Di era digital yang serba cepat ini, kita sebagai orang tua dituntut untuk berpikir cerdas dan bijak. Gempuran teknologi yang terus berkembang harus diimbangi dengan pendekatan yang tepat agar tidak mengganggu proses tumbuh kembang anak, baik dari sisi fisik, emosional, maupun spiritual.
Sebagai umat Islam, kita telah diberikan panduan agung dalam Al-Qur’an mengenai pentingnya menjaga diri dan keluarga dari hal-hal yang membahayakan, termasuk dampak negatif dari teknologi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
> يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ…
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”
(QS. At-Tahrim: 6)
Ayat ini merupakan pengingat bagi setiap orang tua untuk tidak hanya mencukupi kebutuhan duniawi anak-anaknya, tetapi juga memastikan mereka tumbuh dalam lingkungan yang sehat secara ruhiyah. Salah satu cara mendasar untuk melindungi dan membina mereka adalah melalui literasi—yakni kemampuan membaca, menulis, memahami, dan berpikir kritis—yang diselaraskan dengan nilai-nilai Islam.
Antara Teknologi, Literasi, dan Kedekatan Emosional
Teknologi komunikasi sering disebut sebagai alat yang dapat mendekatkan yang jauh, namun di saat bersamaan juga bisa menjauhkan yang dekat. Tanpa kendali, gadget bisa menciptakan jurang antara orang tua dan anak. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi yang hangat, dialog yang aktif, serta aktivitas bersama yang membangun kedekatan, seperti membaca buku, menulis jurnal, atau berdiskusi ringan seputar nilai-nilai kehidupan.
Komunikasi dalam keluarga yang dilandasi cinta, ilmu, dan adab, merupakan fondasi penting dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Dan semua itu tidak terlepas dari peran literasi dalam kehidupan rumah tangga.
Literasi dalam Perspektif Islam
Islam adalah agama ilmu dan peradaban. Wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah ﷺ bukan perintah untuk berperang, berdagang, atau membangun kekuasaan, melainkan perintah untuk membaca:
> اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ، خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ، الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ، عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. Al-‘Alaq: 1–5)
Ayat ini menjelaskan bahwa membaca dan menulis adalah perintah langsung dari Allah. Lebih dari sekadar aktivitas akademik, literasi merupakan bagian dari ibadah dan sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Sejalan dengan sabda Nabi ﷺ:
“Likulli marhalatin mutaqollabatuha, likulli marhalatin muqtadhayyatuha, wa likulli marhalatin rijaluha.”
“Setiap masa ada tantangannya, setiap masa ada tuntutannya, dan setiap masa ada orang-orangnya.”
Artinya, kita sebagai orang tua harus menjadi bagian dari solusi zaman. Kita harus siap menjadi “rijaluha”—para pelaku sejarah—yang membimbing anak-anak agar mampu menghadapi tantangan zaman dengan bekal iman dan ilmu.
Menumbuhkan Cinta Literasi Sejak Dini
Dengan pendekatan yang penuh cinta, kita bisa menumbuhkan kebiasaan literasi pada anak sejak dini. Cukup dengan membaca cerita sebelum tidur, mengajak mereka menulis pengalaman harian, atau berdiskusi ringan tentang buku yang mereka baca. Hal-hal sederhana ini bisa mempererat hubungan orang tua dan anak.
Menulis adalah cara mengekspresikan pikiran, merekam ilmu, dan menebar kebaikan. Jika anak-anak tumbuh dengan mencintai ilmu dan gemar menulis, maka insyaAllah mereka akan menjadi bagian dari penggerak dakwah bil qalam—menyampaikan nilai-nilai Islam melalui tulisan yang mencerahkan.
Bayangkan betapa indahnya jika buah hati kita kelak menjadi penulis buku Islami, penggerak literasi Qurani, atau jurnalis dakwah yang menyebarkan nilai kebaikan ke seluruh penjuru dunia. ***
Editor : NJ Saputra




