Dalam dinamisasi kurikulum pendidikan dasar Indonesia membawa segenap satuan pendidikan pada terselenggaranya Kurikulum 2013. Dalam implementasinya, kegiatan pembelajaran menekankan pada pendekatan kinerja ilmiah atau scientific approach. Melalui pendekatan ini, pendidik membantu memfasilitasi peserta didik pada kegiatan 5M yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan data, melakukan dan mengkomunikasikan. Berbagai metode pun banyak dikembangkan untuk menuju optimalisasi dalam penerapan 5M tersebut. Melalui keigatan 5M diharapkan peserta didik lebih mandiri dalam belajar sementara pendidik berperan sebagai fasilitator, motivator, hingga inspirator. Pembiasaan pola pembelajaran ini diharapkan membentuk peserta didik yang kreatif dan inovatif dalam belajar.
Penekanan tepat kiranya kalau materi Kinerja Ilmiah diletakkan di awal pembelajaran. Pada pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, peserta didik menempuh materi ini pada bab pertama Kelas VII semester ganjil pada Objek IPA dan Pengamatannya. Pada materi Kinerja Ilmiah, peserta didik diarahkan melakukan penyelidikan sederhana. Peserta didik dibimbing untuk mengenali permasalahan-permasalahan di sekitar.
Melalui metode ilmiah, penyelidikan sederhana oleh peserta didik dilaksanakan tahap demi tahap secara berurutan dan sistematis. Pendidik selanjutnya membimbing peserta didik dalam perumuskan masalah, pengumpulkan data, pengajuan hipotesis atau dugaan awal, pelaksanakan eksperimen, baru kemudian penarikan kesimpulan. Melalui tahapan-tahapan tersebut, diharapkan peserta didik akan memiliki ketrampilan proses dalam mengamati, mengklasifikasikan, merancang eksperimen, menafsirkan data menganalisis, hingga memprediksi dan membuat kesimpulan.
Tradisi kinerja ilmiah yang dikembangkan sekolah diharapkan melatih peserta didik untuk senantiasa teliti atau cermat, jujur, bertanggung jawab, mencintai kebenaran, dan menyajikan data apa adanya atau objektif. Dengan demikian, peserta didik lebih terkondisikan pada suasana yang optimis serta penuh rasa ingin tahu sehingga semakin aktif dalam rangkaian proses belajar. Selanjutnya, pengetahuan-pengetahuan tidak dibangun hanya dari dalam ruang kelas. Lebih dari itu, peserta didik semakin tertantang untuk terlibat aktif mencari informasi baru di luar kelas dan membangun pemahaman-pemahanam baru.
Upaya Pendidik
Bagaimana membangun ruh dalam proses belajar sangat ditentukan oleh upaya pendidik dalam membangun strategi belajar. Mengawali langkah mengkondisikan peserta didik bereksplorasi dalam serangkaian metode ilmiah bisa dimulai diantaranya dengan hal hal berikut;
- Menyampaikan tujuan pembelajaran : Diperlukan kemampuan pendidik untuk bisa menekankan bahwa tujuan pembelajaran itu penting. Tujuan pembelajaran menggambarkan tentang pengetahuan dan atau keterampilan yang harus dikuasai peserta didik
- Menstimulasi dengan berbagai penemuan : Keinginan kuat dan semangat meneliti perlu ditumbuhkan oleh pendidik sedini mungkin di awal proses belajar. Pendidik bisa menstimulasi siswa dengan menyuguhkan berbagai penelitian yang telah menjadikan peradaban semakin maju dan berkembang. Banyak penemuan telah memberikan sumbangan berharga bagi kesejahteraan manusia.
