Optimalisasi daya tampung sekolah negeri dengan menambah jumlah peserta didik per kelas memang bisa menjadi solusi atas tingginya animo masyarakat terhadap sekolah negeri. Namun, kebijakan ini harus tetap sesuai dengan regulasi yang berlaku—mulai dari pelaksanaan berbasis sistem daring (online), transparansi, akuntabilitas, hingga keterikatan pada jalur-jalur penerimaan resmi yang telah ditetapkan.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan keseimbangan antara sekolah negeri dan swasta. Jangan sampai kebijakan optimalisasi justru menyebabkan sekolah swasta kekurangan peserta didik. Padahal, sekolah swasta selama ini turut menopang sistem pendidikan nasional. Karena itu, pengambilan kebijakan harus berbasis pada data yang valid dan sahih. Jika memang optimalisasi daya tampung akan diterapkan, harus ada izin dari kementerian terkait. Tanpa itu, akan muncul persoalan lanjutan: dari siswa yang tidak terdaftar di Dapodik, tidak mendapat Nomor Induk Siswa Nasional (NISN), hingga tidak menerima dana BOS. Bahkan, bisa saja status siswa dianggap tidak legal.
Optimalisasi tidak boleh disamakan dengan praktik siswa titipan. Maka dari itu, sistem harus tetap berbasis online, transparan, akuntabel, dan wajib disosialisasikan kepada masyarakat luas. Jangan sampai kebijakan ini menjadi “pintu belakang” bagi pihak-pihak tertentu yang ingin menitipkan siswa secara tidak resmi. Terbukti pada tahun 2024 lalu, lebih dari 4.000 siswa diterima di SMP Negeri melalui jalur tidak resmi dan tanpa informasi publik yang memadai.
Di tahun 2025, di bawah kepemimpinan Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang baru, Pemerintah Kota Depok telah mengambil langkah solutif atas permasalahan ini. Mereka menggandeng 33 sekolah swasta dalam program Rintisan Sekolah Swasta Gratis (RSSG) melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU). Namun, program ini patut dikritisi secara konstruktif.
Dalam skema RSSG, sekolah swasta menjadi subjek utama. Artinya, hanya siswa yang mendaftar ke sekolah-sekolah yang telah menandatangani MoU yang dapat mengikuti program ini. Seharusnya, subjek utama adalah siswa. Pemerintah perlu memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih sekolah swasta mana pun, lalu membantu pembiayaannya. Pemerintah semestinya hadir sebagai penyelesai persoalan pembiayaan, bukan sebagai “pemasar” bagi sekolah-sekolah tertentu.
Apalagi, sejumlah sekolah swasta yang menandatangani MoU RSSG diketahui sedang mengalami kekurangan siswa atau bahkan baru berdiri. Ini menimbulkan kesan bahwa sekolah-sekolah tersebut justru memanfaatkan program pemerintah untuk mengatasi kekurangan murid. Jangan sampai pemerintah malah “ditunggangi” oleh sekolah swasta untuk kepentingan rekrutmen siswa.
Jika kita cermati, dua alasan utama mengapa masyarakat lebih memilih sekolah negeri adalah: kualitas dan pembiayaan. Maka, pemerintah seharusnya fokus terlebih dahulu pada solusi pembiayaan. Program beasiswa atau bantuan pendidikan by name by address dapat menjadi pendekatan yang lebih tepat dan berkeadilan. Di sisi lain, pemerintah perlu mempercepat pemerataan mutu pendidikan di semua jenjang dan wilayah. Dalam jangka panjang, pembangunan unit sekolah negeri baru bisa menjadi solusi strategis.
Kebijakan pendidikan, sebaiknya berpijak pada prinsip keadilan, transparansi, dan kepentingan peserta didik sebagai prioritas utama. Kita berharap, semua pemangku kepentingan bergerak searah untuk menjamin hak pendidikan yang bermutu bagi seluruh anak bangsa. **
Rasikin – Warga Cipayung, Depok