Sore itu aku datang di Kedai Selaksa disalah satu sudut kota. Berniat ngopi dan berdiskusi dengan teman. Suasana kedai terlihat lengang, hanya ada beberapa pengunjung yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sambil menunggu kedatangan teman, kupilih duduk dekat jendela yang mengarah ke jalan. Mengitari pandangan ke sekeliling suasana kedai, aku menemukan pemandangan yang menarik dan berbeda pada saat itu. Terlihat anak kecil yang sedang khusyuk membaca buku yang disediakan di etalase pojok kedai. Penasaran dengan anak kecil imut itu, aku beranjak menuju etalase untuk mengambil salah satu buku yang mungkin nanti akan kubaca atau sekedar kulihat-lihat sambil menunggu kedatangan teman. Kulirik anak kecil imut itu dan menyapanya.
“Hai cantik, namanya siapa, Dek?”
“Ifa.”
“Ifa di sini sama siapa?”
“Sama Bunda.”
Saat itu baru kusadari ada sesosok wajah tersenyum lembut memandang kearah kami dari bangku sudut ruang yang berlawanan dari kami berada. Sontak kuanggukkan kepala sebagai sapaan salam dari jauh sambil tersenyum.
Wanita dengan senyum lembut itu yang kuyakini adalah Bunda Ifa menghampiri kami. Mengajakku berkenalan. Kemudian dia mengeluarkan buku kecil seukuran postcard dan memberikannya kepadaku.
“Ini kumpulan tulisan yang dibuat oleh Ifa, jika Kakak berkenan membaca silahkan!”, ucapnya.
Dengan mata berbinar kuterima buku itu. Rasa takjub dan tak menyangka, anak sekecil Ifa yang kuperkirakan usianya sekitar 6 tahunan sudah mempunyai karya tulis walau masih ditulis tangan dibuku secara sederhana.
Langsung saja kusambut buku kecil itu, sambil berucap, “Sangat berkenan Bunda, ijinkan saya membacanya sebentar nanti saya kembalikan lagi!”.
Bunda Ifa mengangguk sambil menyunggingkan senyum.
Langsung saja kubaca buku itu sambil tersenyum-senyum sendiri. Banyak kata-kata yang ditulis Ifa hampir sama dengan kata-kata yang sebenarnya ingin kutuliskan sejak kecil. Hanya butuh waktu 30 menit aku membaca kumpulan tulisan ifa sampai selesai. Ketika membacanya aku merasa kembali ke masa kecil yang penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan. Lalu aku berpikir mengapa waktu kecil aku tak menuliskan kisah-kisah petualanganku ke dalam buku atau diary? Aku jadi berpikir lebih berat lagi, apakah menulis itu pekerjaan yang sulit? Apakah menulis itu adalah sebuah kemewahan sekaligus keanehan? Yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang ajaib yang mempunyai skill?
Semakin berpikir, aku mengambil kesimpulan bahwa dulu sewaktu masih sekolah, aku diberikan pembelajaran yang kadang kurang dimengerti. Terutama dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, kurang diberikan pemahaman yang mengajarkanku untuk berani menuliskan sesuatu sesuai versi kita. Kurang dilatih untuk menulis tentang apa yang kuketahui. Hingga kemudian aku mengambil kesimpulan bahwa kesulitan menulis itu sama dengan kesulitan mengungkapkan kebenaran.
Menulis itu seperti keterampilan memasak, ataupun mencuci baju. Menulis sastra, politik, sains, dan segala macam tetek-bengeknya adalah kemampuan yang seharusnya kita miliki. Entah apapun profesi kita, baik sebagai guru, wiraswasta, ASN, pengusaha, karyawan bahkan petani atau siapapun itu. Jadi menulis itu adalah upaya mengungkapkan kebenaran, merekam jejak pengalaman. Menulis juga sebagai upaya membagi apa yang kita tahu supaya orang lain tidak ikut menyelam dalam ketidaktahuan.
Pernah suatu kali aku berdebat dengan seorang teman. Saat itu kita sedang melakukan kegiatan praktik mengajar sebagai salah satu tugas kuliah. Temanku mengatakan agar aku tak memberikan teori-teori yang sulit dan belum saatnya dipahami siswa. Yang dia takutkan adalah nanti siswa malah menjadi bingung katanya. Saat itu aku hanya diam dan tak mau banyak berdebat, walau sebenarnya bertentangan dengan isi hati. Hal itu untuk menjaga agar tidak timbul suasana yang tak nyaman, padahal kita ada dalam satu kelompok yang sama.
