Siang itu udara cukup panas, matahari bersinar cerah tanpa ada awan yang menghalangi. Hingga anginpun enggan untuk menyapa dan bercengkerama. Diam tak bergerak seolah-olah tak ada gairah. Hanya debu yang semangat menyambut kaki-kaki iseng siswa- siswa yang sengaja atau tidak, dihentak-hentakannya, menyaruk dan berlari-lari kecil bebas lepas pulang sekolah. Suara riuh rendah bercanda, tertawa, teriak saling melempar senyum, diantara mereka.
Pemandangan yang indah diantara panas teriknya matahari. Ibu-ibu menjemput anak, ada yang masih di atas motor ada yang menunggu sambil mengobrol diantara mereka, dan ada juga yang menemui guru untuk suatu keperluan.
Kusandarkan motor, segera memasuki kantor guru dilantai dua. Peluh membasahi pipi dan napas masih tersengal-sengal menaiki anak tangga satu demi satu. Heem, belum mengajar sudah selelah ini. Harus banyak-banyak olahraga agar terbiasa naik turun tangga. Sebelumnya sekolah kami bukan disini, tapi untuk tiga bulan ke depan sampai akhir tahun, kami harus menumpang di sekolah ini, karena sekolah kami sedang di renovasi total. Tanpa sengaja tas gendongku menyenggol siswa yang berdiri di tepi tangga.
“Jangan melamun neng, ntar kesambet,” ujarku sambil tersenyum.
Diulurkannya tangannya menyalamiku. Tangannya dingin. Dia tersenyum.
“Namamu siapa, cantik?”
“Hamidah bu guru,” Kusentuh pipinya sambil melanjutkan naik tangga.
Ternyata di kantor sudah ramai beberapa guru, sebagian lagi sedang sholat dhuhur. Waktu masih menunjukkn pukul 12.15 Wib. Kami masih memiliki waktu untuk makan siang, bersapa bahkan saling sharing keadaan kelas dan siswa kami masing-masing.
Kantor darurat kami berisi beberapa meja yang sengaja kami satukan berderet ditengah-tengah sehingga kami berhadapan mengelilingi meja, seolah-olah setiap hari mengadakan rapat. Ada satu meja lagi yang diatasnya printer dan sebelahnya ada sound system sedangkan disudut ruangan ada kamar mandi.
Siang itu topik pembicarannya adalah siswa yang jarang masuk karena jarak sekolah yang menjadi jauh. Mereka biasanya jalan kaki dari rumah, sekarang harus diantar atau naik angkot yang jarang sekali lewat.
Alhamdulillah. Kelasku tidak ada yang bermasalah tentang kehadiran. Aman, gumamku dalam hati.
Tiba-tiba terdengar ada yang menyebut nama Hamidah.
“Kenapa dengan Hamidah?” tanyaku.
“Sudah seminggu tidak hadir, saya WA budenya di read aja,” kata bu Mira menjawab.
“Tadi ada di tangga, sedang melamun, apa dia? Anaknya manis, hidungnya mancung, kurus,” kataku mendeskripsikan Hamidah, karena khawatir salah orang.
“Gemuk ah, berisi anaknya, hidungnya emang mancung,” jelas bu Mira.
“Oh, berarti bukan Hamidah itu, tapi emang ada anak kelas lima yang namanya Hamidah juga?” karena siswa yang dilantai dua adalah anak-anak kelas lima, sehingga tidak mungkin di tangga ada kelas lain selain kelas lima.
Perbincangan kamipun selesai karena bel masuk sudah berbunyi. Kami pun beranjak menuju kelas masing-masing. Kebetulan kelas enam ada di lantai satu, belakang sekolah. Jadi sekalian saya bawa minum dan perlengkapan mengajar agar tidak turun naik ke kantor. Hari ini sangat indah.
“Bu ida, ternyata benar kemarin itu Hamidah, saya pangling, ternyata dia sakit selama seminggu, pantas badannya jadi kurus,” celoteh bu Rima, sambal menjajari langkahku.
“ Sakit apa Bu?” Tanyaku.
“Batuk-batuk, dia bilang begitu, tapi masa sampai kurus begitu?” Bu Rima berpikir.
“Coba ibu konfirmasi ke ortunya, sekalian kenapa kemarin tidak ijin sakit,” kataku.
Sambal menancapkan diri dikursi. Rasanya Lelah jika masuk siang, karena kita harus finger print dulu jam 10.00 Wib, di sekolah asal, sambil menunggu waktu masuk di sekolah yang kami tumpangi saat ini. Seperti biasa suara bising kipas angin ikut menemani diskusi siang ini.
Siang ini mendung, sekelam rasa hati ini, ketika mendengar kabar hamidah sakit TBC, dan mulai muntah darah. Akhirnya kami bersepakat untuk menemui orangtuanya.
