengawasan dari pemerintah dan masyarakat sangat dibutuhkan agar distribusi lebih merata dan tepat sasaran.
Pengusaha Depok: Suplai Aman, Masyarakat Diminta Tenang
Senada dengan Ahmad Badri, tokoh masyarakat sekaligus pengusaha gas LPG di Depok, Haji Yahman Setiawan, menegaskan bahwa kondisi kelangkaan hanya bersifat sementara dan bukan karena pasokan yang berkurang.
“Kemarin malam, kami melihat adanya fenomena kelangkaan di wilayah kami, terutama di wilayah Besok. Namun, kelangkaan ini tidak berlangsung lama. Sebenarnya, masalahnya bukan karena gas tidak tersedia, melainkan lebih kepada kendala dalam tata niaga dan distribusinya,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa hari libur, seperti tanggal merah, juga memengaruhi distribusi gas karena agen-agen tidak beroperasi. Hal ini menyebabkan stok gas di rumah tangga cepat habis sebelum pasokan berikutnya tiba. Selain itu, tidak ada tambahan suplai di luar kuota normal, sementara permintaan meningkat.
Namun, Haji Yahman memastikan bahwa pasokan LPG 3 kg di Kota Depok dalam kondisi aman. Stok di Pertamina telah dipersiapkan dengan baik, termasuk untuk menghadapi bulan Ramadan yang akan datang. Ia juga menyatakan bahwa koordinasi dengan pemerintah kota, Hiswana Migas, dan pelaku usaha gas terus dilakukan agar distribusi berjalan lancar.
“Oleh karena itu, kami mengimbau masyarakat, khususnya di Kota Depok, agar tidak panik. Pemerintah dan Pertamina telah menyediakan stok LPG yang lebih dari cukup. Mari kita bersama-sama menjaga kondisi agar tetap stabil,” pungkasnya.
Kesimpulan
Meski terjadi gejolak di masyarakat, baik Hiswana Migas maupun pengusaha gas di Depok memastikan bahwa stok LPG 3 kg dalam kondisi aman. Kendala utama terletak pada distribusi dan persepsi publik terkait kebijakan baru yang diberlakukan pemerintah. Oleh karena itu, pemerataan pangkalan dan sosialisasi yang lebih intensif menjadi kunci dalam mengatasi permasalahan ini. Masyarakat diimbau untuk tetap tenang dan membeli LPG langsung di pangkalan resmi guna menghindari harga tinggi di tingkat pengecer. Jika terjadi kelangkaan atau harga tidak sesuai, masyarakat diminta untuk segera melaporkan agar dapat ditindaklanjuti dengan cepat (PTRT-4).