Pohon Mahoni menatap rumah yang dinaunginya hampir lima belas tahun. Bulan depan genap sudah tugasnya. Diingatnya lagi percakapan Pak Ahmad dan istrinya lima belas tahun yang lalu. Saat itu Ibu Kania sedang menidurkan Arsya yang demam sejak pagi hari.
“Bapak sudah menanam bibit mahoni yang diantar dari koperasi desa. Semoga saja mereka bisa memberikan masa depan terbaik untuk Arsya. Hanya itu yang bisa bapak usahakan saat ini,” ucapnya sambil mengusap kening Arsya yang kini sudah tertidur di pelukan ibunya.
“Lima belas tahun, Pak?” tanya ibu meyakinkan.
“Iya Bu, itu waktu terbaik mahoni-mahoni itu memberikan manfaat sebagai bahan bangunan yang baik,” jelas bapak merenung.
Tanah kosong di samping kiri rumah Pak Ahmad kini dipenuhi bibit mahoni yang baru ditanam. Lebih dari seratus bibit ditanamnya dengan teratur. Jika minimal seratus pohon yang akan bertahan dan tumbuh sesuai harapannya, maka tabungannya untuk kuliah Arsya kelak sudah cukup.
Hanya Arsya satu-satunya anak yang dapat dilahirkan Kania, istrinya. Setelah melahirkan, rahim Kania harus diangkat karena fibroid rahim yang dideritanya sudah mencapai stadium akhir. Pak Ahmad berusaha tegar dengan kondisi yang akan mereka hadapi.
Rasa bersalah istrinya karena kondisinya kini tak boleh menyisakan luka saat menjalani kehidupan yang akan terus berjalan. Masih ada Arsya, amanah yang sudah diberikan dan harus dirawat oleh mereka berdua. Dua alasan itulah yang membuat Pak Ahmad mengeringkan butir bening yang mulai terlihat dari sudut matanya.
“Hei, Mahoni kenapa melamun pagi-pagi?” tanya Kacang mendongak untuk memastikan kondisi Mahoni.
“Aku hanya mengenang masa kecilku, saat aku masih setinggi kamu,” jawab Mahoni tersenyum.
“Sepertinya masa kecilmu sangat bahagia,” balas Kacang tersenyum menggoda.
“Iya benar. Aku tak menyangka akan setinggi saat ini, namun kini aku merasa waktuku akan segera usai. Ingin rasanya kembali ke masa lalu. Apalagi saat putra Pak Ahmad bermain bersamaku,” ucapnya dengan sendu.
“Seharusnya kamu berbahagia… ,” ucap Kacang menggantung namun memberikan kekuatan.
Mahoni menunggu Kacang melanjutkan ucapannya yang menggantung. Mengapa dirinya harus berbahagia saat kehidupannya akan usai. Seharusnya kebahagiaan itu jika bisa hidup lama bukan? tanya Mahoni membatin.
“Aku dengar perbincangan Pak Ahmad kemarin sore dengan Bapak Kepala Desa. Mereka membangga-banggakan kalian. Berkat kalian nama kampung mereka terkenal. Belum lagi hadiah yang didapatkan keluarga Pak Ahmad,” ucap Kacang menjelaskan.
Mahoni mencoba mengembalikan ingatannya, sulit rasanya untuk melakukan hal ini. Tidak seperti saat dirinya masih remaja dulu. Apakah semua karena usianya yang memang sudah seharusnya berakhir? Batinnya lagi.
Melihat Mahoni yang tak langsung menjawab Cabai yang ikut mendengarkan percakapan mereka ikut bersuara, “Mereka bangga karena kalian bisa membuat Putra Pak Ahmad dapat meraih masa depannya. Mereka juga bangga jika nanti akan memiliki seorang dokter hebat. Kalian tahu kan? Arsya, Putranya Pak Ahmad selalu mendapatkan prestasi terbaik di sekolahnya.”
Ucapan Cabai dibenarkan oleh Kacang, “Benar Mahoni, kalian sangat berjasa, bukan hanya untuk keluarga Pak Ahmad tapi juga untuk desa kita.”
“Aku juga mendengar jika besok adan diadakan syukuran di balai desa. Mereka akan mendoakan Arsya yang akan ke ibukota nanti,” ujar Cabai semakin meyakinkan.