Ternyata selama ini Hamidah tinggal bersama kerabat ayahnya, yang dia panggil “Bude”, sedangkan orangtuanya telah berpisah sejak dia kecil. Dia dititipkan oleh ayahnya. Sampai saat ini tidak diketahui kemana ayah dan ibunya.
Rumahnya kecil, anaknya banyak dan mata pencariannya berjualan gorengan di rumahnya. Sehari-hari Hamidah membantu membuat kue dan gorengan. Pantas kata bu Rima, Guru kelasnya, baju Hamidah sering ada bercak-bercak putih yang ternyata adalah sisa-sisa adonan terigu yang menempel.
Dan menurut informasi dari budenya, Hamidah sudah pernah dibawa ke Puskesmas tetapi tidak dilanjutkan karena kekurangan waktu dan biaya. Budenya harus jualan untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan juga Hamidah, jika tidak jualan maka darimana dia mendapatkan uang untuk makan?.
Pagi ini aku jemput Hamidah untuk periksa dahak. Bersepeda motor kami berdua ke Puskesmas. Sambil menunggu antrian kami sarapan di tukang bubur. Kamipun sempat selfi berdua, nice.
Kemudian aku ajak ke minimarket terdekat untuk jajan apa saja yang dia suka. Awalnya dia malu-malu, tapi setelah kuyakinkan, akhirnya dia memilih beberapa biskuit dan susu UHT.
Kepada pihak Puskesmas aku jelaskan bahwa ini siswa sekolah kami dengan latar belakang demikian, setidaknya kami mengharapkan empati lebih dari dokter dan perawat. Dan Alhamdulillah bu dokter sangat menerima dengan tangan terbuka, dan menggratiskan biaya. Karena Hamidah tidak memiliki BPJS. Pemeriksaan demi pemeriksaan dilalui. Lega rasanya satu masalah telah teratasi, dua hari jadwal kembali untuk hasil pemeriksaan lebih lanjut. Kupandangi wajah Hamidah, terbersit rasa sedih, kasihan, terenyuh yang sangat mendalam.
Duh, Ya Allah Kasihan betul kamu nak, seharusnya kamu sedang di kelas belajar, atau jika kamu sakit di sebelahmu adalah ayah ibumu, yang mengelus rambutmu, menguatkanmu.
Tak terasa airmata menetes, buru-buru kuhapus. Hamidah tidak boleh tahu kesedihan ini, biar dia kuat, tangguh dan tabah. Ada luka di matanya, hingga membuatku geram, teringat ayah ibunya yang tega menelantarkannya. Terbuat dari apa hati mereka, sehingga tega menitipkan anak seperti menitipkan barang?
Kugandeng tangan Hamidah keluar dari puskesmas. Ku elus kepalanya yang berkerudung coklat, semoga bisa menguatkannya, karena masih banyak orang-orang yang mencintainya, menyayanginya dan mempedulikannya dengan sepenuh hati.
Dua haripun telah berlalu, aku dan bu Rima sudah janjian di pintu gerbang Puskesmas, dan Alhamdulillah bu Rima sudah datang bersama Hamidah diboncengannya.
Seperti biasa sambil menunggu antrian kami menemani Hamidah sarapan, kali ini dia pingin makan nasi uduk. Lahap sekali dia makan, senang melihatnya, aku dan bu Rima tersenyum berpandangan. Dan Hamidah sudah terbiasa dengan kami. Hasil pemeriksaan pun sudah di tangan kami, dan Hamidah akan menjalani rawat jalan selama enam bulan, dengan meminum obat yang tidak boleh putus satu kalipun. Senang rasanya bisa menolong Hamidah, terbayang Hamidah gemuk lagi, ceria lagi. Karena kata Bu Rima dulu Hamidah gemuk dan periang.
Hampir satu bulan berlalu, tiba-tiba Bu Rima mengabarkan sudah tiga hari Hamidah tidak masuk kelas. Akhirnya kami ke rumahnya untuk mencari informasi, dan ternyata Hamidah sudah tidak tinggal bersama mereka lagi. Dan yang membuat semakin sedih adalah, obatnya masih tersisa banyak dan tidak dibawa.
Ya Allah, bagaimana ini? Ku sebut nama Tuhan, dengan hati teriris-iris. Jadi selama ini obatnya tidak diminum secara rutin? Hamidah, di mana kamu? semoga kamu baik-baik saja. Airmata sudah tidak terbendung, deras, terluka , membayangkan gadis sekecil itu, ah…
Dua bulan telah berlalu, kami mendapatkan kabar dari kerabat ayahnya bahwa Hamidah dalam keadaan sakit parah, sudah tidak kuat berjalan, dan tanpa pengobatan.
Setelah berkoordinasi dengan guru-guru dan pihak Puskesmas, kamipun mendapatkan fasilitas ambulan untuk membawa Hamidah ke Rumah Sakit Daerah.
