Indonesia berada di kawasan cincin api, sebuah wilayah yang akrab dengan gempa, banjir, longsor, dan berbagai krisis alam lainnya. Hampir setiap tahun, ada saja daerah yang terdampak. Beberapa waktu terakhir, bencana di Sumatra kembali memenuhi linimasa media sosial dengan ungkapan duka dan tagar ##PrayForSumatera. Di tengah kepanikan dan kebutuhan informasi yang mendesak, masyarakat sering kali dihadapkan pada kabar yang tumpang tindih. Ada yang benar, ada yang tidak pasti, dan ada yang sekadar menambah keresahan.
Ketika keadaan genting, publik mencari sosok yang bisa memberi penjelasan yang jernih dan menenangkan. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB yang menjabat pada tahun 2010 – 2019, dikenal sebagai figur kunci dalam komunikasi bencana di Indonesia. Kepemimpinannya terlihat dari kemampuannya menyampaikan informasi secara cepat, akurat, dan transparan, sehingga mampu meredam kepanikan publik, menekan hoaks, dan memperkuat koordinasi antara pemerintah, media, dan relawan. Dalam berbagai bencana besar seperti erupsi Merapi, gempa Lombok, dan tsunami Palu, kehadirannya sejak awal krisis membantu mengarahkan proses evakuasi, distribusi bantuan, serta pengambilan keputusan di lapangan. Dengan memberikan data terbaru dan penjelasan yang lugas, Sutopo menjadi rujukan utama masyarakat di tengah situasi yang berubah cepat, dan kehadirannya terbukti membuat penanganan bencana berjalan lebih terarah dibanding ketika ruang informasi dibiarkan dipenuhi spekulasi.
Penanganan bencana di Indonesia selalu menuntut respons yang cepat, jelas, dan terkoordinasi. Namun dalam peristiwa bencana di Sumatra baru-baru ini, kita justru melihat betapa lambatnya respons pemerintah dalam mengambil langkah krisis. Status bencana tidak segera diumumkan, koordinasi antara pusat dan daerah berjalan tersendat, dan masyarakat harus mencari informasi sendiri di tengah kondisi yang berubah setiap jam. Ketika komunikasi pemerintah tidak berjalan, publik akhirnya bergerak sendiri mencari informasi. Ada yang mengandalkan update warga di lapangan, ada yang mengutip potongan video dari media sosial, dan tidak sedikit yang tersesat oleh hoaks. Situasi yang seharusnya diarahkan oleh pemerintah malah dipenuhi oleh spekulasi dan kecemasan.
Di titik seperti ini, kita melihat betapa pentingnya peran pemimpin yang bisa muncul di depan publik, memberi kejelasan, dan menenangkan keadaan. Kepemimpinan dalam bencana tidak bisa berhenti pada meja rapat semata atau sekadar mengikuti prosedur administratif. Dibutuhkan pemimpin yang tampil di depan, yang mau menjelaskan situasi apa adanya, dan yang memberi arah ketika publik merasa kehilangan pegangan. Sayangnya, pada bencana Sumatera ini, ruang itu terasa kosong. Tidak ada figur yang benar-benar tampil sebagai jembatan informasi. Kekosongan itu sangat terasa dan membuat kita sadar betapa krusialnya kepemimpinan komunikasi saat krisis terjadi.
Kekosongan inilah yang membuat ingatan publik kembali tertuju pada sosok Sutopo. Beliau adalah contoh nyata bagaimana kepemimpinan krisis seharusnya bekerja. Beliau tidak hanya tampil di kamera, tetapi juga mampu membaca situasi dengan cepat dan mengambil keputusan di tengah ketidakpastian. Ketika gempa Lombok yang terjadi 2018, misalnya informasi yang masuk ke BNPP berubah setiap menit. Namun Sutopo tetap hadir di hadapan publik dengan data yang paling akurat pada waktu itu. Beliau tidak menunggu laporan sempurna, baginya menyampaikan informasi tepat waktu jauh lebih penting untuk mencegah kepanikan. Hal serupa juga terlihat saat Palu dilanda gempa dan tsunami. Di tengah kekacauan informasi Sutopo tetap menjadi sumber utama yang masyarakat percayai. Bahkan ketika beliau berjuang melawan kanker, beliau tetap menjalankan konferensi pers di hadapan publik. Situational awareness seperti ini tidak semua pemimpin memilikinya, kemampuan memahami konteks bencana, memahami apa yang dibutuhkan publik dan mengambil langkah cepat. Pada situasi sumatra kini, kita justru menyaksikan bagaimana ketiadaan figur seperti itu membuat publik kebingungan. Informasi dasar seperti jumlah korban, status banjir, atau titik-titik paling terdampak pun datang terlambat.
