Oleh : Titin Supriatin, M.Pd
Lirik:
Oh kenapa engkau terus berbohong
Dan kenapa engkau terus mengelak
Ya kenapa kau tak jujur padaku
Aku tahu kamu lagi berbohong
Penggalan lirik lagu dengan judul “Lagi Bohong” yang dinyanyikan oleh grup musik Marvells, mengajarkan kita bagaimana rasa hati ketika dibohongi.
Ada yang pernah bilang, sakit karena jatuh dari tangga masih lebih baik dari pada sakit karena dibohongi. Mungkin pernyataan ini belum tentu benar, tapi bagaimana pun, tidak ada orang yang mau dibohongi. Anda sendiri misalnya, bagaimana perasaan kita ketika harga makanan yang telah kita makan di sebuah warung yang diperkirakan harga rata-rata di setiap warung adalah Rp. 10.000,-, ternyata pada siang hari yang terik itu “ditembak” agar membayar Rp. 50.000,-, hanya karena kita dianggap orang yang baru pertama kali makan di warung tersebut? Demikian pula bagaimana perasaannya ketika orang yang sebelumnya dipercaya dan layak diandalkan dalam menyimpan rahasia-rahasia, terbukti membeberkannya kepada orang lain? Atau mungkin kita sendiri juga suka berbohong? Terpaksa atau untuk kebaikan tak apalah, mungkin itu alasan kita.
Cerita tentang kebohongan tak terelakkan lagi begitu banyak macamnya. Untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, seseorang bisa melakukan kebohongan, baik dengan melancarkan ungkapan kata-kata manis, cerita-cerita yang menarik, teori-teori yang popular, maupun dengan ekspresi yang memelas. Segala trik dilakukan untuk memperdayakan korban. Sebenarnya ada cara lain untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan selain dengan kebohongan, yaitu pemaksaan, disamping ada kejujuran. Namun kejujuran sudah bukan cara yang popular lagi.
Bagi orang yang sudah biasa berbohong, kebohongan bukan lagi sesuatu yang sulit dan spontanitas belaka. Ia merupakan sesuatu yang direncanakan. Pembohong seperti ini biasanya mempersiapkan lebih dulu taktik yang akan dilancarkannya. Tak masalah baginya menghabiskan waktu untuk merancang trik-trik, mengaitkan, menganalisis, dan mengevaluasi rencana-rencana bohongnya menjadi suatu strategi kebohongan yang sistematik. Pembohong kelas professional ini tidak akan berbohong kalau hasil kebohongannya hanya bernilai picisan.
Ada juga pembohong berbakat. Bagi kelas ini, berbohong merupakan sesuatu yang bersifat spontan. Tidak ada waktu khusus baginya untuk merancang konsep kebohongan. Ia berbohong hanya pada saat-saat tertentu saja. Dan biasanya hasil dari kebohongannya juga tak seberapa. Tidak seperti pembohong professional.
Kelas terakhir dari kalangan pembohong adalah pembohong pemula. Pembohong dalam kategori kelas ketiga ini lebih mudah dicurigai. Biasanya kebohongan yang dilakukan selalu gagal, karena mudah dibaca terlebih dahulu gelagatnya oleh calon korbannya, apalagi kalau calon korbannya sangat mengerti bahasa tubuh. Bagi pembohong kelas ketiga ini, saya menyarankan agar lebih giat berlatih untuk meningkatkan kualitas kebohongannya atau meninggalkan kebohongan sama sekali.
Setiap pembohong menyadari akibat yang terjadi dari kebohongannya dan penderitaan korban-korbannya. Ia sadar bahwa yang dilakukan itu tidak baik, tapi “dorongan” dari dalam dirinya untuk mengejar mimpi-mimpinya lebih menguasainya. Jika seseorang telah mulai berbohong, selanjutnya ia akan menciptakan kebohongan-kebohongan baru untuk menutupi kebohongan-kebohongan sebelumnya dan agar dirinya tetap disukai, dipercaya, dan dihormati orang-orang di sekitarnya.
Ada saatnya ia tak kuasa lagi berbohong, lalu ia berusaha berkata jujur. Hal ini dilakukan karena sudah tidak ada cara lain lagi untuk menutupi kebohongan-kebohongannya. “Kejujuran” terpaksa dilakukan untuk mempertahankan citra baiknya terhadap orang-orang di sekitarnya.
Kalau kita belajar dari fenomena kehidupan masyarakat, kebohongan sebenarnya tidak ada yang abadi. Ada saat di mana sebuah kebohongan akan tersingkap. Sebuah peribahasa yang cukup popular, “sedalam-dalamnya engkau mengubur bangkai, kelak akan tercium juga” mengisyaratkan hal itu. Pada saat pembohong dihadapkan pada kenyataan seperti itu, biasanya ia memilih beberapa alternative, pertama, memperlihatkan rasa penyesalan atau “kejujuran” yang lahir dari ruh kebohongan. Sebuah kejujuran dengan harapan untuk tetap dapat diterima dan dipercaya oleh orang-orang di sekitarnya. Kedua, menghilang dari tempat di mana ia sudah tak bisa lagi berbohong, dan mencari tempat baru untuk menciptakan “nada-nada kosong” baru. Alternative terakhir adalah, mengakui dengan sungguh-sungguh semua kebohongan yang telah dilakukan selama hidupnya. Kejujuran ini diungkapkan dengan sepenuh hati dan dengan penuh penyesalan. Pilihan terakhir ini biasanya dilakukan beberapa saat menjelang ajal dan diungkapkan untuk dirinya sendiri, dan (mungkin) TUHAN. **
Tentang penulis : Titin Supriatin,M.Pd. Kepala Sekolah SDN Ratujaya 1. Menyukai dunia literasi, karena dengan berliterasi dapat berbagi informasi dalam pengetahuan yang luas dan tanpa batas.