Swara Pendidikan (Depok) — Peristiwa seorang kepala sekolah yang menampar siswanya karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah baru-baru ini memantik diskusi panjang di kalangan pendidik dan masyarakat. Kasus tersebut, yang berujung pada laporan orang tua ke polisi serta aksi mogok belajar siswa, dinilai sebagai potret krisis nilai dan komunikasi di dunia pendidikan.
Anggota DPRD Kota Depok sekaligus Pembina Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Kota Depok, Dr. H. Bambang Sutopo, SEI, MM, menilai peristiwa itu seharusnya menjadi cermin reflektif, bukan sekadar persoalan hukum atau kedisiplinan semata.
“Tamparan itu bukan hanya menyentuh pipi siswa, tapi juga nurani kita sebagai bangsa pendidik. Ini menunjukkan krisis komunikasi dan keteladanan di antara guru, orang tua, dan anak,” ujar Dr. Bambang kepada Swara Pendidikan. Kamis (16/10/2025).
Menurutnya, keberhasilan pendidikan anak tidak bisa hanya disandarkan pada sekolah. Pendidikan, kata Bambang, merupakan hasil kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat — tiga pilar yang saling melengkapi dalam menanamkan nilai dan tanggung jawab moral.
“Sering kali, ketika muncul persoalan di sekolah, semua pihak bereaksi defensif. Padahal, pendidikan sejati membutuhkan ruang dialog, bukan ruang penghakiman,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa disiplin harus lahir dari cinta, bukan amarah. Guru memang wajib menegakkan aturan, tetapi cara mendidik harus berlandaskan kasih sayang.
“Ketegasan tanpa cinta melahirkan ketakutan, sedangkan cinta tanpa ketegasan menumbuhkan ketiadaan batas,” tulisnya.
Bambang juga mengingatkan peran orang tua agar tidak hanya menjadi pelindung, tetapi juga penuntun moral bagi anak. Ia menilai bahwa membela anak secara membabi buta tanpa refleksi dapat melemahkan karakter tanggung jawab anak itu sendiri.
Dalam pandangannya, sekolah perlu menjadi ruang dialog dan keteladanan. Kepala sekolah dan guru diharapkan tampil bukan hanya sebagai pemimpin administratif, tetapi juga sebagai panutan moral yang bisa menumbuhkan rasa hormat, bukan ketakutan.
Mengutip falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara, Bambang mengajak dunia pendidikan untuk kembali kepada nilai-nilai dasar:
- Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan memberi teladan),
- Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat), dan
- Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).
Nilai-nilai itu, katanya, adalah solusi jangka panjang bagi pendidikan Indonesia — bukan melalui hukuman keras, tetapi lewat keteladanan yang konsisten dan komunikasi yang sehat.
Sebagai penutup, Dr. Bambang menyerukan pentingnya membangun kembali kepercayaan dalam ekosistem pendidikan.
“Pendidikan sejati bukan untuk mencari siapa yang salah, tapi untuk menemukan jalan bersama agar semua menjadi lebih baik,” ungkapnya.
Melalui refleksi ini, Bambang berharap semua pihak — sekolah, orang tua, dan pemerintah — dapat bersinergi membangun pendidikan yang menumbuhkan karakter, kasih sayang, dan kebijaksanaan moral bagi generasi muda Indonesia.
Editor: gus JP