Semua Berhak Bahagia

by Redaksi
0 Komentar 26 Pembaca

gambar_ilustrasi

“Naufal, ini adalah tempat yang penuh kenangan bagiku. Aku tak akan pernah melupakannya,” batin Indah menatap kursi taman yang kini mulai usang. Beberapa bagian sudah terlihat cat yang mengelupas.

Diingatnya dulu saat mereka memutuskan untuk berpisah. Tak ada yang ingin disalahkan, walau keduanya memiliki kekeliruan yang sama. Naufal kini dekat dengan Tiwi dan Indah sudah memilih Kian, lelaki yang lebih dewasa.

Keegoisan hampir membuat mereka hilang akal, kata-kata kasar yang mulai terdengar membuat telinga orang yang mendengarnya memerah. Hingga dua orang yang menjadi kekeliruan mereka meredamkan emosi Naufal dan Indah.

Indah memilih untuk beranjak menjauh dari taman kesukaan mereka. “Kali ini tak akan ada titik temu. Hanya akan memperuncing masalah yang sudah serumit ini,” batinnya sambil mengikuti Kian yang menggandengnya.

“Indah, jika hubungan yang sudah usai namun masih berdebat seperti ini, apakah akan baik-baik saja nantinya?” tanya Kian sesaat menjauh dari taman.

“Tapi Kian, dia menyalahkan aku yang dekat denganmu. Dia sendiri sudah lebih dahulu memilih dekat dengan Tiwi. Oke, aku tidak masalah berpisah. Namun aku tidak terima jika dia menyalahkan aku yang memulai,” ujar Indah masih dengan kemarahannya.

Kian tersenyum mencoba meredam kemarahan Indah. Dalam hati, Kian tak membantah ucapan Indah. Dia berani mendekati Indah setelah membuktikan terlebih dahulu kedekatan Naufal dengan Tiwi.

Hingga akhirnya beberapa teman Kian menjodoh-jodohkannya dengan Indah saat mereka tak sengaja bertemu di kantin kampus. Apalagi saat teman-temannya memaksanya untuk menembak Indah. Alasannya sangat tepat, bulan depan Kian akan berangkat ke Malaysia untuk bekerja.

Kian memang lulus lebih awal karena kepandaiannya, selain itu keahliannya membuat perusahaan asing meliriknya. Pihak kampus juga sudah menyetujui, Kian akan kembali saat wisuda nanti.

***

“Mas, mau ke mana?” tanya Tiwi sesaat dilihat suami dan putrinya sudah bersiap dengan sepeda roda tiga dan mulai didorong keluar halaman.

“Indah minta jalan-jalan ke taman. Mau ikut sekalian?” tanya Naufal pada istrinya.

Tiwi terdiam sesaat. Diingatnya kepindahan mereka ke kota yang penuh kenangan saat masa kuliah dulu sebenarnya tak diinginkannya. Apalagi mengingat perumahan yang dibeli Naufal dekat dengan taman yang ingin dilupakannya.

“Mas Naufal, aku hamil! Aku ingin mas bertanggung jawab,” ucapan Tiwi membuat langkah Naufal yang akan mengejar Indah dan Kian terhenti. Naufal membalikkan badannya dan menatap Tiwi tak percaya.

Tiwi tak berani membalas tatapan Naufal. Dia hanya menundukkan kepalanya. Semua yang terjadi memang kesalahannya.

Taruhan yang dilakukan dengan teman satu genknya membuat Tiwi mengupayakan segala cara. Membuat Naufal yang menjadi targetnya mabuk hingga kekeliruan itu tak terelakkan. Walau dia menyukai Naufal namun cara yang digunakan tak seharusnya dilakukan.

Apalagi saat kelahiran anaknya, Naufal bersikeras memberikan nama Indah pada putri mereka. Tiwi dengan berat hati menerimanya. “Mungkin ini adalah penebusan dosanya pada Indah dulu,” batinnya saat itu.

“Mama… ayo! Nanti kebulu sole…,” ucap Indah dengan wajah lucunya. Usianya kini hampir lima tahun. Naufal sangat sayang pada Indah. Hingga akhirnya rasa bersalah Tiwi meluruh karena sikap Naufal yang tak pernah menyalahkannya.

“Eh, ayo sayang. Maaf mama lagi ingat-ingat apakah sudah aman semua jika kita pergi ke taman,” jawab Tiwi beralasan.

“Tadi papa sudah memastikan dapur dan listrik aman, Mama Sayang. Ayo, nanti kita jajan di taman sekalian,” ucap Naufal sambil tersenyum.

Kini mereka bertiga melangkah beriringan menuju taman. Sesekali suara cadel dan tawa Indah terdengar bergantian, hingga membuat beberapa orang yang berpapasan tersenyum dan ikut senang melihat mereka.

***

“Mas, aku mau jalan-jalan ya di taman,” ucap Indah di panggilan telepon. “Tidak jauh-jauh kok, Mas,” lanjutnya meminta persetujuan.

