Swara Pendidikan (Jakarta) — Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyoroti meningkatnya kasus kekerasan dan perundungan (bullying) di lingkungan sekolah, termasuk sejumlah peristiwa tragis yang berujung pada kematian siswa.
Menanggapi hal itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) tengah menyiapkan serangkaian langkah strategis untuk memperkuat perlindungan bagi peserta didik, salah satunya melalui pembentukan Duta Antikekerasan dari kalangan siswa.
“Rencananya kami akan membentuk namanya Duta Antikekerasan yang direkrut dari kalangan para murid itu sendiri, sehingga ada pelibatan para murid,” ujar Abdul Mu’ti kepada wartawan di SLBN 1 Jakarta, Cilandak, Jakarta Selatan.
Para Duta Antikekerasan ini nantinya bisa berasal dari anggota Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) atau Pramuka, dan akan berperan sebagai pendidik sebaya (peer educator) untuk membantu mencegah kekerasan di lingkungan sekolah.
“Mudah-mudahan dengan pendekatan ini berbagai kekerasan dapat kita kurangi dan kemudian situasi di sekolah bisa semakin aman, semakin nyaman untuk anak-anak kita semuanya bisa belajar dengan gembira, belajar dengan penuh semangat untuk mencapai cita-cita,” harap Mu’ti.
Guru Kini Wajib Jadi Pembimbing Siswa
Selain itu, Abdul Mu’ti juga menjelaskan bahwa Kemendikdasmen sedang memperkuat kebijakan 5M, yang menegaskan peran guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga pembimbing dan pendamping murid.
“Ini yang memang menjadi agenda kami untuk memperbaiki bagaimana pendampingan dari para guru terhadap murid-murid melalui kebijakan yang sudah kami luncurkan. Di mana guru-guru itu harus melaksanakan tugas yang kita sebut dengan 5M,” jelasnya.
Tugas 5M tersebut meliputi:
- Merencanakan pembelajaran,
- Melaksanakan pembelajaran,
- Menilai hasil pembelajaran,
- Membimbing atau melatih siswa, dan
- Melaksanakan tugas tambahan.
Kebijakan ini akan dituangkan dalam Peraturan Menteri yang tengah disiapkan. Nantinya, jam pendampingan guru akan diekuivalensikan dengan jam mengajar, tanpa menambah beban kerja guru.
“Guru selain mengajar di kelas juga harus mendampingi murid-muridnya, dan pendampingan itu tidak hanya soal akademik, tapi juga psikologis, spiritual, bahkan sosial,” beber Mu’ti.
Ia menambahkan, pendampingan guru dapat dilakukan secara nonformal, termasuk di luar jam pelajaran atau di luar sekolah, dengan pendekatan yang lebih personal.
“Guru wali bisa memberikan pendampingan tidak harus lewat pelayanan formal di sekolah. Bisa juga dengan cara-cara yang lebih bersifat personal, misalnya di rumah jika lokasinya berdekatan,” ujarnya.
Mu’ti menekankan bahwa banyak kasus kekerasan justru terjadi pada jam istirahat atau setelah jam sekolah, saat murid tidak dalam pengawasan guru. Karena itu, pendampingan berkelanjutan menjadi langkah penting untuk mencegah terulangnya kasus kekerasan di sekolah.
Kasus Kekerasan Anak Naik Tajam pada 2024
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak meningkat lebih dari 100 persen pada tahun 2024 dibanding tahun sebelumnya.
Sebanyak 31 persen di antaranya merupakan kasus perundungan (bullying) yang dominan terjadi di sekolah dan perguruan tinggi.
“Kami menyampaikan keprihatinan yang sangat mendalam atas masih tingginya kekerasan yang terjadi di sekolah, baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar jam sekolah,” tutur Abdul Mu’ti.
Ia berharap program Duta Antikekerasan dan penguatan peran guru sebagai pembimbing akan menjadi langkah konkret dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan berkarakter.**




