Swara Pendidikan (Tapos, Depok) – Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, terkait Program Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS) kembali mendapat sorotan. Kali ini, kritik disampaikan Ketua Forum Komunikasi Kepala SMK Swasta (FKK SMKS) Kota Depok, H. Uwoh Pramijaya, S.Pd.I.
“Kami sedikit keberatan terhadap kebijakan jalur PAPS dari sisi validitas. Justru yang masuk kategori PAPS itu banyak dari kalangan orang mampu,” ujar H. Uwoh saat ditemui jurnalis Swara Pendidikan di ruang kerjanya, Selasa (29/7/2025).
Menurutnya, banyak siswa yang awalnya telah mendaftar dan melunasi biaya pendidikan di sekolah swasta, namun kemudian mencabut berkas untuk berpindah ke sekolah negeri melalui jalur PAPS.
“Kebijakannya memang bagus untuk menekan angka putus sekolah. Tapi kenyataannya, program ini lebih banyak dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga mampu. Ini yang harus dievaluasi,” tegasnya.
Uwoh juga menyoroti lemahnya mekanisme verifikasi data dalam pelaksanaan program. Ia menyarankan agar visitasi ke rumah (home visit) benar-benar dilakukan secara akurat dan bukan sekadar formalitas.
“Kalau tidak ketat, program ini bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu,” ujarnya.
Meski mendukung tujuan mulia dari PAPS, ia menegaskan bahwa implementasi program harus didukung oleh sistem pendataan yang valid, transparansi proses, dan evaluasi kapasitas daya tampung sekolah.
“Jangan hanya sekadar kebijakan. Harus ada data akurat dan solusi solutif, terutama bagi sekolah swasta yang jumlah siswanya terus menurun. Di Depok, lebih dari 50 persen sekolah swasta mengalami penurunan jumlah siswa,” ungkapnya.
Dalam rapat koordinasi FKK SMKS Jawa Barat, lanjut Uwoh, pihaknya telah menyampaikan komitmen untuk terus memantau jalur PAPS.
“Kalau ditemukan penyimpangan, maka harus ada tindakan korektif,” tambahnya.
Ia juga mengungkapkan indikasi penyalahgunaan program oleh siswa yang sebenarnya mampu secara ekonomi. “Banyak siswa di tempat saya yang sudah lunas membayar, tapi setelah tahu ada PAPS, mereka cabut berkas. Ini menunjukkan bahwa mereka mampu,” katanya.
Meskipun belum semua sekolah menyampaikan data, dari 123 SMK swasta yang diminta, baru 50 persen yang memberikan laporan dampak kebijakan ini.
“Namun data itu cukup mewakili dan menunjukkan adanya pengaruh signifikan dari PAPS terhadap sekolah swasta,” jelasnya.
Lebih jauh, Uwoh menegaskan pentingnya pengakuan terhadap kontribusi sekolah swasta.
“Sebelum ada sekolah negeri, sekolah swasta sudah lebih dulu hadir dan ikut mencerdaskan anak bangsa. Tapi kini, sekolah swasta seolah termarjinalkan,” ujarnya.
Terkait arah kebijakan ke depan, FKK SMKS Depok mengikuti arahan dari FKK SMKS Jawa Barat. “Jika FKKSMA memilih diserahkan ke UPTN, kami di SMKS tidak. Kami menyatakan harus ada solusi terbaik bagi sekolah swasta,” ucapnya.
Ia juga menyoroti ketimpangan dalam bantuan pemerintah.
“Bantuan BPMU untuk sekolah swasta sangat kecil dibanding BOPD yang diterima sekolah negeri. Padahal, masyarakat harus tahu, bantuan itu tidak signifikan untuk operasional sekolah swasta,” tegasnya.
“Kalau pemerintah ingin sekolah swasta bisa gratis, ya samakan BOPD-nya dengan sekolah negeri. Bantu gaji guru, bangunan, dan sarana secara menyeluruh, jangan setengah-setengah,” pungkasnya.
Perlu diketahui bahwa Program PAPS (Pencegahan Anak Putus Sekolah) merupakan bagian dari Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Provinsi Jawa Barat tahun 2025. Program ini bertujuan untuk mencegah anak-anak putus sekolah akibat kendala ekonomi atau sosial, dan menjadi jalur afirmasi dalam proses penerimaan. PAPS difokuskan pada siswa yang berasal dari keluarga prasejahtera, panti asuhan, terdampak bencana, atau tidak terdaftar di dinas sosial. (Amr)