Bagaimana Mengembalikan Pembelajaran yang Bermakna Bagi Murid ? Gelombang tugas sekolah atau Pekerjaan Rumah (PR) yang berlebihan di sekolah-sekolah kini menghadapi tantangan ganda, krisis psikis siswa dan kemudahan instan dari teknologi Kecerdasan Buatan (AI) seperti ChatGPT. Ironisnya, alih-alih menjadi sarana penguatan materi, PR yang menumpuk justru berubah menjadi beban yang harus “dibereskan” dengan cara pintas, sering kali tanpa pemahaman.
Ketika Tugas Hanya Menjadi Formalitas
Fenomena ketergantungan pada AI dan aplikasi serupa untuk menyelesaikan tugas telah menjadi rahasia umum di kalangan pelajar. Survei menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mengakui menggunakan AI untuk membantu, bahkan ada yang mengaku hampir 90% tugasnya dikerjakan oleh alat cerdas tersebut.
Motivasinya sederhana yaitu dengan tugas yang banyak dan tenggat waktu yang ketat mendorong siswa (dan tak jarang orang tua yang turut membantu) untuk mencari jawaban cepat.
Dampaknya sangat nyata antara lain,
Hilangnya Pemahaman, Tugas selesai, nilai mungkin didapat, tetapi esensi belajar, yakni proses berpikir, menganalisis, dan membangun pengetahuan, terlewatkan.
Kecurangan Terselubung dengan Menggunakan AI untuk menghasilkan jawaban tanpa adaptasi merupakan bentuk plagiarisme teknologi yang mencederai integritas akademik.
Jumlah tugas yang menumpuk memicu stres, kecemasan, dan kelelahan, menggeser fokus anak dari perkembangan holistik yang menjadi beban psikis.
Kondisi ini semakin memperkuat urgensi dari kebijakan yang pernah disuarakan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) yang melarang sekolah membebani siswa dengan PR yang dibawa pulang. KDM menekankan bahwa semua tugas dan pembelajaran harus dituntaskan di sekolah agar rumah menjadi tempat istirahat, interaksi keluarga, dan pengembangan karakter.
Amanat ini sejalan dengan upaya mewujudkan generasi Gapura Panca Waluya yang meliputi karakter cageur (sehat), bageur (berbudi), bener (jujur), pinter (cerdas), dan singer (terampil). Pemberian PR yang berlebihan justru bertentangan dengan spirit mencetak generasi yang sehat secara mental dan memiliki waktu untuk kegiatan positif lainnya.
Menghadapi tantangan ini, peran guru sebagai fasilitator dan inovator pembelajaran menjadi sangat krusial. Tugas guru bukan sekadar memberikan link soal atau mengulang materi, melainkan merancang pengalaman belajar yang efektif, menyenangkan, dan tuntas di kelas.
Beberapa Metode Pembelajaran Efektif dan Menyenangkan:
Pembelajaran Kontekstual Menghubungkan materi dengan kehidupan nyata siswa, misalnya menghitung luas dengan denah rumah. Materi lebih bermakna dan relevan, memicu rasa ingin tahu.
Pembelajaran Kooperatif (Jigsaw) Siswa bekerja dalam kelompok dan saling mengajarkan bagian materi yang berbeda. Melatih kolaborasi, komunikasi, dan tanggung jawab individu.
Inquiry/Discovery Learning Mendorong siswa menyelidiki dan menemukan pengetahuan sendiri melalui eksperimen atau studi kasus. Mengasah berpikir kritis, analisis, dan kemampuan memecahkan masalah.
Permainan dan Simulasi (Role Playing) Mengemas materi dalam bentuk permainan atau peran agar suasana kelas hidup.
Dengan mengadopsi metode-metode ini, tujuan evaluasi akademik tidak lagi terfokus pada jumlah PR yang dikumpulkan, tetapi pada penilaian autentik yang mengukur kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif siswa—hal-hal yang tidak bisa digantikan oleh ChatGPT.
Tantangan AI dan PR yang menumpuk harus dilihat sebagai momentum bagi dunia pendidikan di Jawa Barat untuk bertransformasi. Saatnya guru mengakhiri praktik “memindahkan” beban belajar dari sekolah ke rumah dan mulai mengubah kelas menjadi laboratorium pemahaman yang menyenangkan, sehingga setiap jam pelajaran memberikan bekal kompetensi yang nyata bagi masa depan anak. **