Mahoni hanya merenung, selain memberikan ucapan selamat pada keluarga Pak Ahmad kepala desa juga menyampaikan jika sudah ada pemborong yang akan membeli mahoni-mahoni di samping rumahnya. Harga yang diberikan sesuai dengan perhitungan Pak Ahmad, cukup untuk biaya kuliah Arsya di kedokteran nanti.
Kebimbangan merasuki relung hati Mahoni saat mendengarnya. Bangga seperti yang dikatakan Kacang dan Cabai, namun kesedihan mendalam dirasakannya juga. Mahoni tak ingin meninggalkan Keluarga Pak Ahmad yang sudah menjadi bagian kehidupannya selama ini.
***
Mahoni hanya berpasrah diri saat mesin-mesin pemotong kayu mulai meraung. Dia tak mempunyai pilihan kecuali menyerah pada nasibnya kini. Kacang dan Cabai yang masih memperhatikan merasa kasihan dengan kesedihan yang mendalam pada Mahoni.
“Mahoni, tersenyumlah. Ini adalah sebuah kebahagiaan, Arsya akan ke ibukota pekan depan. Pak Ahmad sudah mempersiapkan semua kebutuhannya untuk enam hingga tujuh tahun ke depan. Semua dipenuhi oleh kalian, artinya kalian adalah pahlawan bagi kami semua,” ucap Kacang sambil tersenyum bangga.
“Benar Mahoni, kamu tak perlu bersedih,” ujar Cabai menambahkan.
Sebenarnya Mahoni sudah merenungi ucapan teman-temannya, namun perpisahan selalu membuatnya sedih. Dia tahu Pak Ahmad sangat menyayanginya dengan merawat mereka hingga sebesar sekarang. Tak ada yang meragukan kemampuan Pak Ahmad merawat yang sudah ditanam di halaman dan kebunnya.
Warga desa yang menjadi langganan sayur mayur Pak Ahmad selalu memujinya. Hal ini diketahuinya dari istrinya saat pulang dari pasar.
“Pak, sayuran yang ibu jual paling cepat habis. Mereka bilang kualitas sayuran bapak sangat bagus,” ujar ibu bangga saat berbincang ketika mereka akan makan siang.
“Pelanggan adalah raja, bapak akan selalu mengutamakan kepentingan mereka. Lagi pula sayuran yang ada di kebun juga kita olah sendiri untuk Arsya. Bapak ingin Arsya tumbuh sehat hingga dewasa kelak,” balas bapak sambil mengambil nasi dan sayur di meja.
Mahoni tersenyum mengingat kebahagiaannya saat mendengar percakapan Keluarga Pak Ahmad. Pak Ahmad tak pernah mengeluhkan kesulitannya pada istrinya, hanya Mahoni yang menjadi saksi duka Pak Ahmad. Diingatnya ketika tanaman cabainya terserang hama, Pak Ahmad langsung menyiangi agar tak membuat sedih istrinya.
“Mahoni, dengar! Sepertinya kesedihanmu tak akan berlangsung lama. Berdoalah jika kamu yang dipilih oleh Pak Ahmad,” seru Cabai saat berusaha keras mendengarkan ucapan Pak Ahmad pada pekerja yang memotong pohon-pohon mahoni.
***
Pagi ini Mahoni tersenyum bangga, dia menyaksikan penerus Keluarga Pak Ahmad lahir. Setelah menikah hampir dua tahun, dokter Arsya dikaruniai seorang putra. Mahoni menyaksikan Pak Ahmad dan istrinya yang sedang menggendong cucunya. Terlintas dalam ingatan Mahoni saat Arsya yang ada di pelukan Ibu Kania dulu.
Arsya, seorang dokter terkenal di kota memilih melanjutkan praktik di rumah sakit dekat desanya. Keluarga kecilnya menjadi salah satu alasan kuat. Di samping rumah yang besar, dokter Arsya juga membangun sebuah klinik gratis untuk warga desa yang memerlukan pengobatan.
Mahoni menjadi kebanggaan Keluarga Pak Ahmad selamanya. Kesedihan yang dulu dilihat teman-temannya sirna seiring dijadikannya Mahoni menjadi bagian dari rumah yang dibangun Pak Ahmad untuk Arsya. Mahoni akan menjadi saksi bisu perjalanan hidup keluarga yang membanggakan Pak Ahmad dan istrinya serta desanya.
TAMAT
Penulis: Dwi Yulianti, S.Mat, S.Pd.
Nama Pena: Oase_biru
Guru: SDN Pondokcina 3