Dari pagi kami menjemput dengan menumpang ambulan sampai di tempat tujuan kami membawa Hamidah.
Tubuhnya kurus tinggal kulit dan tulang, matanya cekung dalam, rambut acak-acakan, tapi masih menyapa dan tersenyum.
“Bu guru,” sapa Hamidah.
Ada senyuman di bibir mungilnya yang pucat, bergulir air bening disudut matanya.
“iya, hamidah, ini bu guru, Hayu ikut bu guru, kita berobat, biar Hamidah cepat sembuh, bisa kembali ke sekolah,” kataku dengan suara tercekat.
Hancur hati ini. Luluh lantak berkeping-keping, ingin menjerit, memaki, tapi kepada siapa? Ah…
Dia tersenyum, manis sekali, seperti saat pertama kami bertemu di anak tangga. Dan malam itupun kami membawa Hamidah ke Rumah Sakit Daerah.
Perjalanan cukup jauh, kami tiba di rumah sakit pukul 01.00 dini hari, setelah masuk ke kamar perawatan, kami masih menemani Hamidah, ia tertidur. Hamidah semoga cepat sembuh, sambil kuselipkan di tangannya uang sumbangan dari guru-guru dan titipan dari majlis ta’lim tempatku mengaji. Sementara perasaan kami sudah mulai tenang, karena Hamidah sudah dalam perawatan Tim medis.
Alhamdulillah dua hari di rumah sakit, kami mendengar kabar dari teman di puskesmas, kesehatan Hamidah berangsur baik. Kamipun berencana akan membesuk besok sore selepas kami mengajar. Dan kamipun bergembira dan menemukan secercah harapan, bahkan berandai-andai, jika Hamidah sudah sembuh bisa tinggal dengan salah satu dari kami atau bergiliran, fleksibel aja.
Ada juga dari jemaah pengajian yang bersedia adopsi, karena anak-anaknya sudah dewasa semua.
Masih diruangan kantor yang panas dan bising oleh suara kipas angin.
Menderu-deru laksana mesin senso pemotong kayu. Kami merancang menyewa angkot, agar teman-teman kelasnya bisa menjenguk Hamidah.
Hari ini langit tampak mendung, dua angkot sudah kita pesan untuk disewa sore ini ada beberapa perwakilan siswa kelas lima yang ikut untuk menjenguk ke rumah Sakit. Buah tanganpun sudah kita siapkan. Kita mengajar seperti biasa, tpi mungkin untuk kelas lima pulang lebih awal.
Tiba-tiba dari kejauhan bu Sofi berlari-lari ke kantor dengan tergopoh-gopoh.
“Hamidah bu, hamidah… uhu.. uhuuu..“ ia menangis. Air matanya bercucuran, suaranya tersendat-sendat.
“Ada apa dengan hamidah,?”
“Hamidah udah ga ada,” ugkap bu Sofi sambil menagis sesunggukan.
Kamipun terdiam. “Innalillahi wainna ilaihi rojiuun” Lemas sudah kaki, tak kuat menopang badan, keseimbangan hilang, dan terduduk pilu. Terperkur dengan pikiran masing-masing.
Sunyi, senyap dan deru kipaspun tak terdengar, entah ditelan kesedihan kami.
Senja hitam, diatas tanah merah, tanpa tabur bunga, hanya kayu nisan tanpa nama, disini kutumpahkan kesedihan, doa yang mendalam. Hamidah kami datang. Guru-gurumu datang, teman-temanmu datang, mengapa tak kau ijinkan kami berjumpa terakhir kali? Mengapa kamu pergi tanpa berpamitan? Mengapa kau tiupkan kabar bahwa kamu membaik untuk memberi harapan saja? Ternyata kamu ingin membuat kami tenang, senang sementara.
Suara-suara di pikiran antara marah, geram mencari yang salah, sudah tiada lagi, mungkin sudah bosan.
Ya allah, ternyata engkau lebih sayang padanya, gadis kecil yang tersenyum manis dan berhidung mancung.
Selamat jalan Hamidah. Semoga engkau berbahagia dalam dekapanNya.
Siang itu, ramai anak-anakpun bergemuruh antara pergantian yang pulang dan yang baru masuk belajar. Ibu-ibu menjemput anak-anaknya sambil diatas motor, bercanda, dan ada juga yang menemui guru. Pemandangan yang seperti biasanya. Tapi kali ini udara tidak panas, debu-debupun tiadak berterbangan, dan anginpun berhembus manja meraba. Aku melangkah ke naik anak tangga. Tas ransel laptopku menyenggol siswa, dan kutengok.
“Maaf bu,”
Seorang anak laki-laki. Bukan Hamidah. ***
Oleh : Ida Rusyeni, M.Pd (Kepala Sekolah SDN Durenseribu 01, Bojongsari Depok)