“Sayang, bagaimana kalau jalan ke tamannya menunggu Mas pulang,”  jawaban yang tak diinginkan Indah hingga membuatnya kesal.

“Mas saja masih lama kembali, dede mau jalan ke tamannya sekarang!” kesal suara Indah terdengar jelas di panggilan telepon.

“Sayang, kehamilanmu sudah besar. Kalau keluar ajak Bibi ya, jadi ada temannya. Mas sih inginnya kamu tunggu mas pulang nanti,” lanjut suara di seberang telepon yang membuat Indah tambah kesal.

“Indah keluar sama Bibi! Tunggu mas lama, kerja terus nggak pulang-pulang,” seru Indah kesal.

Diingatnya lagi pernikahannya dulu harus menunggu kontrak kerja Mas Kian selesai di Malaysia. Tiga bulan setelah menikah Mas Kian harus kembali ke Malaysia, Indah sudah memutuskan untuk bekerja di kota kelahirannya.

Dalam setahun hanya dua kali pulang, hal itulah yang membuat mereka baru dikaruniai anak setelah empat tahun pernikahan mereka. Usia kandungan Indah sekarang sudah memasuki masa rawan, namun Mas Kian baru bisa pulang pekan depan.

“Bi, kita duduk di kursi itu yuk,” ucap Indah saat terjaga dari lamunannya.

“Baik, Nyonya,” jawab Bibi tersenyum melihat nyonya mudanya yang melamun lebih dari sepuluh menit tadi.

Bibi memegangi tangan nyonya mudanya saat dilihat langkahnya tak seperti saat menuju taman. “Apakah nyonyanya sudah kelelahan?” tanyanya membatin. Jarak rumah ke taman sebenarnya tak terlalu jauh, mengapa terlihat lelah.

Saat jarak semakin dekat, langkah kaki Indah terhenti. Di depannya terlihat sebuah keluarga kecil yang bahagia berjalan senang menuju kursi yang akan ditujunya. Pegangan Indah pada lengan Bibi mengencang.

Orang yang tak diharapkannya bertemu kini ada di depannya dalam jarak yang terjangkau. Hanya saja Indah tak berani mempersempit jarak mereka. Indah memilih mundur perlahan.

“Bi, kita ke kursi di sebelah sana saja yuk. Sepertinya keluarga di depan kita akan ke kursi yang sama,” ujar Indah sambil memutar badannya.

Humph…

Wajah Indah membentur sebuah dada bidang. Ditariknya wajah seketika untuk meminta maaf pada orang yang ditabraknya. “Ma… aaf,” ucapnya gugup sambil menengadahkan kepalanya.

“Mas… Ki… an!? Mas…,” ucapan Indah terpotong dengan pelukan dan kecupan di keningnya dari Mas Kian yang sudah sangat merindukan istrinya.

“Dede tidak sabar ya menunggu ayah? Bunda jadi jalan dengan Bibi ke tamannya,” ucap Mas Kian sambil mengusap perut buncit Indah sambi tersenyum.

“Mas Kian bukannya pekan depan baru kembali? Jadi tadi saat telepon Mas sudah mendarat? Mengapa tidak bilang, Mas?” tanya Indah beruntun. Kian mencubit mesra pipi istrinya lembut.

Diingatnya dulu dia harus sering membujuk dan merayu Indah jika sedang marah. Semenjak hamil, Indah mulai belajar mengendalikan emosinya. Semua untuk kebaikan bayi yang dikandungnya dan proses kelahiran nanti.

“Tuan, Bibi pulang untuk menyiapkan makan malam saja ya tuan. Nyonya sudah aman bersama tuan,” pamit Bibi untuk kembali ke rumah. Kian mengangguk dan tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

Sepeninggal Bibi, Kian masih menggoda istrinya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan Indah diselingi rayuannya. Indah yang mendengar tersenyum simpul. “Mas Kian sangat sabar menghadapi perubahan perasaan Indah, jika bukan Mas Kian dia juga tak tahu apakah bisa menjalankan rumah tangga hingga saat ini.

“Kita duduk di kursi kesukaanmu yuk,” ajak Mas Kian setelah dirasakan Indah mulai lelah.

Indah terdiam sesaat, diliriknya dahulu keluarga yang tadi sempat dilihatnya. “Apakah mereka asih di sana?” batinnya bertanya.

Saat kepalanya menoleh ke arah kursi di dekatnya seorang gadis kecil dengan sepedanya tersenyum.

“Om Kian, apa kabal? Wah Om mau punya dede bayi ya?” ujarnya sambil mengusap perut Indah senang.

“Om Kian…?” ulang Indah menatap suaminya tajam.

Dilihatnya sebuah senyum tersungging dari sudut bibirnya sambil memeluk bahu Indah lembut.

TAMAT


Penulis: Dwi Yulianti, S.Mat, S.Pd.
Nama Pena: Oase_biru
Guru: SDN Pondokcina 3

Baca juga

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel & foto di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi!!