- Menghadirkan sosok ilmuwan di dalam kelas : Karakter para ilmuwuan di masa klasik bisa menjadi inspirasi bagi peserta didik. Seorang pendidik bisa mengenalkan seorang ilmuwan tiap satu bab. Peserta didik diarahkan untuk mencari informasi mengenai biografi singkat satu orang ilmuwan tertentu yang telah disepakati. Fokus saja pada satu tokoh dan digali seluk beluk kehidupannya terutama dalam kontribusinya bagi dunia. Secara menyeluruh peserta didik di dalam kelas terstimulasi untuk banyak membicarakan tokoh tersebut.
Melalui pentradisian kinerja ilmiah, ranah kemampuan intelektual peserta didik semakin terlatih pada high order thinking. Sebagaimana dalam hierarkhi Taksonomi Bloom, proses belajar dirancang pada tiga ranah pokok; 1) ranah kognitif, 2) ranah psikomotorik, dan 3) ranah afektif. Pada ranah kognitif, level-level ini biasa dikenal dengan C1, C2, dan seterusnya hinga C6. Anderson Krathwohl, seorang murid Bloom juga telah sedikit merevisi level hierarkhi ranah kemampuan berpikir dari yang semula kata benda direvisi menjadi kata kerja. Level-level tersebut antara lain; a) remembering (mengingat), semula knowledge; b) understanding (memahami), semula comprehension; c) applying (menerapkan), semula application; d) analyzing (menganalisis, mengurai), semula analysis; d) evaluating (menilai), semula synthesis; e) creating (mencipta), semula evaluation. Keenam level dalam taksonomi tersebut sangat mungkin tercapai dalam satu rangkaian metode ilmiah pada tiap-tiap pembahasan.
Banyak lembaga sekolah berupaya menjaring bakat meneliti peserta didik dengan menyelenggarakan ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR). Tentu hal ini baik. Namun dalam membangun budaya yang dampaknya secara menyeluruh bisa dirasakan oleh setiap peserta didik di sekolah semestinya upaya tersebut mampu bersinergi dalam setiap proses pembelajaran di kelas.
Pada laporan PISA (Programme for International Student Assesment) pada tahun 2015 posisi literasi sains peserta didik Indonesia masih rendah yaitu peringkat ke 69 dari 76 negara. Dalam laporan lainnya Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) Indonesia menempati peringkat ke 36 dari 49 negara. Sebuah catatan yang bertajuk ’Developing A Measure of Scientific Literacy For Middle School Students’ dikemukakan oleh Fives dkk (2014) dalam sebuah Jurnal Pendidikan Sains mengungkapkan bahwa berpikir dan bekerja secara ilmiah (scientific thinking and doing) merupakan aspek penting dalam mengukur kemampuan literasi sains. Dengan demikian, pembiasaan penerapan kinerja ilmiah akan sangat menunjang dalam meningkatkan kemampuan literasi sains. Rendahnya literasi sains berbanding lurus dengan masih rendahnya budaya riset di lembaga sekolah.
Sebuah penelitian yang berjudul ‘Profil Kemampuan Literasi Sains Siswa SMA Berdasarkan Instrumen Scientific Literacy Assesments’ (Diana dkk, 2015) melaporkan bahwa rendahnya kemampuan literasi sains dikarenakan pembelajaran IPA di sekolah (sekalipun sudah dengan kurikulum 2013) termasuk asesmennya lebih dominan pada konten materi pelajaran. Justru dengan pembiasaan penerapan cara berpikir ilmiah dalam kehidupan sehari-hari (konteks non akademik) akan mampu meningkatkan kemampuan literasi sains. Pada ranah kognitif, kemampuan peserta didik berpikir dan bekerja secara ilmiah masih kurang. Dalam upaya meningkatkan kemampuan literasi sains, peneliti menyarankan agar para pendidik sebaiknya lebih banyak membelajarkan materi ajar melalui eksperimen sehingga mampu merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) dan bersifat konstekstual. Dengan demikian sangat penting membangun budaya riset bagi institusi pendidikan dasar sekalipun.
*Penulis : Amri Khoiriyah, M.Pd, Guru IPA SMPN 10 Depok dan Kandidat Doktor bidang Ekologi pada SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta