Kapitalisme telah menjadi momok bagi pendidikan. Ragam permasalahan pendidikan di bawah sistem profit hari ini menyebabkan distorsi fungsi serta tujuan dari pendidikan yang menjadi hak dasar bagi manusia. Imbasnya, sistem ini akhirnya menyediakan basis bagi kebijakan timpang yang berdampak tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi pendidik.
Guru honorer adalah salah satu yang terdampak. Masih ada banyak guru honorer yang digaji di bawah 500 ribu rupiah sehingga mereka melakukan kerja sampingan untuk memenuhi kebutuhannya. Pada tahun lalu pula, ratusan guru honorer di Jakarta terkena dampak “cleansing” yang mencederai harkat martabat guru honorer. Kini, guru dijanjikan akan diberi bantuan langsung ke rekening antara 300-500 ribu per bulan dan ini masih jauh dari apa yang disebut laik untuk menjalani kehidupan yang kapitalistik hari ini.
Tulang Punggung Yang di Lupakan
Masalah guru honorer bukan masalah baru, lebih dari 1 dekade masalah tersebut menjadi salah satu wajah bagi pendidikan di Indonesia. Secara bersamaan, kebijakan telah bergulir dan tidak pernah menyentuh akar masalah. Undang-undang perlindungan guru pun telah ada namun berjalan tidak sesuai dengan harapan. Dampaknya membuat masyarakat semakin sinis dan pesimis melihat profesi keguruan meskipun secara bersamaan dianggap sebagai salah satu kunci bagi kemajuan pendidikan.
Menjadi tulang punggung bagi sekolah yang kekurangan tenaga pendidik adalah salah satu tugas utama yang menyebabkan dilema bagi guru honorer. Jam kerja yang sama dengan guru ASN tetapi gaji tidak sama merupakan konsekuensi dari berlangsungnya privatisasi dalam pendidikan di bawah kapitalisme. Tidak mengherankan jika beban kerja guru honorer adalah sama dengan guru ASN tetapi hanya dibayar sesuai kemampuan sekolah yang anggarannya pun terkadang tidak cukup untuk memberikan fasilitas yang laik dalam penyelenggaraan pendidikan. Meski demikian, hal tersebut sering kali membuat guru honorer tetap bertahan dalam dilema, hanya demi terdaftar dalam data pokok pendidikan guna mendapatkan bantuan atau tunjangan.
Ratusan Milyar Hilang Entah Kemana
Periode pemerintahan hari ini menjadi tahun bersejarah karena dana pendidikan mencapai bilangan tertingginya dari pada periode sebelumnya. Karenanya pencapaian tersebut membuat pemerintah berbangga diri. Tetapi dana tersebut seperti angka fiktif yang sama sekali tidak memberikan dampak signifikan guna mendongkrak pendidikan ke level yang lebih baik. Suara-suara kritikpun semakin pedas ditengah banyaknya kebijakan yang tidak mementingkan pendidikan secara esensial.
Beberapa tahun belakangan ini terkuak banyaknya kasus korupsi diantara staf-staf di instansi pendidikan. Namun kapitalisme pada dasarnya juga menyediakan hal ini. Krisis yang terjadi hari ini, membuat orang berlomba-lomba untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya agar hidupnya tetap terjamin. Sekalipun dana yang mengalir tersebut dihasilkan dari rakyat itu sendiri, tidak membuat para pelaku yang tidak beret dan bermoral tersebut berhenti melakukan praktik kotor yang menjadi headline utama masalah bangsa ini.
Ratusan seminar juga sosialisasi kebijakan pun sudah dilakukan demi memberantas korupsi di dunia pendidikan, tetapi ratusan milyar dana pendidikan pun tetap saja raib bersamaan dengan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru yang sangat memprihatikan. Para guru mungkin bisa menjadi teladan lebih tatkala memiliki etos kerja tinggi dengan bekerja atau berusaha sampingan, namun sebenarnya yang terjadi adalah kegagalan sistem dalam menjamin kehidupan manusia yang laik dan sahaja.
Nasionalisasi adalah jawabannya
Anggapan bahwa pendidikan telah menjadi komoditas dan hanya menghasilkan tenaga kerja baru di bawah kapitalisme hari ini tidak sepenuhnya salah. Kritik ini pun telah berlangsung lebih lama dari masalah yang kini kita ketahui bersama. kebijakan yang berpihak saja tidak cukup, dibutuhkan lebih dari apa yang disebut sebagai “adil”.
Kemapanan hari ini pada dasarnya telah memungkinkan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia dinasionalisasi. Ketika privatisasi dalam pendidikan kita ditiadakan, maka kebijakan akan dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan yang ada. Tidak ada lagi sekolah yang menghasilkan profit kecuali ia akan mengalir kembali untuk kemaslahatan pendidikan, termasuk bagi para guru honorer.**
Penulis: Zulfian Haris Yudha Pramuji
Pengajar Tahsin Gema Qurani