Saat ini muncul fenomena menarik dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, yaitu semakin beragamnya kementerian dan lembaga yang ikut terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan. Di samping Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebagai lembaga utama, kini muncul lembaga-lembaga pendidikan lain yang dikelola oleh kementerian berbeda.
Beberapa contoh aktual adalah:
Sekolah Rakyat yang dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos) sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat rentan dan anak putus sekolah.
Sekolah Garuda yang hari ini dilaunching dibeberapa daerah atau satuan pendidikan binaan Kementerian Pendidikan Tinggi / BRIN yang dikembangkan dalam konteks inovasi dan pengabdian masyarakat, dan diperuntukkan utk Wilayah-wilayah yang masuk kategori 3 T. SDM unggul yang diharapkan nantinya mampu menembus persaingan global/Internasional khususnya dalam bidang Science dan Tehnology.
Sementara itu, sekolah negeri dan swasta eksisting tetap berada di bawah koordinasi Kemendikdasmen, dengan payung hukum utama UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Fenomena ini menunjukkan adanya dispersi kebijakan (policy dispersion) di bidang pendidikan. Masing-masing kementerian memiliki orientasi dan target berbeda, Kemensos berfokus pada aspek sosial dan rehabilitatif, Kemendikti pada inovasi dan riset, sementara Kemendikdasmen pada pengelolaan sistem dan mutu pendidikan nasional.
Namun, dari perspektif kebijakan publik, kondisi ini menimbulkan sejumlah tantangan strategis, antara lain:
- Fragmentasi Tata Kelola Pendidikan.
Tidak adanya satu otoritas tunggal yang mengatur seluruh model penyelenggaraan pendidikan menyebabkan kebingungan dalam standar, akreditasi, dan koordinasi anggaran.
- Tumpang Tindih Regulasi dan Program.
Munculnya sekolah di bawah kementerian lain berpotensi bertabrakan dengan mandat UU Sisdiknas dan Permendikbud tentang standar pendidikan dasar dan menengah.
- Inefisiensi Anggaran dan Daya Sebar Program.
Ketika banyak lembaga menjalankan program serupa tanpa koordinasi lintas sektor, potensi duplikasi anggaran dan program menjadi tinggi.
- Ketimpangan Mutu dan Akses.
Sekolah-sekolah non-Kemendikbudristek kerap tidak mengikuti sistem akreditasi atau kurikulum nasional, sehingga sulit diintegrasikan dengan jalur pendidikan formal lain.
Kebutuhan Reformasi Kebijakan Pendidikan
Kondisi ini menuntut adanya reformasi kebijakan pendidikan nasional melalui,
- Koordinasi Lintas Kementerian dalam kerangka National Education Council atau Dewan Pendidikan Nasional yang memiliki otoritas sinkronisasi kebijakan.
- Revisi atau harmonisasi regulasi pendidikan, terutama setelah UU Sisdiknas dan UU Pesantren, agar ada payung hukum yang menegaskan peran masing-masing kementerian.
- Penguatan fungsi Kemendikdasmen, sebagai regulator utama, sementara kementerian lain dapat berperan sebagai mitra implementasi sesuai bidangnya (misalnya sosial, riset, atau vokasi).
- Peningkatan peran pemerintah daerah dalam menyinergikan program nasional dengan kebutuhan lokal, termasuk melalui kemitraan dengan sekolah rakyat, madrasah, dan lembaga pendidikan komunitas.
Membangun Ekosistem Pendidikan Terpadu
Arah kebijakan pendidikan nasional semestinya menegaskan bahwa pendidikan adalah satu sistem terpadu, bukan sektoral. Perlu ditegaskan kembali asas kesatuan sistem pendidikan nasional, dengan koordinasi lintas kementerian yang kuat dan berbasis kebutuhan masyarakat.
Jika tidak diantisipasi, fragmentasi ini akan memperlemah visi besar pendidikan nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sistem yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.**