Menarik membaca dan melihat berita di media sosial tentang Bupati Pati, Sudewo, yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk desa dan perkotaan hingga 250%. Sang bupati bahkan menantang masyarakat untuk demo, dengan pernyataan, “Jangankan 5.000 orang, 50 ribu orang akan saya hadapi dan saya tidak akan mengubah keputusan saya.” Pernyataan ini tentu saja membuat masyarakat semakin marah, sekaligus memicu gelombang pembuktian terhadap tantangan tersebut.
Di era digital saat ini, langkah seorang pemimpin ibarat berjalan di atas pasir basah di tepi pantai—jejaknya akan selalu tertinggal, meskipun ombak waktu mencoba menghapusnya. Apalagi bagi seorang kepala daerah, setiap ucapan, keputusan, dan tindakan kini terekam, bukan hanya di arsip pemerintahan, tetapi juga di memori kolektif publik melalui jejak digital.
Dulu, politisi bisa mengandalkan ingatan publik yang mudah pudar. Skandal kecil bisa dilupakan seiring pergantian musim. Janji yang tak terpenuhi dapat tertutup oleh proyek-proyek baru. Namun kini, sekali sebuah video, foto, atau pernyataan muncul di media sosial, ia bisa kembali viral kapan saja—bahkan bertahun-tahun kemudian—hanya dengan satu ketikan di mesin pencari.
Bagi seorang kepala daerah, jejak digital ibarat dua sisi mata pisau. Sisi pertama: menjadi bukti kinerja, keberhasilan, dan komitmen yang menguatkan citra. Sisi kedua: menjadi rekaman janji yang tak ditepati, sikap yang berubah-ubah, atau kebijakan yang menuai kritik.
Fenomena inilah yang saya sebut sebagai karma politik di era modern. Bukan karma dalam pengertian mistis, tetapi konsekuensi logis dari akumulasi rekam jejak yang dinilai publik. Jika sebuah janji kampanye pernah diucapkan di hadapan kamera, publik berhak menagihnya. Jika seorang kepala daerah pernah mengunggah pernyataan mendukung suatu proyek, publik akan membandingkannya ketika kebijakan berubah di tengah jalan.
Janji politik seorang kepala daerah identik dengan janji-janji kampanye yang telah ditulis dan diumumkan saat masa kampanye—yang seharusnya direalisasikan ketika terpilih. Jika janji-janji manis tersebut tidak terwujud, konsekuensinya adalah hukuman politik dari warga pada periode berikutnya. Inilah yang saya maksud sebagai “karma politik”.
Fenomena ini nyata di panggung politik, baik lokal maupun nasional. Janji, sikap, dan kebijakan yang terekam di ruang digital menjadi cermin masa depan karier politik. Jejak digital tidak hanya menyimpan prestasi, tetapi juga rekam konflik, kontroversi, dan kontradiksi yang sewaktu-waktu dapat menjadi boomerang: menurunkan kepercayaan publik, memicu kekalahan di pemilu, atau meruntuhkan reputasi.
Fenomena karma politik ini penting menjadi kajian kritis bagi politisi, akademisi, aktivis, dan masyarakat luas, agar memahami bagaimana interaksi antara memori publik dan dampak kebijakan dapat membentuk nasib politik seorang pemimpin.
Semoga fenomena seperti ini tidak terjadi di Kota Depok yang kita cintai.**