Tanggal 28 Oktober 1928 bukan sekadar titik sejarah, tetapi sebuah ledakan kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Di tengah keterjajahan dan keterpecahan, sekelompok anak muda dari berbagai penjuru nusantara berdiri tegak menyatakan tekad yang abadi, “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa — Indonesia.”
Sumpah Pemuda bukan hanya ikrar, melainkan api perjuangan intelektual dan moral, yang lahir dari keberanian melampaui sekat suku, agama, dan daerah. Dari ruang kongres pemuda di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta itu, bergemalah suara masa depan: bahwa kemerdekaan bukan utopia, melainkan keniscayaan yang diperjuangkan dengan ilmu, solidaritas, dan pengorbanan.
Semangat yang Kian Relevan
Kini, 97 tahun telah berlalu. Dunia berubah, teknologi berlari, peradaban berputar cepat. Namun semangat Sumpah Pemuda justru semakin relevan.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan disrupsi digital, anak-anak muda kembali diuji:
Apakah kita tetap memiliki cinta tanah air di tengah budaya instan dan serba asing?
Apakah kita masih berani menjaga persatuan di tengah polarisasi media sosial?
Apakah kita masih menjunjung bahasa Indonesia sebagai perekat identitas nasional, di tengah kebanggaan palsu akan bahasa asing?
Jawaban atas semua itu terletak pada jiwa kepemudaan yang sejati: semangat untuk berbuat, berkarya, dan berkontribusi bagi bangsa — bukan sekadar bersuara di ruang maya, tetapi menghadirkan karya nyata di dunia nyata.
Pemuda dan Rentetan Sejarah Kemerdekaan
Tak dapat dipungkiri, anak-anak muda selalu menjadi motor sejarah.
Dari Budi Utomo (1908) hingga Kongres Pemuda (1928),
Dari Proklamasi Kemerdekaan (1945) hingga Reformasi (1998), selalu ada keberanian anak muda yang menyalakan api perubahan.
Pemuda-lah yang menggagas ide, menulis manifesto, memimpin barisan, dan menolak tunduk pada keadaan. Dari Soekarno yang muda, Hatta yang idealis, Wahid Hasyim yang religius, hingga Amir Sjarifuddin yang kritis — semuanya adalah potret bagaimana energi muda menjadi mata air perjuangan bangsa.
Saatnya Pemuda Menulis Sejarah Baru
Kini, panggilan sejarah itu datang lagi.
Bangsa kita butuh pemuda-pemudi baru yang menulis sejarah dengan tinta digital, dengan karya inovatif, dengan gagasan cemerlang, dengan moral yang kokoh, dan dengan kepedulian sosial yang tulus.
Mereka yang tak sekadar mencari popularitas, tetapi makna dan pengabdian.
Pemuda hari ini harus menjadi pencipta solusi, bukan pengeluh keadaan;
menjadi perekat bangsa, bukan penyebar kebencian;
menjadi pelopor perubahan, bukan penonton zaman.
Menatap 100 Tahun Sumpah Pemuda (2028)
Tiga tahun lagi, kita akan memperingati seabad Sumpah Pemuda.
Pertanyaannya: warisan apa yang akan kita tinggalkan?
Apakah semangat itu hanya menjadi seremonial tahunan, atau benar-benar menjadi roh perjuangan generasi emas Indonesia 2045?
Mari kita hidupkan kembali ruh persatuan dan semangat kebangsaan di ruang digital, di sekolah dan kampus, di komunitas dan parlemen, di dunia usaha dan pelayanan publik.
Karena Sumpah Pemuda bukan hanya milik masa lalu, ia adalah kompas moral dan peta jalan masa depan bangsa.
“Selamat Hari Sumpah Pemuda ke-97.”
Dari para pemuda 1928 yang menyalakan api, kepada pemuda 2025 yang menjaga nyalanya.
Jangan biarkan semangat itu padam, karena dari semangat muda-lah Indonesia terus merdeka.
***