Sebenarnya dalam hati merasa heran dengan temanku itu, aku percaya bahwa semua orang itu bisa berpikir walaupun barangkali ada tingkatan yang berbeda. Dan tentunya kita jangan lupa bahwa pengetahuan itu timbul dari keingintahuan. Lalu kalau siswa hanya diberikan tugas yang tidak mengakomodir cara berfikir kritis dan tak pernah diberi kesempatan untuk menuliskan gagasan serta mengakses pemikiran ilmiah yang kokoh maka apa yang terjadi?
Saat selesai membaca buku Ifa, aku tersenyum dan hanya menggelengkan kepala. Sungguh buku ini adalah buku yang luar biasa yang ditulis seorang anak kecil. Tulisan jujur apa adanya tanpa memperhatikan kaidah yang berlaku dalam penulisan karya sastra. Namun bagiku ini sah saja, karena sastra itu luas yang tidak membelenggu dengan aturan baku sehingga dapat ditulis bagi siapapun yang ingin mempunyai karya.
Terkadang kita sulit menemukan karya sastra yang bahasanya mudah dipahami, namun secara pemaknaan kurang dalam. Ada juga pemaknaannya dalam, namun secara bahasa tidak mudah dipahami. Namun dalam karya tulisan Ifa saya anggap sudah berhasil menggabungkan hal itu menjadi satu. Ditulis jujur dengan bahasa anak-anak.
Saat buku itu kukembalikan, aku bertanya bagaimana Ifa bisa menulis padahal masih kecil. Bagaimana cara mengajaknya untuk menulis di kala anak seumurannya lebih suka bermain-main?
“Ifa anak yang keingintahuannya sangat besar. Kalau dalam istilah kesehariannya mungkin bisa dikatakan anak yang cerewet, selalu suka bertanya apapun, dan harus dijawab sampai tuntas”, ujar Bunda Ifa sambil menggelengkan kepala.
“Melihat itu saya mempunya ide untuk menjawab pertanyaannya sambil bermain menulis kata. Dan lama kelamaan ifa menyukai dan melakukannya tanpa harus disuruh lagi”.
“Bagaimana teknik dan metodenya, saya tidak bisa menjawab sekarang ya Kak, karena Ayah Ifa sudah menjemput di depan”, ucap Bunda Ifa sambil tersenyum.
Akupun mengangguk sebagai ungkapan salam mengakhiri obrolan kita.
Obrolan dengan Bunda Ifa membuat aku kagum dengan Ifa dan juga Bundanya. Yang saling mengerti satu sama lain. Hubungan antara ibu dan anak bisa sampai menjadi partner intelektual. Aku jadi teringat dengan nasehat motivasi bahwa ketika mendengar, melihat, dan membaca maka kita akan mampu melakukan. Apa yang dilakukan oleh Ifa adalah sesuatu yang menginspirasi dan membuktikan bahwa untuk berkarya tidak harus menjadi dewasa terlebih dahulu. Apa yang dilakukan oleh Ifa adalah sesuatu yang menginspirasi dan membuktikan bahwa untuk berkarya tidak harus menjadi dewasa terlebih dahulu
Karya Ifa bisa menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, khususnya bagi anak lainnya, bahwa mereka dapat mulai berkarya dan mengekspresikan diri sejak dini. Tidak ada kata terlambat atau syarat usia untuk memulai sesuatu yang berarti. Ini adalah pesan yang positif, yang mendorong siapa saja untuk terus berani mencoba dan berkreasi tanpa takut akan batasan-batasan yang ada.
Demikian, semoga menjadi inspirasi bagi para pejuang literasi.
***
Salah satu tulisan Ifa yang saya kutip dan saya tuliskan ulang. Tulisan ringan sederhana dan jujur sesuai yang dirasakannya.
Bundaku bertanya padaku
Apa yang paling aku sukai saat sekolah
Aku jawab, “Bermain.”
Bunda bertanya lagi
Selain bermain, aku suka apalagi
Aku bilang tidak ada
Bunda tanya lagi
Apa yang aku tidak suka saat bermain
Aku bilang aku tidak suka kalau teman yang main sama aku direbut teman lain
Penulis: Titin Supriatin, M.Pd
6 Komentar
Salam literasi … 😊
keren bu dosen.
Masya Allah keren Bunda
Salam literasi 😊
Mantap sekali Buu🔥
Salam literasi 😊