Selain kepemimpinan krisis, Sutopo juga menunjukan bagaimana kepemimpinan etis itu bekerja. Banyak pejabat yang enggan menyampaikan data korban secara terbuka karena takut dianggap gagal menangani bencana, tetapi tidak bagi Sutopo. Beliau selalu menegaskan bahwa publik berhak tahu kondisi yang sebenarnya. Setiap kali menyampaikan angka sementara, beliau menjelaskan bahwa “Ini data sementara, nanti akan kami perbarui.” Transparansi seperti inilah yang membangun kepercayaan publik. Di situasi Sumatra kini, sikap seperti ini justru sangat dirindukan, yang terlihat justru kecenderungan menunda informasi dan memberikan pernyataan yang terlalu umum tanpa angka yang pasti. Sikap pemerintah yang seperti ini justru hanya memperpanjangan ketidakpastian dan menurunkan legitimasi pemerintah di mata publik yang sedang membutuhkan kepastian.
Sutopo juga menunjukan bagaimana kepemimpinan kolaboratif bekerja. Beliau bekerja sama dengan media, relawan, pemda, BNPB daerah sampai lembaga internasional. Dalam situasi krisis, beliau memastikan semua pihak bekerja dengan ritme yang sama. Ketika ada informasi simpang siur, beliau menjadi penengah yang menegaskan versi data yang paling valid. Kolaborasi seperti ini sangat dibutuhkan, terutama pada kondisi bencana di Sumatra saat ini. Tetapi, pola koordinasi ini justru tidak terlihat. Kita seperti kembali pada masa ketika satu instansi bicara A, yang lain bicara B, dan masyarakat harus menafsirkan sendiri mana yang benar.
Pola kepemimpinan seperti Sutopo inilah yang sebenarnya relevan dan dibutuhkan oleh pemimpin publik hari ini. Di tengah bencana Sumatera yang terjadi, kehadiran pemimpin yang transparan, empatik dan cepat mengambil keputusan bukan lagi sekadar nilai tambah, tetapi suatu keharusan. Apalagi ketika pola respons pemerintah akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan bergerak setelah tekanan publik muncul terlebih dahulu seolah menunggu linimasa ramai, menunggu video banjir dan suara warga beredar luas, atau menunggu tagar #PrayForSumatera menjadi trending lebih dulu sebelum pejabat turun ke lapangan. Padahal, logika kebencanaan tidak pernah berjalan secepat media sosial.Yang dibutuhkan masyarakat justru kehadiran di menit-menit awal, saat situasi masih kacau dan informasi belum jelas dan ketidakhadiran pemimpin di fase itu membuat arah penanganan tidak memiliki pusat gravitasi yang kuat.
Pada akhirnya, tidak ada sosok yang bisa benar-benar menggantikan Sutopo, tetapi nilai kepemimpinan yang ia tinggalkan layak menjadi acuan bagi pemimpin publik hari ini. Bencana Sumatera memperlihatkan bahwa masyarakat tidak menunggu pernyataan formal mereka membutuhkan figur yang mendampingi sejak awal, menyampaikan informasi apa adanya, dan memberi pegangan ketika situasi masih kacau. Sutopo menunjukkan bahwa kepemimpinan krisis lahir dari keberanian untuk tampil di depan publik, mengambil keputusan cepat, dan menjaga kepercayaan lewat transparansi serta empati. Jika pemerintah kembali menempatkan nilai-nilai ini sebagai dasar penanganan bencana, ada peluang besar bahwa respons ke depan dapat lebih terarah, lebih manusiawi, dan lebih melindungi masyarakat.
Penulis: Dewi Nur Afiyah Septiani & Khaisya Santi
Mahasiswi Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia Semester 3



