Kasus ledakan bom rakitan yang mengguncang Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 72 Jakarta pada tanggal 7 November 2025 menandai titik berhenti yang serius dalam ruang pendidikan. Ketika sebuah institusi yang semestinya melindungi anak-anak menjadi lokasi terjadinya aksi kekerasan, maka bukan hanya aspek keselamatan yang terancam, tetapi juga kepercayaan publik terhadap fungsi sekolah sebagai lingkungan aman. Kejadian ini bukan sekadar ancaman, tetapi juga persoalan hukum kompleks yang menyentuh ranah perlindungan anak, pertanggungjawaban pidana, serta tanggung jawab institusi pendidikan dan negara.
Dari segi hukum pidana, sangat jelas bahwa tindakan meledakkan bom di dalam masjid sekolah saat salat Jumat berlangsung memenuhi unsur perbuatan yang membahayakan nyawa dan melanggar hukum. Aspek pidana seperti penggunaan bahan peledak, pembuatan senjata rakitan, dan melakukan tindakan bersama yang mengancam keselamatan umum sangat relevan untuk dikenakan secara tegas. Insiden ini kemudian menimbulkan pertanyaan penting tentang apakah peristiwa ini bisa dikategorikan sebagai aksi terorisme atau bukan. Pihak kepolisian menyatakan bahwa hingga saat ini belum dapat dikategorikan sebagai aksi terorisme terstruktur, meskipun ada indikasi inspirasi dari konten ekstremistis di internet yang diakses oleh pelaku. Dari perspektif hukum, jika terbukti adanya unsur “tujuan” yang sistematis dan keterlibatan jaringan, maka pelaku dapat dikenakan aturan tindak pidana terorisme yang memiliki ancaman hukuman lebih besar. Namun bila hanya aksi individual dan tanpa jaringan, maka penerapan tindak pidana umum dengan bahan peledak tetap sah yang dalam konteks ini sudah cukup serius.
Sisi lain yang tak kalah penting adalah perlindungan anak dan tata kelola sekolah. Sekolah memiliki kewajiban sebagai lingkungan pembelajaran aman dan inklusif termasuk melakukan identifikasi dini terhadap potensi kekerasan, tekanan psikologis, atau kondisi anak yang rentan. Berdasarkan informasi yang didapat, pelaku diduga memiliki latar psikologis yang dipengaruhi perundungan (bullying), isolasi sosial, dan konten kekerasan yang diaksesnya. Maka dari itu, sekolah, orang tua, dan pemerintah memiliki tanggung jawab bersama untuk pencegahan, bukan sekadar pasca-kejadian. Negara melalui sistem pendidikan dan pengawasan dapat dikatakan punya kewajiban dan hak untuk melindungi anak di bawah umur dari risiko kekerasan, dalam kerangka hak asasi dan perlindungan anak.
Tanggung jawab institusi pendidikan dan pemerintah daerah juga bisa dilihat dari perspektif administratif dan tata kelola. Kondisi di mana siswa sanggup membawa dan menggunakan bahan peledak dalam lingkungan sekolah menimbulkan pertanyaan tentang standar pengamanan, pemeriksaan, pembinaan siswa, serta mekanisme pelaporan dan intervensi terhadap siswa bermasalah. Jika ditemukan bahwa sekolah atau pihak terkait lalai dalam pengawasan dan pembinaan, maka selain sanksi pidana terhadap pelaku, bisa pula muncul tanggung jawab moral dan publik bagi institusi yang diasuh. Meskipun secara hukum formal, sekolah bukan subjek pidana seperti pelaku, namun reputasi, akuntabilitas dan upaya perbaikan menjadi bagian integral dari pemulihan kepercayaan.
Di titik ini, Langkah ke depan yang harus dilakukan sangat krusial. Pertama, proses penyidikan harus dilaksanakan dengan transparan dan segera mengungkap fakta motif, jaringan, akses konten ekstremisme, peran orang dewasa atau pihak luar jika ada. Kedua, sekolah dan pemerintah daerah perlu memperkuat sistem deteksi dan pencegahan seperti screening psikologis siswa, mekanisme pelaporan bullying, pembinaan literasi digital terhadap bahaya konten radikal. Ketiga, korban harus mendapatkan pendampingan psikologis profesional agar trauma tidak berkembang menjadi beban jangka panjang. Terakhir, birokrasi sekolah wajib mengevaluasi kembali protokol keamanan, termasuk akses gerbang sekolah, pemeriksaan barang bawaan, dan koordinasi dengan aparat keamanan.
Sebagai penutup, insiden di SMAN 72 Jakarta adalah peringatan keras bahwa pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan nilai akademik, tetapi juga soal keamanan, perlindungan hak anak, dan integritas institusi. Ketika ruang sekolah gagal menjalankan fungsi dasarnya sebagai tempat aman untuk tumbuh dan belajar, hukum menjadi instrumen penting tidak hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk memperbaiki sistem. Kasus ini harus menjadi titik balik agar masyarakat, sekolah, dan pemerintah bersama membangun budaya sekolah yang aman, responsif, dan humanis yang tidak membiarkan kekerasan menemukan celah dalam bangku pendidikan.**


