Tahun 2025 akan dikenang dalam catatan sejarah Indonesia sebagai tahun yang penuh dengan ujian berat, mulai dari gejolak di jalanan hingga tangisan di lereng-lereng pegunungan Sumatra. Memasuki gerbang 2026, bangsa ini berdiri di persimpangan jalan antara kepedihan masa lalu dan harapan untuk bangkit kembali. Refleksi atas peristiwa sepanjang 2025 bukan sekadar pengingat, melainkan kompas untuk memperbaiki langkah ke depan.
Luka Demokrasi dan Krisis Empati
Perjalanan 2025 dimulai dengan guncangan ekonomi bagi masyarakat kecil melalui pemberlakuan PPN 12 persen yang memicu aksi “Dark Indonesia” pada Februari. Namun, puncak ketegangan politik terjadi pada Agustus hingga September, ketika publik dihadapkan pada kontradiksi yang menyakitkan. Di saat rakyat berjuang menghadapi biaya hidup yang meningkat, kabar mengenai tunjangan perumahan anggota DPR sebesar Rp50 juta per bulan serta video para legislator yang berjoget di tengah sidang memicu kemarahan kolektif.
Puncak dari luka politik ini adalah Tragedi Pejompongan pada 28 Agustus 2025. Kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang terlindas kendaraan taktis saat terjadi unjuk rasa, menjadi simbol kelam dari kebuntuan komunikasi antara penguasa dan rakyat. Peristiwa ini memaksa partai-partai besar menonaktifkan sejumlah kadernya dan mendorong Presiden PrabowoSubianto untuk mengevaluasi fasilitas legislatif demi meredam gejolak.
Bencana Sumatra: Peringatan dari Alam
Menjelang akhir tahun, duka berpindah ke Pulau Sumatra. Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, hingga Sumatra Barat mencatatkan angka kematian yang memilukan, mencapai 1.135 korban jiwa hingga 25 Desember 2025.Bencana ini disebut sebagai yang paling mematikan sejak tahun 2018.
Namun, refleksi terdalam bukan hanya pada curah hujan ekstrem, melainkan pada kerusakan ekologis yang terjadi secara sistematis. Para ahli menyebut bencana ini sebagai “risiko yang diproduksi” akibat deforestasi dan alih fungsi lahan di hulu sungai.Kerugian ekonomi yang mencapai Rp68,67 triliun menjadi harga mahal yang harus dibayar akibat kebijakan pembangunan yang abai terhadap daya dukung lingkungan.
Perubahan Otoritas dan Arah Ekonomi
Di tengah krisis tersebut, stabilitas ekonomi Indonesia ikut diuji dengan pencopotan Sri Mulyani Indrawati dari jabatan Menteri Keuangan pada awal September 2025.Langkah ini sempat membuat pasar modal tersentak dan IHSG anjlok karena hilangnya figur yang dianggap sebagai penjaga gawang fiskal.Kini, di bawah kendali PurbayaYudhi Sadewa, pemerintah memikul beban berat untuk membiayai program sosial besar tanpa memperlebar defisit anggaran yang mengkhawatirkan.
Menuju 2026: Mengobati dan Memperbaiki
Presiden Prabowo dalam pesan akhir tahunnya mengajak bangsa Indonesia untuk menjadikan momen ini sebagai titik balik untuk bangkit bersama.Pemerintah telah merespons duka Sumatra dengan mulai membangun ribuan hunian tetap dan memberikan santunan bagi para korban. Selain itu, optimisme baru muncul dengan rencana peningkatan anggaran lingkungan hidup sebesar 29 persen pada tahun 2026 untuk mengendalikan perubahan iklim dan memperbaiki tata kelola sampah.
Mengobati luka bangsa berarti memulihkan kepercayaan publik melalui transparansi anggaran dan etika politik yang lebih humanis.Perbaiki langkah berarti tidak lagi menutup mata terhadap sains dan kelestarian alam demi pertumbuhan ekonomi sesaat.Selamat Tahun Baru 2026, Indonesia. Mari melangkah dengan lebih bijak, lebih empati, dan lebih hijau. ***
Luwuk, 26/12/2025




